Minggu, 08 Mei 2011

PANDANGAN ULAMA SUNNI TENTANG RIWAYAT PEMBID'AH


Para ulama membagi pembid'ah ke dalam dua kelompok. Pertama, pembid'ah yang menjadi kafir akibat bid'ahnya. Kedua, pembid'ah yang tidak menjadi kafir karena bid'ahnya.
Pembid'ah yang pertama terbagi pula ke dalam beberapa golongan, yaitu, (1) Pembid'ah yang memperbolehkan cara berdusta atau berbohong untuk menguatkan pendapatnya. (2) Pembid'ah yang tak membolehkan cara berdusta. (3) Pembid'ah yang mempromosikan sikap bid'ahnya. Dan, (4) pembid'ah yang tidak mempromosikan hasil bid'ahnya.
Ada sejumlah pembid'ah yang meriwayatkan hadits. Menghadapi hal ini, sikap para ulama berlainan. Para ulama bersepakat untuk menolak dan tidak menerima hadits riwayat pembid'ah yang pertama, yaitu yang menjadi kafir karena bid'ahnya.
Mereka bersepakat pula untuk menolak riwayat pembid'ah yang membolehkan cara berdusta untuk menguatkan pendapatnya sendiri dan pendukungnya. Dan sebagian besar ulama, meskipun tak semua, bersepakat untuk menolak riwayat pembid'ah yang mempromosikan bid'ahnya, yang tidak mempedulikan para pengecam pendapatnya, karena argumentasinya lemah.
Namun, para ulama berbeda pendapat mengenai pembid'ah yang tidak melakukan kebohongan untuk menguatkan pendapatnya. Berikut ini, saya kemukakan pendapat sebagian ulama Sunni.
Imam Muslim, di dalam kitab Sahih-nya, menulis: "Ketahuilah, sesungguhnya setiap orang harus mengetahui perbedaan antara riwayat yang sahih dan riwayat yang lemah (dha'if), antara perawi yang terpercaya (tsiqat) dan perawi yang suka berdusta. Ingatlah, anda tak usah menerima riwayat, kecuali dari para perawi yang adil dan tsiqat. Anda perlu waspada, siapa tahu ada riwayat datang dari para pembid'ah, yang suka berdusta dan menentang perintah Tuhan."
Imam Nawawi, di kitab Syarah Muslim (Komentar atas Kitab Sahih Muslim), menulis: "Para ahli hadits, fiqih dan ushul berpendapat bahwa riwayat yang dibawakan seorang pembid'ah, yang kafir karena bid'ahnya, tidak dapat diterima sama sekali. Adapun pembid'ah yang tidak kafir, maka ada orang yang mutlak menolak riwayatnya, karena ia dipandang fasik dan tak tertolong oleh takwil. Namun sebagian ulama ada yang menerimanya, dengan syarat ia tidak biasa berdusta untuk memperkuat madzhabnya atau madzhab kliennya, baik ia mempromosikan ajaran bid'ahnya, atau tidak. Sementara ulama yang lain lagi menerima riwayatnya, dengan catatan ia tidak mempromosikan ajaran bid'ahnya. Katanya, riwayatnya harus ditolak begitu ia mempromosikannya. Inilah pendapat sebagian besar ulama, yang dianggap paling adil dan sahih."
Lain lagi ibn Hajar1, beliau membagi bid'ah ke dalam dua macam. Pertama, bid'ah yang menyebabkan kekafiran. Kedua, bid'ah yang menyebabkan kefasikan. Riwayat pembid'ah yang pertama, menurut ibn Hajar, tidak dapat diterima. Tentang yang kedua, Ibn Hajar masih menimbang-nimbang. Katanya, "Para ahli berbeda pendapat mengenai riwayat orang yang menjadi fasiq lantaran bid'ahnya, dengan syarat ia tidak berbohong, menjaga harga diri, beragama dan beribadah. Ada ulama yang menerimanya secara mutlak, dan ada pula yang menolak secara mutlak. Kecuali itu, ada kelompok ulama ketiga yang merinci, apakah pembid'ah itu mempromosikan bid'ahnya atau tidak. Bila tidak, maka haditsnya dapat diterima. Sebaliknya, bila ia mempromosikannya, haditsnya harus ditolak." Pendapat terakhir ini, menurut ibn Hajar, adalah yang paling moderat dan banyak pendukungnya.
Dari keterangan di atas, bisa disimpulkan bahwa ulama Sunni bersepakat menolak riwayat pembid'ah (1) yang menjadi kafir lantaran bid'ahnya, (2) yang suka berbohong untuk mendukung pemikiran bid'ahnya, dan (3) yang mempromosikan ajaran bid'ahnya.
Para ulama berselisih paham mengenai pembid'ah yang tidak suka berbohong, seperti kaum Khawarij, dan pencipta bid'ah kecil lainnya, yang tidak menyebabkan ia keluar dari Islam. Lagi pula, ia tidak mempromosikan ajaran bid'ahnya, seperti sebagian perawi Syi'ah yang ada di buku-buku ulama Sunni. Soal ini akan dijelaskan nanti.

0 comment:

Posting Komentar