Dan tenyata ekspektasi akan keunikan cerita dari bumi Papua itu SALAH. Benar-benar tidak saya sangka kalau eksekusi film ini sungguh aneh bin tidak jelas. Konsep ceritanya tidak bermutu. Melompat-lompat dan tidak fokus. Keindahan bumi Papua tidak tereksplorasi dengan baik. Akting? Aduh, kecuali beberapa artis senior yang sudah pengalaman berakting, kacau balau. Mengenai bagimana cerita film ini selengkapnya bisa baca resensinya di Cineplex 21. Di sini saya hanya ingin banyak sedikit menumpahkan unek-unek saya tentang, maaf, ketidakmutuan film ini.
Pertama: Pengambilan Gambar Amatir
Film ini syuting jauh-jauh ke Papua tapi sama sekali tidak mengeksplorasi Papua. Hanya di awal saja diperlihatkan beberapa landmark Papua semacam Tugu-tugu Peringatan (yang saya tidak tahu tugu apa itu, tapi saya yakin itu khas daerah Papua sana), Bandara Merauke dan beberapa objek lain. Kalau itu tidak ada, mungkin orang bisa menyangka film ini paling syutingnya di tempat yang sama dengan film-film naga di Indosiar. Lihat itu film Denias, walaupun temanya jauh lebih sederhana tapi kita sebagai penonton serasa benar-benar di bawa ke Papua. Mubazir sekali kan syuting jauh-jauh ke Papua kalau ternyata pengambilan gambarnya cuma sekelas sinetron stripping.
Ada satu adegan yang, aduh, kacau sekali kameramen dan sutradaranya. Ceritanya Nadia dkk masuk ke RKT 2000 (area terlarang di daerah Baven Digul) akibat dikejar suku Korowai. Karena tidak mungkin balik jadi mereka memutuskan memutari bukit walaupun katanya jauh. Lewat situ katanya nanti tembus kota (katanya area terlarang tapi entah kenapa ada yang sangat paham medan #ngakak ). Nah, saat sang karakter menunjukan rute sambil melihat peta, kamera malah tidak nge-shoot daerah yang katanya jauh dan berliku itu. Malah kamera nge-shoot pemeran dari depan sambil si pemerang nunjuk-nunjuk daerah di belakang kamera. Kacau sekali. Bagaimana kita tahu kalau itu daerah sangat jauh? Bagaimana daerah itu misterius kalau landsacape-nya tidak diperlihatkan pada pemonton? Penonton tidak dibawa masuk ke dalam film.
Kedua: Judul Tidak Sesuai
Ekstrim-nya, seharusnya film ini lebih tepat di beri judul Vacation in Papua. Dengan durasi film 100 menit namun baru sekitar 20 menit menjelang film selesai si pemeran ini tersesat di pedalaman Papua. Sebelumnya? Liburan dan liburan. Ya, seolah ini seperti program-program liburan yang biasa ada di TV. Baru pertama di Papua, Nadia bukannya menyelesaikan misi dari kantornya malah berlibur. Tugas kantor yang entah apa itu juga nantinya malah tidak nampak dikerjakan karena Nadia malah pergi ke hutan mencari jejak tunangannya yang hilang. Nadia dan teman yang baru ditemuinya berlibur ke pantai, jembatan entah apa dan banyak tempat lain. Mereka juga nonton tari-tarian Papua.
Ketika mereka akhirnya berangkat ke hutan dan sampai ke kampung suku Korowai yang dipedalaman itu, mereka juga disambut dengan tari-tari dan dibuatkan acara di malam harinya oleh Kepala Suku. Lah? Memangnya mereka turis yang sudah confirm mau ke situ? Makin tampak seperti acara liburan dan makin tidak tampak arah film ini mau ke mana.
Lost in Papua tadinya saya kira akan bercerita eksplorasi rimba Papua sampai kemudian tersesat entah di mana di daerah yang misterius. Ini tidak. Mereka ini seperti cuma piknik saja ke Papua dan kemudian ke suku Korowai. Hanya karena satu hal di suku Korowai yang membuat mereka dikejar-kejar dan kemudian ‘tersesat’. menuju pedalaman dan bertemu suku misterius.
Untuk menuju ke perkampungan Korowai amat sangat lancar, naik mobil pula. Perjalanan naik mobil menuju Baven Digul tempat hutan itu berada sebenarnya kalau kameramennya pintar dan sutradaranya visioner bisa menarik lho. Dibuat jadi semacam ekspedisi. Bisa dibuat koq kalau mau. Lihat saja iklan-iklan rokok. Keren kan? Lah ini film, punya durasi yang lebih panjang, seharusnya bisa lebih dari iklan rokok itu,. Sayangnya film ini tidak begitu. Perjalanan naik mobil, kecuali saat melewati kubangan lumpur, kurang menarik. Lihat dong lagi-lagi Denias, saat Denias berlari ke kota adegannya dramatis sekali. Kita seakan dibawa menjadi Denias yang kepayahan itu. Ditambah, kita bahkan dapat ‘bonus’ landscape hutan dan padang rumput Papua.
Ketiga: Plot Cerita Amburadul
Plot cerita film ini amburadul sekali. Nadia ke Papua dalam rangka tugas dinas, tapi sesampainya di Papua malah jalan-jalan terus dan kemudian malah ingin ke hutan mencari tunangannya yang dulu hilang di sana. Tidak ada sama sekali nampak Nadia mengerjakan tugasnya yang entah apa itu. Dan akhirnya jadilah ini film tentang liburan Nadia yang diselingi tersesat di 20 menit terakhir film. Bocoran lagi, malah ada scene yang mendadak mengingatkan saya pada reality show Jika Aku Menjadi. -___-’
Belum lagi film ini juga banyak dipenuhi kebetulan-kebetulan. Tunangannya hilang di rimba Papua, kebetulan Nadia ditugaskan ke Papua. Di kantor diganggu terus sama anak bos, kebetulan Nadia ditugaskan ke Papua. Jadinya bisa mencari tunangan sambil menghindari gangguan anak si bos. Ditugaskan ke Papua, kebetulan kakek Nadia pernah jadi pejuang di sana. Lagi survey tentang Papua dan membaca Suku Korowai, kebetulan kakek Nadia pernah diselamatkan anak kepala suku itu saat kabur dari penjara Belanda. Sampai di Papua kebetulan Nadia ketemu warga lokal yang baik hati yang kemudian jadi teman yang kebetulan ternyata ayahnya teman tunangan Nadia. Dan masih banyak kebetulan-kebutulan lain.
Terus tentang RKT 2000 daerah yg misterius itu. Masa baru lari beberapa saat dari suku Korowai, sudah ketemu kampung suku terasing? Terasing dimananya kalau seperti itu? Kalaupun iya memang ceritanya jauh, berarti sutradara gagal menciptakan kesan jauh ke penonton (khususnya kepada saya pribadi). Tentang suku terasingnya juga mengecewakan. Masa ceritanya suku itu wanita semua? Berasa nonton Warkop DKI.
Keempat: Akting Payah
Film ini melibatkan banyak orang Papua, tapi terkesan mereka tampak seperti tidak di-casting. Seolah hanya yang penting mengambil orang Papua. Saya amat sangat yakin masih banyak warga Papua yang lebih bisa akting disana. Di film ini warga Papua yang dilibatkan banyak yang tidak bisa akting. Ekpresi datar, dialog kaku dan yang utama, act-nya tidak natural. Yang paling payah ya si suku misterius yang isinya wanita semua itu. Sutradara atau Divisi Casting seperti asal comot wanita Papua. Yang seolah jadi tentara suku tidak seram sama sekali. Jadinya agak aneh seorang Fauzy Badila yang perawakannya tegas itu takhluk sama wanita yang mohon maaf tampak menye-menye. Belum lagi Kepala Sukunya yang malah lebih tampak seperti ibu-ibu arisan daripada kepala suku yang seram dan disegani. Scene tersesat yang melibatkan suku misterius ini menurut saya kurang berhasil. Sorry to say mas Sutradara. Untuk suku Korowai mungkin mereka memang asli suku Korowai jadi kalaupun acting kaku tidak masalah. Lagipula stressing point-nya juag bukan ke Suku Korowai. Si Suku misterius ini loh. Bukan suku asli harusnya casting yang bener kek.
Sebenarnya kalau mau bicara ketidakmutuan film ini masih banyak lagi, terutama dari sisi cerita yang sangat lemah itu. Mulai dari tokoh-tokoh yang mubazir, adegan tidak perlu yang bersliweran, jumping cerita yang cukup banyak dan masih banyak yang lain. Akan tetapi saya tidak tega. Kesannya ini film jelek sekali. Jadi biarlah saya berhenti di sini. Terus terang film ini bagi saya sangat mengecewakan. Jauh di bawah Denias yang sama-sama berlatar belakang Papua. Membawa nama Papua film ini justru malah ‘mempemalukan’ Papua. Sayang sekali.
0 comment:
Posting Komentar