(ditulis oleh: Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi, Lc.)
 
 
Bila menelisik perjalanan sejarah umat manusia di masa jahiliah,  niscaya akan didapati potret kehidupan yang multikrisis. Sebuah tatanan  kehidupan di mana umat manusianya dirundung kegalauan spiritual dan  kepincangan intelektual.
 
 
Tingkah polahnya sangat jauh dari norma-norma agama yang luhur  dan fitrah suci. Sementara corak kehidupannya adalah kebejatan akhlak  dan dekadensi moral. Sehingga kesyirikan –yang merupakan dosa paling  besar di sisi Allah l– merajalela. Demikian halnya dengan pembunuhan,  kezaliman, perzinaan dan berbagai macam bentuk perbuatan amoral  (kemaksiatan) lainnya. Semuanya berjalan mengiringi derap langkah  kehidupan mereka. Tak ayal bila masa itu kemudian dikenal dengan masa  jahiliah.
 
Di kala umat manusia berada dalam kebingungannya, norma agama dan  fitrah suci hanya sebatas fatamorgana, datanglah Muhammad bin Abdullah n  seorang Nabi dan Rasul yang didamba, membawa petunjuk ilahi dan agama  yang benar (Islam) serta kitab suci Al-Qur`an yang mulia. Dengan sebuah  misi utama; mengentaskan umat manusia dari jurang kejahiliahan yang  gelap gulita menuju cahaya Islam yang terang benderang dengan  seizin-Nya. Tak heran, bila risalah beliau n kemudian menjadi rahmat  bagi alam semesta. Allah l berfirman:
 
“Dialah (Allah l) yang telah mengutus Rasul-Nya dengan (membawa)  petunjuk dan agama yang benar, agar Allah l memenangkan agama tersebut  atas semua agama yang ada, walaupun orang-orang musyrik tidak  menyukainya.” (Ash-Shaff: 9) 
 
“Hai Ahli Kitab, telah datang kepada kalian Rasul Kami, menjelaskan  kepada kalian banyak dari Al-Kitab yang kalian sembunyikan dan banyak  pula yang dibiarkannya. Sesungguhnya telah datang kepada kalian cahaya  dari Allah dan kitab yang menerangkan (Al-Qur`an). Dengan kitab itulah  Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya kepada jalan  keselamatan. Dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang  itu dari kegelapan menuju cahaya yang terang benderang dengan  seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus.” (Al-Ma`idah:  15-16) 
 
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi alam semesta.” (Al-Anbiya`: 107) 
Beruntunglah orang-orang yang mendapatkan hidayah ilahi dengan  dilapangkan dadanya untuk memeluk agama Islam secara sempurna, dengan  meniti jejak Rasulullah n dan para sahabatnya. Allah l  berfirman:“Barangsiapa dikehendaki Allah untuk mendapatkan hidayah-Nya,  niscaya Allah melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan  barangsiapa dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan  dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki ke langit.  Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman.  Dan inilah jalan Rabb-mu; (jalan) yang lurus. Sesungguhnya Kami telah  menjelaskan ayat-ayat (Kami) kepada orang yang mengambil pelajaran. Bagi  mereka (disediakan) darussalam (surga) di sisi Rabb mereka dan Dialah  pelindung mereka disebabkan amalan-amalan shalih yang selalu mereka  kerjakan.” (Al-An’am: 125-127)  
Islam Selalu Memerhatikan Prinsip Keilmuan dan Tazkiyatun Nufus (Penyucian Jiwa) 
Islam yang dibawa Rasulullah n ini adalah agama yang sempurna dan  paripurna. Syariatnya yang senantiasa relevan sepanjang masa benar-benar  menyinari segala sudut kehidupan umat manusia. Tak hanya wacana  keilmuan semata yang dipancarkannya, misi tazkiyatun nufus (penyucian  jiwa) dari berbagai macam akhlak tercela (amoral) pun berjalan seiring  dengan misi keilmuan tersebut dalam mengawal umat manusia menuju puncak  kemuliaannya. Allah l berfirman: 
 
“Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di  antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, menyucikan  mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab (Al-Qur`an) dan Al-Hikmah  (As-Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam  kesesatan yang nyata, dan (juga) kepada kaum yang lain dari mereka yang  belum berhubungan dengan mereka. Dan Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha  Bijaksana.” (Al-Jumu’ah: 2-3) 
Dalam haditsnya yang mulia, Rasulullah n bersabda:  
إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الْأَخْلاَقِ 
“Sungguh aku diutus (oleh Allah l) untuk menyempurnakan akhlak  (budi pekerti) umat manusia.” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad,  Ahmad, dan Al-Hakim, dari sahabat Abu Hurairah z. Dishahihkan Asy-Syaikh  Al-Albani t dalam Silsilah Ash-Shahihah no. 45) 
Betapa besarnya perhatian Islam terhadap prinsip tazkiyatun nufus  dan pembentukan akhlak mulia. Bahkan lima rukun Islam yang merupakan  fondasi utama keislaman seseorang sangat berperan dalam penyucian jiwa  dan pembentukan akhlak mulia tersebut.2 
Kalimat syahadat Laa ilaaha illallah menanamkan nilai-nilai  penghambaan seorang muslim kepada Allah l, dengan menjalankan segala  perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Jauh dari sifat sombong,  angkuh, dan semena-mena. Karena sadar bahwa dirinya adalah seorang hamba  yang tak berdaya. Tiada daya dan upaya baginya melainkan karena Allah  l. 
Adapun shalat, maka ia sangat urgen dalam mengantarkan pribadi  muslim menjadi insan yang berakhlak mulia. Karena dapat mencegahnya dari  segala perbuatan keji dan mungkar, manakala shalat tersebut ditunaikan  secara sempurna dengan memerhatikan seluruh syarat, rukun, wajib, dan  sunnahnya. Allah l berfirman: 
 
“Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al-Kitab  (Al-Qur`an) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari  (segala perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah  (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain).  Dan Allah mengetahui apa yang kalian kerjakan.” (Al-'Ankabut: 45) 
Shalat pun dapat membantu seorang muslim untuk membersihkan dirinya  dari tabiat buruk yang membelenggunya dan membantunya untuk berakhlak  mulia. Allah l berfirman: 
 
“Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir.  Apabila ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah dan apabila mendapat  kebaikan ia amat kikir. Kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat;  yang mereka itu istiqamah dalam mengerjakannya, dan orang-orang yang  dalam hartanya tersedia bagian tertentu bagi orang (miskin) yang meminta  dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta), dan  orang-orang yang memercayai hari pembalasan, dan orang-orang yang takut  akan azab Rabbnya. Karena azab Rabb mereka itu tak ada yang dapat merasa  aman (darinya). Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya, kecuali  terhadap istri-istri mereka atau budak-budak yang mereka miliki maka  mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik  itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. Dan  orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan  janjinya. Dan orang-orang yang memberikan kesaksiannya (dengan  sebenarnya).” (Al-Ma’arij: 19-33) 
 
“Sesungguhnya yang dapat kamu beri peringatan hanya orang-orang  yang takut kepada azab Rabbnya (sekalipun) mereka tidak melihat-Nya dan  mereka mendirikan shalat. Barangsiapa mensucikan dirinya, maka  sesungguhnya ia mensucikan diri untuk kebaikan dirinya sendiri. Dan  kepada Allah-lah tempat kembali(mu).” (Fathir: 18) 
Demikian pula zakat, shaum Ramadhan, dan ibadah haji. Semuanya  dapat membentuk pribadi muslim menjadi insan yang berakhlak mulia.  Sebagaimana firman Allah l: 
 
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka.” (At-Taubah: 103) 
 
“Hai orang-orang yang beriman telah diwajibkan bagi kalian shaum  sebagaimana telah diwajibkan atas umat sebelum kalian agar kalian  bertaqwa.” (Al-Baqarah: 183) 
 
“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa  yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka  tidak boleh rafats (berkata keji/tidak senonoh, pen.), berbuat fasik dan  berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kalian  kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan  sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah taqwa, dan bertaqwalah kepada-Ku,  hai orang-orang yang berakal.” (Al-Baqarah: 197) 
Dari sini, semakin jelaslah bahwa agama Islam yang mulia ini tak  hanya memerhatikan prinsip keilmuan semata. Bahkan akhlak mulia dan amal  shalih (sebagai aplikasi dari keilmuan tersebut) merupakan prinsip  agama yang sejak dini telah diguratkan Rasulullah n dengan  sedalam-dalamnya pada bingkai agama Islam. 
Sebagaimana penuturan sahabat Abdullah bin Abbas c berikut ini:  “Tatkala berita kemunculan Nabi Muhammad n di kota Makkah telah sampai  kepada sahabat Abu Dzar Al-Ghifari, berkatalah ia kepada saudaranya:  ‘Pergilah engkau ke Makkah dan carilah informasi tentang seseorang yang  mengaku telah mendapat wahyu dari langit itu. Dengarlah kata-katanya.  (Bila dirasa cukup, pen.) kembalilah kemari dengan membawa informasi.’  Maka berangkatlah ia (saudara Abu Dzar) menuju Makkah dan didengarkanlah  secara saksama segala apa yang dikatakan Nabi n. (Setelah dirasa cukup,  pen.) kembalilah ia menemui sahabat Abu Dzar Al-Ghifari, seraya  mengatakan: ‘Aku melihatnya (Nabi Muhammad n) selalu memerintahkan  kepada akhlak mulia, dan aku mendengar darinya suatu perkataan namun  bukan syair.” (HR. Muslim no. 2474)  
Kewajiban Berhias Diri dengan Akhlak Mulia 
Manusia adalah makhluk sosial yang mau tak mau (dalam memenuhi  kebutuhan hidupnya) akan bermuamalah dengan sesamanya. Sedangkan  muamalah (dalam bentuk apapun) tak akan berlangsung dengan baik tanpa  didasari akhlak mulia. Sehingga berhias diri dengan akhlak mulia  merupakan kewajiban setiap insan muslim. Terlebih Rasulullah n telah  memerintahkan umatnya kepada akhlak mulia tersebut sejak awal masa  kenabiannya, sebagaimana riwayat sahabat Abdullah bin Abbas c di atas.  Tentunya, ini semua menunjukkan bahwa berhias dengan akhlak mulia  merupakan masalah prinsip dalam beragama yang sejak dini telah  ditanamkan Rasulullah n kepada umatnya. 
Seseorang yang berhias dengan akhlak mulia, berarti telah mendapat  anugerah hikmah dari Allah l. Hal ini nampak jelas manakala Allah l  berfirman (setelah menyebutkan wasiat-wasiat besar yang berisikan akhlak  mulia dalam surat Al-Isra` ayat 23-38): 
 
“Itulah sebagian hikmah yang diwahyukan Rabbmu kepadamu.” (Al-Isra`: 39) 
Barangsiapa dianugerahi hikmah oleh Allah l, maka ia benar-benar dianugerahi karunia yang banyak. Sebagaimana firman Allah l: 
 
“Dan barangsiapa dianugerahi hikmah oleh Allah l, maka ia benar-benar dianugerahi karunia yang banyak.” (Al-Baqarah: 269) 
Dengan akhlak mulia, seorang muslim akan meraih kesempurnaan dalam imannya. Rasulullah n bersabda: 
أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا 
“Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik  akhlaknya.” (HR. At-Tirmidzi no. 1082. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani t  dalam Shahih Al-Jami’ no. 1232) 
Selaras dengan itu, Allah l yang Maha Bijaksana telah memilih  Rasul-Nya Muhammad bin Abdullah n sebagai seorang yang paling mulia  akhlaknya. Sehingga benar-benar dapat menjadi figur dan teladan mulia  bagi seluruh umat manusia. Allah l berfirman: 
 
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti (berakhlak) yang agung.” (Al-Qalam: 4) 
 
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah n itu suri teladan  yang baik bagi kalian (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah  dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (Al-Ahzab:  21)  
Ahlus Sunnah wal Jamaah Menyerukan Akhlak Mulia 
Ahlus Sunnah wal Jamaah, adalah orang-orang yang berusaha  meneladani Rasulullah n dalam kehidupan ini. Kehidupan mereka pun  diliputi cahaya ilmu dan dihiasi akhlak mulia. Sebagaimana tercermin  dalam nasihat Al-Imam Muhammad bin Sirin, Al-Imam Malik, dan yang  lainnya dari ulama salaf rahimahumullah: “Ilmu (hadits) ini adalah  bagian dari agama, maka lihatlah (selektiflah) dari siapakah agama itu  kalian dapatkan. Tidaklah cukup (bagi seseorang) berbekal ilmu yang  banyak (dalam bidang yang digelutinya, pen.). Akan tetapi haruslah  dilengkapi dengan berbagai disiplin ilmu syariat lainnya, karena satu  dengan yang lainnya saling terkait. Dengan harapan agar berada di atas  jalan yang lurus, agama yang benar, akhlak yang mulia, pikiran yang  jernih, dan wawasan yang sempurna.” (Adabul ‘Alim wal Muta’allim, karya  Al-Imam An-Nawawi t hal. 46) 
Lebih dari itu, mereka mengajak umat ini untuk berilmu dan  berakhlak mulia. Sebagaimana diterangkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t  dalam kitabnya yang mulia Al-Aqidah Al-Wasithiyyah: “Ahlus Sunnah wal  Jamaah di samping berpegang teguh dengan prinsip-prinsip (aqidah, pen.)  tersebut, juga menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar sesuai dengan yang  diperintahkan dalam syariat ini. Meyakini sahnya pelaksanaan haji,  jihad, shalat Jum’at dan shalat ied bersama pemerintah yang adil maupun  yang jahat. Memelihara persatuan dan kesatuan, meluangkan nasihat untuk  umat, dan meyakini kandungan sabda Rasulullah n: ‘Seorang mukmin dengan  mukmin lainnya ibarat bangunan yang saling mengokohkan satu dengan yang  lainnya, (kemudian beliau n memasukkan jari-jemari tangan kanannya  kepada jari-jemari tangan kirinya).’ Juga sabda beliau n: ‘Perumpamaan  orang-orang yang beriman dalam hal saling berkasih sayang, ibarat satu  tubuh yang apabila salah satu dari anggota tubuh tersebut sakit, maka  anggota tubuh lainnya pun akan merasakan demam dan tidak bisa tidur  (sakit pula).’ Memerintahkan kepada kesabaran saat mendapat cobaan,  bersyukur saat mendapat kelapangan, dan ridha terhadap takdir pahit yang  Allah l tentukan. Menyeru kepada akhlak mulia dan amalan terpuji,  dengan meyakini kandungan sabda Rasulullah n: ‘Orang mukmin yang paling  sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya.’ Menghasung untuk  berbuat baik kepada orang yang memutuskan hubungan denganmu, menderma  orang yang tak memberimu, dan memaafkan orang yang menzalimimu.  Memerintahkan berbakti kepada kedua orangtua, menyambung tali  silaturahim, berbuat baik dengan tetangga, berderma kepada anak-anak  yatim, kaum miskin, dan musafir (orang yang dalam perjalanan), serta  berlemah lembut kepada hamba sahaya. Melarang dari perbuatan sombong,  berbangga diri, aniaya dan semena-mena terhadap sesama, baik dalam  posisi benar maupun salah. Memerintahkan kepada budi pekerti mulia dan  melarang segala perangai tercela. Semua yang mereka ucapkan dan mereka  kerjakan dari semua ini, mengikuti (bimbingan) Al-Qur’an dan As-Sunnah.  Dan jalan yang mereka tempuh adalah agama Islam yang dibawa Rasulullah  n.” 
Dari sini semakin jelaslah bagi kita, bahwa berhias dengan akhlak  mulia dan berdakwah kepada hal ini (akhlak mulia) merupakan bagian dari  prinsip utama Ahlus Sunnah wal Jamaah yang harus dipegang erat-erat oleh  setiap muslim, seiring dengan prinsip keimanan (keilmuan) yang harus  terhunjam dalam lubuk hati yang paling dalam.3 Bila prinsip utama ini  benar-benar menyatu dalam kehidupan umat, maka akan teraihlah suatu  kebangkitan yang dapat mengantarkan mereka kepada puncak kemuliaan.4  Sketsa kehidupan di atas benar-benar telah terwujud pada masyarakat tiga  generasi terdahulu umat ini (generasi sahabat Nabi n, tabi’in, dan  tabi’ut tabi’in), yang dengannya mereka menyandang gelar “generasi  terbaik umat ini”. Rasulullah n bersabda: 
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِيْ، ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ، ثُمَّ  الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ، ثُمَّ يَجِيءُ قَوْمٌ تَسْبِقُ شَهَادَةُ  أَحَدِهِمْ يَمِيْنَهُ وَيَمِيْنُهُ شَهَادَتَهُ 
“Sebaik-baik manusia (generasi) adalah yang hidup di abadku,  kemudian generasi berikutnya, kemudian generasi berikutnya, setelah itu  akan datang suatu kaum yang persaksiannya mendahului sumpahnya dan  sumpahnya mendahului persaksiannya.” (HR. Al-Bukhari no. 3650 dari  sahabat ‘Imran bin Hushain z, dan Muslim no. 4533 dari sahabat Abdullah  bin Mas’ud, ‘Imran bin Hushain, dan Abu Hurairah g) 
Ya Allah... berilah kami petunjuk untuk berhias dengan akhlak mulia  dalam kehidupan ini, karena tiada yang dapat menunjukinya melainkan  Engkau. Dan palingkanlah kami dari segala perangai tercela, karena tiada  yang dapat memalingkannya melainkan Engkau. Ya Allah… dengarlah  permohonan kami, karena tiada yang dapat mengabulkannya melainkan  Engkau…  
  1 Akhlak mulia terkadang bermakna umum dan terkadang bermakna  khusus. Bermakna umum manakala cakupannya adalah seluruh perkara agama  ini baik aqidah, ibadah, maupun muamalah. Bermakna khusus manakala  cakupannya adalah muamalah dan adab semata. Dan yang dimaksud dengan  akhlak mulia dalam pembahasan kali ini adalah yang bermakna khusus,  yakni muamalah dan adab. (Lihat Makarimul Akhlaq wa Ahammiyyatuha  Fiddin, karya Asy-Syaikh Muhammad bin Abdullah As-Subayyil yang dimuat  dalam Majalah At-Tau’iyah Al-Islamiyyah no. 215 Th. 1418 H, hal. 76-77) 
2 Untuk lebih rincinya, lihat Makarimul Akhlaq wa ahammiyyatuha  Fiddin, karya Asy-Syaikh Muhammad bin Abdullah As-Subayyil yang dimuat  dalam Majalah At-Tau’iyah Al-Islamiyyah no. 215 Th. 1418 H, hal. 78-81.  
 
3 Tidaklah dibenarkan metode dakwah Jamaah Tabligh yang memfokuskan  dakwahnya kepada akhlak mulia semata, namun melalaikan sisi keilmuan  (terkhusus tauhid uluhiyyah, al-asma` wash shifat, dan fiqih ibadah). 
4 Sungguh mengherankan apa yang disebutkan dalam buku Strategi  Dakwah Hizbut Tahrir (hal. 40-41): “Demikian pula, dakwah kepada akhlak  mulia tidak dapat menghasilkan kebangkitan…, dakwah kepada akhlak mulia  bukan dakwah (yang dapat) menyelesaikan problematika utama kaum  muslimin, yaitu menegakkan sistem khilafah.”
http://www.asysyariah.com/index.php?option=com_content&view=article&id=301:berhias-dengan-akhlak-mulia-bagian-dari-prinsip-beragama-manhaji-edisi-44&catid=7:manhaji&Itemid=15