Kau Tau?...

Kau tahu apa yang menyenangkan? Saat perempuan-perempuan berpikir aku pernah mencintai mereka. Dan tebak apa yang menyakitkan? Mencintaimu.

Hai Aku...

Hai orang yang gagal jatuh cinta, sedang apa kau? Ah, senyummu! Kukenal senyum palsu itu! Aku juga pernah melakukannya saat bersamamu.

Hanya Kamu

Aku sayang kamu sejak lama, tapi kini aku punya mata yang baru. Mata yang tertutup bagi segala keindahan perempuan yang bukan kamu.

Beda Cerita

Beda ceritanya, antara kamu sudah mengisi hati seseorang atau kamu hanya sedang membuat seseorang sibuk hingga tak sempat menengok hatinya.

Bangga Menjadi Diri Sendiri

Kamu harus bangga bahwa kamu adalah kamu. Sebab mungkin tidak mudah bagi orang lain bila menjadi kamu. :)

Senin, 13 Agustus 2018

Mytha - Day 73

Day 73 - Pengakuan

"Gila ya, gw bisa nyaman ama elo.." Seru mytha sambil nyeruput kuah bakso

Mendengar pernyataan itu sudah sepatutnya gw seneng, tapi entah ada sesuatu yang membuat kalimat itu terdengar hambar di hati sekalipun begitu renyah di telinga.

"Sebatas temen ya? Myt?" timpal ku dengan nada sayup

"Loh kok kamu ngga seneng gitu? Hahahaha" balasnya sambil memukul bahuku dengan manja. Tawanya pelan namun menggema, mungkin dia tahan karena sebongkah bakso panas masih berusaha dia kunyah di mulut mungilnya.

Aku tak ingin melanjutkan percakapan ini, aku biarkan dia menyelesaikan makan siangnya dengan nyaman, iya NYAMAN. Bukan karena takut ia tersedak, hanya saja aku bisa menebak kemana ujung percakapan ini bila di lanjutkan tanpa jeda.


Day 73 -  Gerimis

Kacau mulai menggerogoti fikiranku. Retakan di dinding hatiku semakin membesar. Perasanku sudah tak terbendung lagi. Emosiku membuncah.

Belum habis satu porsi Mie Bakso yang dia santap, kutarik mytha ke tengah lapangan Bola Basket dengan ajakan untuk bermain hujan-hujanan.
Harusnya aku dan dia berlarian kesana kemari layaknya orang biasa bermain. Namun kami tidak, entah mengapa aku dan mytha malah langsung terpaku berdiri begitu air hujan menerpa wajah.

Ingin aku bertanya kenapa atau gimana perasaanya saat itu, namun keinginanku terkalahkan dengan rasa penasaran, kalimat apa yang bakal terucap dari bibir mytha.

Aku tunggu, 5 detik

Aku tunggu lagi, 10 detik.

Masih aku tunggu, 15 detik.

Sial, tak ada kata yang terucap. Matanya masih terpejam dengan kepala menengadah seakan membiarkan butiran hujan membasuh lelah di wajahnya. Rambut pendek berwarna coklatnya mulai sepenuhnya basah dan menghitam. Kacamatanya makin berembun dan bibir hangat merahnya mulai dingin membiru. Ku genggam erat tangannya, dia pasrah.

Di titik terjauh nalarku, aku menyadari bahwa sudah tak perlu lagi untuk tau seberapa berharga aku di matanya. Maka kali ini aku putuskan untuk sedikit saja menyentuh hatinya. Tak peduli seberapa tinggi tembok atau seberapa keras dinding egonya, akan aku coba untuk runtuhkan.

Di detik ke 75 aku coba mengetuk pintu hatinya dengan melantunkan puisi buatannya, Separuh Langit Hatiku. Puisi yang dia buat untuk Jonathan, mantan kekasihnya.

Bait demi bait aku lantunkan dengan lantang, ku resapi dalam hati kata demi kata. Ku buat-buat seolah dibacakan oleh gadis separuh baya yang baru saja ditinggal kekasihnya. Air mataku mulai jatuh di bait kedua, suaraku mulai berat dan gemetar. Mataku tajam menatap wajah Mytha yang masih menengadah dengan mata tertutup. Bibirnya ikut gemetar pada kata demi kata puisinya. Aku yakin, meskipun suaraku kalah dengan gemuruh hujan dan gelegar petir, tak ada saatu huruf pun yang tak sampai ke hatinya.

Bait ketiga dan terakhir ku lantunkan dengan nada sayu, aku tau dia menyusupkan nama satu lelaki yang bukan aku. Harapku dia menyela, mengaku bahwa ia adalah Jonathan, mengaku bahwa harapan yang dia tawarkan padaku adalah semu, bahwa nyaman yang dia rasakan hanya rasa hambar daripada kehampaan, bahwa aku hanyalah pilihan atas penyesalan.

Sial lagi, sampai habis puisinya dia tak bergeming. Tapi ada satu yang berubah, basah diwajahnya tak lagi sekedar dingin. Air hujan bercampur air matanya mengalir di pipi mungilnya, dia menangis dengan tenang.

Aku tak menyia-nyiakan kesempatan, dia lengah. Aku raih kepalanya dan ku dekapkan di dada. Dia mulai sesenggukan, Ku biarkan dia disana beberapa menit, setidaknya aku berharap ada satu kalimat yang bisa dia ucapkan.

Ku tegakkan kepalanya setelah isakkannya mulai tak terdengar. Dia mulai membuka mata dengan tatapan kabur karena embun masih menutupi kacamatanya. Bibirnya gemetar kedinginan bersama tangannya yang tak lagi ku genggam. Lalu tanpa permisi aku kecup bibirnya. Tak sopan memang, adik kelas harusnya meminta izin terlebih dahulu untuk mencium kakak kelasnya. Tapi masa bodoh, aku tak lagi memikirkan apapun selain suasana romantis disana.

Dia tak berontak, beberapa detik dia masih membiarkan bibir kami bersentuhan. Sampai di hela nafas ke tujuh dia membuka mulut

"Nov, anter gw pulang."


Mytha

Perkenalan!
Awal ceritaku dengan Mytha berselang tak begitu lama setelah aku putus dengan Ervita. Sebelumnya aku memang sudah mengenal baik dia sebagai kakak kelas idaman. Gadis dengan perawakan jangkung, paras manis, rambut sebahu dan kacamata bulat. Ya, sebuah kesalahan memang. Akira Mado dalam bukunya yang berjudul The Origin of Kawaii Onee-chan berpendapat bahwa "Short Hair doesn't belong to tall girl". Dan tentu sebagai Short Hair Worshipper aku meng-iya-kan pendapat itu dengan banyak argumen yang bisa aku pertanggung jawabkan di depan Hakim Agung. Ditambah lagi dengan kacamata bulat, apa-apaan ini? Seperti penistaan terang-terangan terhadap kaum rambut pendek.

Aku dan Mytha memang jarang bercakap. Hanya sesekali berlempar senyum saat berpapasan di kantin atau saat upacara bendera. Itupun aku hanya mampu memanggil namanya dengan panggilan "kakak". Itu karena semenjak hubunganku kandas dengan Annisa tahun lalu aku memutuskan untuk tak memanggil wanita manapun dengan namanya. Rasanya membelenggu memang, seperti mencoba bernafas di dalam air. Tapi mau bagaimana lagi, kepergian annisa begitu membekas di dalam dada.

Day 1 - Selembar Kertas
Seminggu setelah teman sekelasku mengeluh gara-gara aku yang terus-menerus uring-uringan saat jam istirahat di kelas, mereka mulai mencomblangkan aku dengan siapa saja termasuk Bu Ijah, guru seni yang baru menjanda 3 tahun lalu.
Hingga di satu rabu, Hilmi teman sekelasku memberikan selembar kertas berisikan puisi. (Saat itu aku diperbantukan untuk mengurus dekorasi Majalah Dinding di Gedung Timur selama satu bulan)

Dalam hatiku "Ini anak ada akal bulus apa lagi hah?"

Awalnya tak ingin ku hiraukan isi puisinya, perasaan masa bodoh sudah terlanjur menguasai mood ku seharian ini. Mataku langsung tertuju pada siapa yang membuatnya. Tertulis dengan Italic di bagian belakang, Mytha A - XII IPA 2.

"Hah? Mytha?" Tanyaku pada Hilmi

"Yoi! Bikinin frame yak! Besok pagi langsung tempel di Mading, genti koran bola di sebelah kiri." Sahut Hilmi serasa berlalu meninggalkan kelas

"Sial!" Gerutuku dalam hati

Day 1 - 5 Menit di Neraka
Siang itu aku segera menghampiri kelas Mytha yang tak jauh dari kelasku, hanya terpisah dengan lorong dan taman-taman kecil. Memang sudah biasa aku main ke kelasnya, tapi untuk bertemu orang lain, kang rizki teman sesama penyuka musik jepang.