Kau Tau?...

Kau tahu apa yang menyenangkan? Saat perempuan-perempuan berpikir aku pernah mencintai mereka. Dan tebak apa yang menyakitkan? Mencintaimu.

Hai Aku...

Hai orang yang gagal jatuh cinta, sedang apa kau? Ah, senyummu! Kukenal senyum palsu itu! Aku juga pernah melakukannya saat bersamamu.

Hanya Kamu

Aku sayang kamu sejak lama, tapi kini aku punya mata yang baru. Mata yang tertutup bagi segala keindahan perempuan yang bukan kamu.

Beda Cerita

Beda ceritanya, antara kamu sudah mengisi hati seseorang atau kamu hanya sedang membuat seseorang sibuk hingga tak sempat menengok hatinya.

Bangga Menjadi Diri Sendiri

Kamu harus bangga bahwa kamu adalah kamu. Sebab mungkin tidak mudah bagi orang lain bila menjadi kamu. :)

Kamis, 06 Desember 2012

Hujan, aku dan dia

“hai, kamu terlihat sedih”
kata hujan kepada lelaki kecil yang menatapnya dengan muka muram.
“Hai hujan, aku sedang menunggu orang yang sedari tadi menungguku, taukah kau dimana dia?”
jawab si lelaki dengan butiran hujan membasahi pipinya, bercampur dengan air matanya yang hangat.
“Dia terjebak hujan, tak ada payung. Dia bersama yang lain”
balas hujan, rintiknya semakin deras.
“Apa yang harus kulakukan? Menemuinya walau aku tak tau dia dimana? Atau cukup berteduh disini seperti seorang pengecut! Jujur, aku sangat menghawatirkannya. Hujan kini terlalu deras, aku takut dia kenapa-kenapa, dia mudah sakit”
Mimik wajah lelaki semakin sedih. Hujan mulai segan mengguyur bumi.
“Aku justru menghawatirkanmu. Aku hendak pergi, tapi siapa lagi yang akan menemuimu nanti? Andai saja yang kau tunggu ternyata sudah pulang”
Hujan mulai berlalu bersama angin sore yang sangat dingin. Masih menyisakan rintik-rintik sebagai tanda perpisahan.
Seorang wanita tiba-tiba berlari dari arah timur, dia sendiri mencari tempat untuk berteduh. Dia duduk di sebelah lelaki tadi.
 “Wah kebasahan, ku kira takkan sederas ini tadi”
Wanita itu berbicara pada dirinya sendiri, namun dia menyadari ada pria kecil di sampingnya. Dia mengeringkan pakaian basahnya dengan tangannya, menyibakkan rambutnya lalu menyimpan tasnya dekat pria itu.
“hey, kenapa? Hujan mulai reda. Kau tak segera pergi?”
Tanya wanita itu pada lelaki yang sedari tadi hanya termenung.
“Tak apa, aku hanya memastikan hujan benar-benar pergi”
Jawab lelaki itu sembari memperhatikan wanita yang duduk disampingnya.
“Dia manis, dengan rambut basah dan kulit putih yang kedinginan itu dia terlihat sangat anggun.” Fikir lelaki itu dalam hatinya.
“ah jangan bohong, kutau kau sedang menunggu seseorang. Siapa? Pacarmu?”
Seru wanita itu kepada si lelaki dengan nada mengejek. Dia memperhatikan mimik wajah gelisah lelaki itu.
“sebenarnya aku tidak sedang menunggu seseorang. Malahan aku sedang membuat seseorang menunggu. Dia temanku, sebatas teman”
Dia mulai berdiri, merapihkan rambutnya sembari menghapus air hujan yang bercampur air mata di pipinya.
“Kenapa kau tak menghubunginya saja? Kau bisa segera menemuinya. Hujan sudah benar benar reda”
Saran wanita itu kepada lelaki yang sedang memasukan sebuah buku merah ke dalam tasnya.
“Kalau saja HPku hidup, aku sudah melakukannya sedari tadi. Hehe”
Lelaki itu tersenyum dan sedikit memberikan tawa halusnya. Dia sedang bersiap-siap pergi.
“Kau mau memakai HPku? Kau bisa pakai untuk menghubunginya?”
Kata wanita itu dengan penuh perhatian.
“Tak apa, kuyakin dia sudah pulang. Dia bersama teman-temannya tadi”
Jawab lelaki itu dengan muka yang penuh rasa yang yakin.
“hey darimana kau tau? Katanya Hpmu mati?”
Wajahnya tampak bingung dengan jawaban si lelaki
“Hujan yang memberitahuku. Hehe”
Lelaki itu melebarkan senyumnya, dia nampak sedang menutupi sesuatu.
“ah bodoh, mana mungkin. Eh kau akan segera pergi? Aku harap aku bisa tau namamu”
Tanya wanita itu sambil menatap wajah lelaki itu
“Hmm, iya aku Reza. Kamu?”
Jawab lelaki itu sembari melemparkan senyuman hangat.
“aku Elsa fransiska Kristanti. Panggil aku elsa, kuharap nanti kita bisa bertemu lagi, Reza”
Seru elsa kepada Reza, HPnya bordering. Dia tidak mengangktanya. Tetap dia menatap wajah Reza yang masih kaku dengan senyuman hangatnya.
“Ya insya Allah saa”
Sebuah limo hitam datang dari arah selatan dan berhenti tepat di depan mereka.
“eh jemputanku datang, aku pulang duluan ya. Sampai jumpa!”
Dia member senyuman manis tanda perpisahan hari ini, sepertinya dia senang akan pertemuannya dengan Reza.
“iya saa”
Lelaki itu membalas senyuman manis elsa.
“ah hujan. Aku sedih karena begitu menyukainya tapi bermain dengannya begitu membuatku sakit”, seru lelaki sembari menadahkan tangannya kelangit, mengumpulkan rintik-tintik hujan yang perlahan menghilang. Dia berdoa kepada tuhannya.
“Hei, apa yang kau inginkan”
Seru Hujan dan membuat Reza kaget. Hujan ternyata kembali dengan rintik-rintik yang deras. Dia tidak pergi, hanya bersembunyi dibalik awan cumulo nimbus. Bahkan kini dia tak sendiri, dia membawa kabut yang cukup tebal.
“Entah, aku hanya sedikit berharap. Aku tak perlu merasakan luka yang sama apabila suatu saat aku bertemu dengan Elsa kembali. Entah apa yang aku rasakan, tubuhnya memang sudah pergi. Namun bayangannya masiha ada di fikiranku.”
Jawab Reza dengan nada penuh harapan.
“Apa kau butuh bantuanku?”
Jawab hujan dengan nada serius, dia sepertinya peduli dengan apa yang terjadi kepada Reza.
“Berilah dia malam yang dingin, dan bisikkan bahwa hanya aku yang bisa menghangatkannya”
Pria itu berlalu, tak peduli dengan hujan yang kian deras. Dia menghilang ditengah kabut sore.

Ori By Mudztova

Rabu, 05 Desember 2012

S.P.G

Originale By Mudztova...

Sebuah benda tiba-tiba jatuh tepat di depanku. Apapun itu, kurasa beratnya tidak lebih dari 0.2KG. Tepat mendarat di gundukan pasir tempat bermain anak anak TK di sebelah Kampus Baru ku. Ya kampus baru, baru 2 minggu aku disana namun aku sudah muak dengan suasananyanya.
Merah gelap, bulat, hanya sebesar bola mata. Eits, ada sebuah tombol yang bertuliskan "Ready". Hmm aku ragu menekan tombol itu, normalnya bertuliskan Open atau OK atau sebagainya. 
"Ready?"
Tak mungkin ini sebuah pemicu bom atau sebagainya. Setidaknya bertuliskan "Bang" atau ah membuatku semakin penasaran. Tanpa berfikir lagi aku langsung menekan tombol itu dan hanya sebuah cahaya silau yang memancar dan membuat  bola itu menyala merah terang. Hanya 4 detik dan bola itu kembali merah gelap. Hanya bola biasa, sialan! hanya buang buang waktu saja.

Aku masukan saja bola itu kedalam tas, siapa tau ada gunanya. Aku kembali berjalan bersama lelahku. Pergi dari kehidupan kampus dan kembali menyendiri di kosanku, hanya berjarak 1km dan hanya beberapa menit dari kampus bila kutempuh dengan berjalan kaki.
Hidupku masih penuh dengan hal-hal yang biasa, wajah yang biasa, kemampuan yang biasa, keadaan yang biasa, jomblo seperti remaja biasa yang biasa biasa saja. Seperti biasa juga aku melewati jalan ini sekitar jam 17.17 di jalan yang biasa, gang Dewi Sartika di Blok 17. Namun sepertinya aku harus melepas semua yang biasa itu. Sesuatuyang terjadi hari ini, Senin 21 November 2011.
______________________
Beberapa puluh langkah lagi aku memasuki rumah kost baruku. Namun langkahku terhenti saat melihat sebuah BMW concept M 8 parkir di depan gang kostku. Ku amati memang BMW yang benar-benar baru release minggu kemarin dan tebak, tidak ada orang didalamnya. Hanya ada beberapa tas Besar di kursi belakang. Tentu sangat aneh mobil mewah seperti itu ada di daerah seperti ini. Mobil ceper dengan rim berukuran 21inchi dan ketinggian bumper kurang dari setengah jengkal dari tanah takan mungkin bertahan lama di sini. Atau memiliki tonka hidrolik di bannya. Sebegitu menariknya membuatku ingin mengamati dan menikmatinya lebih lama. Namun aku lebih ingin segera merebahkan diri diatas kasur. 

Baru saja aku bergerak beberapa langkah dari mobil itu, terdengar teriakan seorang wanita dari arah belakang.
"aaa yame, yamette kudasai"
Teriakan khas gadis jepang saat bahaya atau saat di film ****
aku langsung menoleh kearah teriakan itu dan,, "
"broukkk"
seseorang membekapku dari depan dan "Gelap" seketika aku tak sadarkan diri...
______________________
Sepertinya aku bisa kembali bernafas, tapi  gelap, masih gelap. Dimana ini, tanganku terikat. AKu seperti duduk di sebuah kursi dan tanganku terikat ke belakang.

"Hey, he's wake. Hes Alive. Behahaha"
Aku mendengar suara itu, logat inggris amerika.
"Oe, who's that.. Where Am i"
Seseorang memegangi pundaku dan sepertinya dia akan berbisik, terdengar jelas suara nafasnya dekat telingaku.
"Kau, Hika?"
"mm hika siapa, kau siapa? Dimana aku?. Lepaskan penutup mataku bocah tua!"
"Haa aku hanya melontarkan 1 pertanyaan dan kau malah memberi 1 pertanyaan dan sebuah perintah."
"hey aku anak FTi bukan Fakultas Sastra! cepat bukakan penutup mataku!"
"Wah nampaknya kau tidak sabaran bocah!. BIarkan aku memberimu beberapa pertanyaan dan kau jawab, setelah itu aku akan membukakan tutup matamu. Deal?"
"ya terserserah kau saja!"
"Kau sudah menerima file yang dikirim oleh seseorang dengan ID Zenbu31?"
"Ya memang, kenapa?"
"dan kau mengerjakan perintah yang ada di dalamnya?"
"Ya"
"dan kau menyelesaikannya hanya dalam 22 Menit?"
"ya? pertanyaan macam apa ini!"
"Bagus, Lalu kau dapat menyelesaikan Script ini dengan cepat?"
"Script apa? aku tak bisa liat!"
*Seseorang melepaskan penutup mataku
Ah terang, mataku masih bisa melihat. 
"Sukurlah. Dimana ini, siapa mereka." Aku berbicara dalam hati
Beberapa remaja seumuranku duduk rapi di kursi sebelah kanan. Berjejer 4 orang, dan 2 orang tua yang sedang melihatku. mereka tampak bukan dari Indonesia, aku kenal wajah itu. Remaja yang duduk paling pojok dan khas rambut harajuku. Pasti dia orang jepang.

"Hey dimana ini? Siapa mereka?"
"st st, lihat dulu script ini!"
"ya aku tau, beberapa command prompt basis CSS dan file +++ dibawahnya! memang kenapa? apa ada yang salah"
"Kami mengirim email yang sama ke banyak mahasiswa di dunia. Dan hanya beberapa orang yang mampu melaksanakan tugasnya. Dan kau salah satunya"
"tapi bagaimana kau tau aku menyelesaikannya?"
"File format .str yang ada di Drive C apa kau tau?"
"Hah ya, aku menghapusnya tapi tak bisa. Bahkan tak terlacak sebagai virus!"
"tentu, itu virus jenis baru. Menghubungkan semua drive ke internet. Dan kami bisa bebas menjelajahi storagemu."
"hah pantas saja"
"termasuk beberapa Video Echi yang kami temukan"
"hey jangan sebutkan itu!"
Aku lihat 4 remaja tadi sedikit tertawa mengejek..
"ah apa maksudnya ini, jelaskan dengan cepat!"

Kau kami rekrut untuk jadi anggota SPG, (Solar Perfect Guardian)"
"nama mengerikan apa itu! baiklah aku akan mendengarkan jelasnya. Tapi lepaskan tanganku dulu"

_____TBC____


Afterdark


From IDWS Forum. See Here

Prolog

Semua orang di ruangan ini terdiam. Memperhatikan seorang pria yang sedang berbicara di depan sana. Perkataannya tidak terlalu kumengerti. Tapi, semua orang terkesima dengan apa yang ia katakan. Aku hanya bisa berpikir, mengapa ia bisa mendapatkan perhatian seperti itu. Ia selesai berbicara. Semua orang berdiri dan suara tepukan tangan bergemuruh. Aku hanya bisa terdiam.

“Ada apa Tuan Spade?” Orlando, butler keluargaku bertanya kepadaku.
“Tidak, tidak ada apa-apa.”

Pria tersebut turun dari atas panggung. Semua orang mendekatinya dan menyalaminya. Beberapa orang dari jauh megambil gambar kejadian tersebut. 

“Orlando, kita pergi.”
“Sekarang?”

Aku langsung berbalik dan berjalan ke arah pintu keluar. Orlando hanya terdiam dan mengikutiku. Aku berjalan ke arah sebuah mobil yang berada di pinggir taman. Orlando berjalan mendahuluiku dan membukakan pintu mobil tersebut untukku.

“Silakan.”
“Orlando, aku bisa membuka pintu itu sendiri.”
“Maaf tuan, tapi ini sudah tugasku.”

Aku memasuki mobil tersebut dan duduk di bagian belakang. Orlando menutup pintu mobil dan menunggu di luar. Aku mendengus dan melihat keadaan di luar mobil. Bisa kulihat semua tamu keluar dari pintu utama. Tapi kelihatannya aku masih harus menunggu lebih lama lagi. Tidak lama, aku melihat seseorang mendekati mobilku. Orlando sedikit membungkuk dan membukakan pintu bagian depan. Penceramah tadi masuk dan menghela napas.

“Spade, bagaimana menurutmu?” penceramah tadi bertanya kepadaku.
“Tidak buruk,” jawabku dengan bosan.
“Kau tahu nak?” tanyanya, “Aku ingin kau menjadi sepertiku suatu saat nanti.”
“Hmmmm....”

Dia mendengus. Meskipun ia menyembunyikannya aku masih bisa mendengarnya. Aku tidak mengerti mengapa orang ini sangat ingin agar aku sama sepertinya. Apakah karena aku satu-satunya anak yang ia miliki? Jujur saja, aku bosan dengan model kehidupan seperti ini.

Sepanjang perjalanan pulang aku hanya terdiam memerhatikan semua daerah yang kami lewati. Aku melihat sekilas ke depan. Kulihat ayahku sedang sibuk mengobrol dengan seseorang melalui telepon genggamnya. Bisakah ia berhenti dari kesibukannya? Kupikir itu hal yang mustahil.

“Anda masalah Tuan Spade?” pertanyaan Orlando membuyarkan lamunanku.
“Tidak.... entahlah.”




* * *




Pintu gerbang terbuka. Mobil yang kutumpangi memasuki halaman sebuah rumah. Mobil ini terus berjalan dan berhenti di depan rumah yang cukup besar. Seorang pelayan di luar membukakan pintu untuk ayahku dan juga aku. Meskipun sudah sampai di rumah, ayahku masih belum juga lepas dari telepon genggam. 

“Selamat datang Tuan Anthony,” sapa seorang pelayan.

Ayahku hanya tersenyum dan sedikit mengangkat tangannya. Sesibuk itukah ia sampai tidak bisa mengucapkan salam sedikitpun? Aku berjalan mendahuluinya ke dalam rumah. Seorang pelayan membukakan pintu rumah untukku. Begitu di dalam, aku menaiki tangga dan menuju ke arah kamarku.

“Tuan Anthony, anda mendapatkan sebuah bingkisan,” seorang pelayan memberikan sebotol anggur kepada ayahku.
“Dari siapa ini?” Ayahku tersenyum.
“Kami tidak tahu, tidak ada nama pengirimnya sama sekali.”
Ayahku memperhatikan botol tersebut, “Spade, mau minum bersamaku?”
“Tidak, aku tidak perlu.”

Aku memasuki kamarku. Aku langsung melepaskan jasku dan merebahkan diriku ke atas ranjang. Kapankah aku bisa meninggalkan kehidupanku yang serba mudah ini? Benar-benar membosankan. Ketika aku sedang berpikir dan berkhayal, kudengar suara pecahan kaca. Lalu, tiba-tiba terjadi keramaian di luar kamarku. Aku penasaran dan berjalan keluar kamarku. Aku melihat ke lantai bawah. Aku terkejut. Kulihat ayahku terkapar di atas lantai. Ia berteriak dan terbatuk-batuk. Bisa kulihat darah mengalir melalui mulutnya. Aku langsung berlari ke bawah. Aku menyingkirkan orang-orang yang menghalangiku. Aku langsung mendekati ayahku.

“Ayah... ayah... apa yang terjadi?” Aku mengangkat ayahku.

Ia melihat ke arahku dengan lemah. Tangannya yang berlumuran darah menggenggam kerah bajuku. Mulutnya terbuka seperti mengatakan sesuatu, tapi aku tidak bisa mendengar apapun. Matanya lalu terbelalak dan tubuhnya melemas.

“Hei, ini bercanda kan?” 

Aku mencoba membangunkan ayahku. Tapi, tidak ada respon sama sekali. Aku bisa merasakan keringat dingin mengalir di leherku. Mendadak, tubuh ayahku memutih perlahan. Dia telah pergi.



* * *

Hari ini langit cukup gelap. Taman pemakaman kini dipenuhi oleh orang-orang berpakaian serba hitam. Aku berdiri di barisan paling belakang. Menurut pemeriksaan polisi, anggur yang diminum ayahku telah diracuni. Sampai sekarang, penyelidikan masih berlanjut untuk mencari pelakunya. Aku masih tidak mengerti mengapa ada orang yang mau membunuh ayahku. Aku berjalan menjauhi kerumunan orang. Aku bersandar ke arah tembok dan memandangi langit. Aku mengepalkan tanganku, apakah ini kesalahanku?

“Kurasa kita sudah berhasil.”

Aku mendengar suara seseorang di belakangku. Aku berbalik dan mengintip. Terlihat ada dua orang, dan aku bisa melihat wajah salah seorang di antaranya. Mereka terlihat sedang melakukan pembicaraan penting.

“Bagaimana langkah kita selanjutnya?”
“Untuk sementara kita tidak perlu terburu-buru, kita masih harus mengatur langkah lagi.”
“Tapi, kelihatannya kita masih belum bisa mendapatkan kontrol secara menyeluruh.”

Dari pembicaraan mereka, aku bisa menebak kalau mereka sedang membicarakan ayahku. Kurasa, mereka memiliki hubungan dengan pembunuhan ini. Tapi, aku masih harus memastikannya lagi. Aku mengarahkan telingaku kepada mereka.

“Tentu saja, masih ada satu penghalang.”
“Ya, anaknya, jadi apa yang harus kita lakukan?”
“Tentu saja, kita harus membuat dia memberikan kuasa atas perusahaan tersebut.”
“Jika tidak?”
“Hanya ada satu hal yang harus kita lakukan, buat ia seperti ayahnya.”

Jantungku terasa berhenti. Tidak hanya itu, aku benar-benar bisa merasakan kematianku sudah dekat. Aku masih tidak percaya dengan apa yang kudengar. Kalau seperti ini, apa yang harus kulakukan? Masih ada banyak hal yang belum aku lakukan. Aku belum bisa pergi, aku tidak ingin berakhir seperti ayahku.

Titian pertama


Senin pagi yang lumayan cerah di awal bulan November. Angin sepoi sepoi perlahan bertiup dari arah kampus. AKu masih berdiri di depan gerbang, menunggu seseorang ang membuatku jengkel.
“Teet”
Pria berjenggot itu berhenti mendadak dan hammpir menabrakku.
“Maaf bro, telat dikit! wkwkwk”
“lagi!”
“ya maklumlah, masalah biasa.”
“Yaudah, yuk masuk. Bntar lagi peralajaran”
Dia nyaris selalu telat tiap hari. Pacarnya yang membuatnya selalu begitu, tepatnya dia menajdi supir pribadi pacarnya.Antar jemput setiap hari, tak mengenal panas dan hujan. Pacarnya memang cantik, lumayan pintar, tapi tak terlalu cerdas, manja, sedikit centil, dan dia muslim.
Dengan fikiran yang sama aku masuk ke Kelas. Beberapa wanita mulai berkumpul untuk sarapan gossip pagi. Entah gossip apalagi yang mereka bicarakan. Biarlah menjadi masalah merka, aku dan beberapa lelaki lain selalu menutup telinga dari apapun ocehan merka. Tapi entah mengapa hari ini tiba-tiba aku penasaran dengan topik mereka. Kudengar seperti ada anak baru.
Pukul 07,57 semua anak sudah lengkap. Tak satupun yang absen atau terlambat. Tentu hari ini kalkulus man! Ga ada yang berani menghilangkan batang idungnya dari dosen Killer kalkulus. Bahkan 3 anak yang kepeleset saat ujian renang pun masih berani hadir walau masih dnegan beberapa balutan luka di tangan mereka..
“Tok tok, SelamatPagi”
Dia tak langsung duduk, hanya menyimpan tasnya, menyalakan NoteBooknya dan mencolokkannya pada infokus. Dan
“jeng jeng”
UJIAN KALKULUS II
“jiahhhh…. Kiakakakkaakakka,, aduuuuh”
Desahan para mahasiswa madesu yang kecewa dengan jji-janji manis dosen killer itu.
Rencannya pertemuan kali ini akan membahas hasil test Kalkulus I bulan lalu.
2 jam mengenaskan berlalu.
Kini giliran mata kulaih pemrograman. Sedikit bisa menghilangkan rasa mengenaskan itu. BUkan karena mata kuliahnya tapi karena dosennya yang super cantik dengan senyuman super manis yang pernah dilihat di kelas walaupun dia kini berusia 48Tahun.
“Pagi anak-anak”
Ya dia menganggap mahasiswa umur 18 tahun sebagai anaknya mungkin, tapi saat kami minta uang jajan dia malah pura pura tidak kenal.
“drup”
Bidadari masuk kekelas dan duduk di kursi dosen tepat di depanku. Dia sedikit melempar senyum sinis pada muka mesumku. Semerbak wangi violet mulai menyesakki ruangan, membius semua laki laki yang ada.
“Sekarang kita tidak langsung ke perkuliahan berhubung kita kedatangan mahasiswa baru. Sengaja dia tidak datang sejak perkuliahan jam pertama karena tadi ada Test Kalkulus yak an?. Silahkan masuk els, SIlahkan perkenalan telbih dahulu.”
“Pagi, perkenalkan aku Elsa Fransiska, aku pindahan dari..**”
Aku tidak mendengarkan ucapannya, aku tak bias focus. Kenapa ini? Ini bukan sinetron! Ini tak mungkin kebetulan, dia, dia elsa!



“Kau”
“assalam”
“Alaika”
“Kenapa kau memutuskan pindah kesini? Apa yang terjadi disini Saa?”
“Tidak ada apa-apa. Ayahku yang menyuruhku pindah kesini.”
“hmm, mungkin kata yang paling tepat aku ucapkan adalah kita bertemu kembali”
“Ya ini pertemuan ke3. Sisanya kita hanya saling berhubungan lewat facebook saja. Hee”
“Pertama kali kita bertemu. Hari minggu 2 Bulan lalu, kemudian hari jumatnya dan yang ketiga sekarang. Kenapa harus hari jumat dan minggu? Apa ada sesuatu yang aneh?”
“tidak, ini tidak aneh. Tapi Indah. Tuhan telah menjodohkan kedua hari ini entah untuk apa”
“Apa perjodohan kedua hari itu menjelaskan sebuah cerita?”
“Bisa jadi, tapi aku belum tau bagaimana kisahnya. Karena aku belum pernah merasakannya.”
“Mungkin kita akan segera merasakan…”
“eh apa maksudnmu?”
“Eh ngga, ngga apa-apa”
“Ada makna dibalik kata “Ga papa itu” katakan padaku! Jangan pura-pura bodoh begitu. Kita berdua penyair!”
“emm entah apa yang ingin tuhan beritahukan kepada kita. Yang jelas, apa yang sudah terjadi tidak bisa dikatakan hanya sebuah kebetulan. Terlalu ekstrim kalo iya kan?”
“Emmm…..”
“pertemuan kita 2 bulan lalu. Kita berdua sama-sama dalam keadaan bersedih. Aku berharap menghapuskan itu di masjid dekat gerejamu. Dan kau juga merasakan kesedihan di gereja dekat masjidku dan disana kita bertemu. Dan kesedihanku hilang karena pertemuan itu. Jumat lalu, kita bertemu kembali dengan alas an yang sama, kembali merasakan kesedihan saat kita kehilangan Alex. Dan sekarang kita Bertemu kembali kaena…”
“Cukup! Apa yang sebenarnya kau rasakan mudz?”
“Rasakan tentang apa? ”
“Tentangku!”
“emmm, ano etooo.”
“Apa tuhan telah menanamkan cinta diantara kita?”
“aku yankin tuhan takkan bermain-main dengan apapun!”
“entah apa yang kurasakan tapi sepertinya aku telah jatuh cinta padamu!”
“Hati takkan pernah berbohong, akupun juga merasakannya”
“Tapi kita beda! Beda yang terlalu…”
“Sudahlah! Kita caritahu kebenaran cinta kita. Tuhan pasti memberikan kisah indah untuk kita saa. Bismillah”
“Puji tuhan”
  


24 Days vs 24 Hours

By blu3p1nk  From IDWS. See here

Hari ini aku duduk sendiri di tempat sama mencurahkan semua inspirasiku. Aku melihat kamu datang dan duduk di meja tepat di seberangku. Mataku mengawasi tiap lekuk wajahmu. Tidak istimewa tetapi menarik perhatianku.

Aku diam kamu juga diam. Aku kembali dengan laptopku demikian juga denganmu. Tetapi kenapa kehadiranmu menggangguku? kenapa sesekali mata kita bertautan.

Waktuku sudah habis dan aku harus kembali. Kamu masih di sana duduk dengan posisi yang sama dan kembali aku menangkap sorot mataku kepadaku. Aku tidak ada waktu, aku tidak suka basa-basi. Aku harus pergi.

Saat aku sendiri di kamarku, kenapa sesekali wajahmu muncul? Aku tidak suka dengan ketidakpastian. Aku sudah bosan dengan romantika masa remaja yang penuh kesan saat pertemuan pertama kali. Aku tidak suka itu.

Kubuka saja laptopku dan kubuka mailing list yang menyeretku dalam percakapan antar grup yang baru saja kukenal di chat room kami. Sebuah nama member baru masuk. Aku hiraukan. Aku kembali bercengkrama dengan teman-temanku. Kulemparkan lelucon ke mereka, account member baru itu membalas leluconku dengan lelucon cerdas yang mampu membuatku tersenyum.

"Siapa dia?" tanyaku pada teman-temanku. Seorang dari mereka menyebutkan nickname orang itu. Tentu saja aku sudah tahu karena aku bisa membacanya. Saint_Saiya. Nickname yang terlalu kekanak-kanakan. Kubuka profile dia dan dia bernama Satriya, kini kumengerti kenapa dia memakai nickname itu.

Pembicaraan grup ini terus mengalir dan aku bisa membaca ucapan-ucapan Satriya dengan teman-temanku. Rupanya dia member lama, justru aku adalah junior baginya. Sesekali saja aku menimpali ucapan Satriya. Aku tidak bisa cepat membaur atau akrab dengan orang asing. Aku bukan orang seperti itu.

Malam semakin larut aku butuh istirahat. Kuucapkan selamat malam dan berpamitan pada mereka. Sesaat sebelum keluar dari chat room kulihat Satriya juga berpamitan, diikuti oleh lainnya.

Aku tertidur dalam ketenangan pikiranku. Aku suka ketenangan ini, aku tidak merasa sendiri dan kesepian. Aku menikmatinya. Aku tidak butuh perasaan lainnya yang justru menggusarkan dan akan menyakitiku.

Biarkan aku sendiri dan jangan usik diriku kalau itu hanyalah kehangatan yang semu dan tak berarti. Itu menyakitkan dan aku tidak ingin mengulangnya lagi.

Ketenangan ini membawaku cepat menuju pulau Mimpi yang damai dan sangat indah.


1st Corona Sang Calon Penguasa Tunggal

By Red_Rackham On Idws. See here

[Kawasan Kost Mahasiswa, Salemba, 18 Februari 2015]

Wahyu Pratama duduk diam diatas kasurnya sambil melongo. 

“Hai manusia! Kau sudah terpilih untuk menjadi seorang calon Penguasa Tunggal dibawah naungan Blazing Corona. Dengan demikian kau dan aku akan menjadi partner yang bersama-sama akan berjuang dalam ajang CoroNation nanti!”

Wahyu memadangi sosok seekor burung mungil berbulu merah yang bertengger di kusen jendelanya. Sosok burung itulah yang membuat Wahyu melongo dan tampak seperti orang bengong. Bagaimana tidak? Kalau seseorang terbangun di pagi hari dan mendapati seekor burung yang bisa bicara sedang bertengger di kusen jendela kamarnya, orang itu pasti akan bengong dulu sebelum menunjukkan reaksi lainnya.

“Kurasa aku masih setengah tidur....” gumam Wahyu sambil membalikkan tubuhnya dan kembali berbaring di kasurnya. “Selamat tidur!”

“Heeei!!! Jangan tidur lagi!!!”

Si burung mungil itu langsung mengepakkan sayapnya dan mendarat diatas tubuh Wahyu. Dengan paruhnnya yang mungil, namun cukup tajam, burung merah itu mematuk tubuh Wahyu dengan jengkel. Tindakannya itu membuat Wahyu langsung melompat bangun sambil menangkap tubuh sang burung dengan kedua tangannya.

“Dengarkan aku burung aneh! Aku tahu ini cuma mimpi, jadi jangan ganggu aku. Aku harus bangun pagi-pagi dan masuk kuliah!” geram Wahyu sambil berusaha meremas tubuh burung mungil itu.

Tapi tiba-tiba saja tubuh sang burung itu tampak membara dan terasa luar biasa panas. Tentu saja Wahyu dengan spontan langsung melepaskan burung itu dan mengibaskan tangannya yang terasa terbakar. Begitu terlepas dari genggaman Wahyu, sang burung mungil aneh itu langsung terbang menjauh dan mendarat diatas meja belajar.

“Tidak sopan sekali!! Apa kau tidak tahu aku ini bukan burung sembarangan?!” protes burung mungil itu sambil mengepakkan sayapnya dengan marah. “Aku ini Agni! Pemandu Blazing Corona!! Burung garuda sakti yang memiliki kemampuan mengendalikan kobaran api!!!”

Sekali lagi Wahyu hanya melongo mendengar seruan burung mungil yang mengaku bernama Agni itu. Perlahan-lahan pemuda berambut panjang itu merapikan rambutnya, menguncirnya jadi kuncir kuda, meraih kacamatanya, lalu menarik nafas panjang.

“Kalau ini bukan mimpi.....artinya ini imajenasiku yang mendadak jadi liar....” gumam pemuda itu pada dirinya sendiri sambil memegangi dahinya. “Kurasa aku harus pergi ke psikiater nanti siang...”

Sambil bergumam, Wahyu bangkit dan melangkah ke arah lemari pakaiannya. Pemuda itu lalu mengambil baju ganti dan bersiap untuk mandi, tanpa mempedulikan keberadaan Agni yang masih berdiri diatas meja belajarnya.

“Kurasa begadang semalaman untuk debugging program akuntasi itu membuatku berhalusinasi yang tidak-tidak...” gumam Wahyu lagi pada dirinya sendiri.

“Kau tidak sedang berhalusinasi atau jadi gila!” seru Agni sambil mengepakkan sayapnya dan terbang ke pundak Wahyu.

Tapi begitu burung mungil itu mendarat di pundak Wahyu, pemuda itu langsung menepis tubuh Agni dan membuat tubuh burung itu terhempas ke atas kasur. Dengan marah Agni langsung bangkit dan melotot ke arah Wahyu.

“Apa-apaan sikapmu itu?! Sungguh tidak sopan!!!” bentak Agni.

“Kau yang tidak sopan! Padahal kau hanya halusinasiku, tapi kau seenaknya menyentuhku!!” balas Wahyu.

Ucapan Wahyu membuat Agni semakin marah. Burung garuda mungil itu langsung mengepakkan sayapnya dan melayang di depan Wahyu.

“Kurasa aku harus menggunakan cara yang agak sedikit drastis untuk membuat orang sepertimu mempercayai ucapanku!” geram Agni. “Jangan salahkan aku kalau kau nanti benar-benar jadi gila!”

Segera setelah mengatakan hal itu. Tubuh mungil Agni bersinar terang. Pada saat yang sama, kobaran api yang berputar-putar langsung menelan seluruh kamar Wahyu. Menyaksikan kejadian menakutkan itu, Wahyu langsung melompat menghindari pusaran api yang membentuk tembok berputar di belakangnya. Dengan ngeri pemuda itu menyaksikan Agni melayang dengan tenang di udara, sementara api berkobar di sekitarnya. Hawa panas yang dihasilkan api disekeliling Wahyu begitu hebat hingga pemuda itu merasa dirinya sedang dipanggang.

“Cukup! Hentikan!!! Aku bisa terbakar!!!” pinta Wahyu ketakutan.

Begitu mendengar seruan Wahyu, Agni langsung menghentikan kekuatannya. Seketika itu juga api yang membara dan berputar di dalam kamar Wahyu langsung menghilang. Ajaibnya kobaran api sebesar dan sepanas itu tidak meninggalkan bekas apapun di kamar Wahyu yang tidak terlalu besar itu. Tidak satupun barang di ruangan itu yang terbakar. Semuanya utuh.

“Nah! Apa kau percaya dengan ucapanku sekarang?” ujar Agni dengan nada penuh kemenangan. “Sudah kubilang aku adalah garuda sakti yang menguasai api. Menciptakan api seperti tadi hanyalah semudah membalikkan telapak tangan....erh...bukan! Semudah membalikkan sayap!”

Wahyu masih terpana sekaligus ketakutan setelah menyaksikan kemampuan yang diperlihatkan oleh Agni. Sepertinya memang benar bahwa Agni itu bukan burung sembarangan yang bisa bicara bahasa manusia. 

Sambil menelan ludahnya, Wahyu bertanya pada burung sakti itu.

“Oke.....jadi sebenarnya makhluk macam apa kau ini?” tanya Wahyu.

“Aku tidak tahu kau ini idiot atau sekedar tidak mau mendengarkan perkataan orang lain,” gerutu Agni sambil mendarat lagi di atas meja belajar Wahyu. “Sudah kubilang aku ini adalah Agni, burung garuda sakti yang bisa mengendalikan kobaran api. Aku bertugas sebagai Pemandu dari calon Penguasa Tunggal yang berada dibawah naungan Blazing Corona!”

“Penguasa Tunggal? Blazing Corona?” tanya Wahyu, masih kebingungan. Otaknya yang biasanya cukup encer, kali ini tidak bisa bekerja dengan baik karena masih shock.

“Bocah! Memangnya kau tidak mengenal sistem pemerintahan negerimu sendiri ya?” celetuk Agni dengan nada merendahkan. “Penguasa Tunggal itu adalah pemimpin tertinggi di negeri ini dan Blazing Corona adalah.....”

“Tentu saja aku tahu! Aku hanya kaget dengan semua kegilaan ini!” potong Wahyu. “Aku tahu kalau Blazing Corona itu adalah satu dari 8 jenis Corona yang mungkin dimiliki oleh Penguasa Tunggal yang memimpin negeri ini.”

Meski Agni sebenarnya jengkel karena perkataannya dipotong oleh Wahyu, tapi burung sakti itu akhirnya memaklumi sikap Wahyu.

“Bagus kalau kau mengerti. Ini akan jadi lebih mudah dan cepat. Jadi dengarkan aku!” ujar Agni sambil mengibaskan sebelah sayapnya. “Kau adalah calon Penguasa Tunggal yang akan berpartisipasi dalam CoroNation ke-7, ajang untuk menentukan siapa orang yang pantas menjadi pemimpin negeri ini.”

Wahyu langsung menepuk dahinya begitu mendengar ucapan Agni. Tentu saja sebagai warga negara Indonesia, pemuda itu sudah sangat familiar dengan apa yang disebut sebagai CoroNation. 

CoroNation merupakan sebuah sistem unik yang digunakan di Indonesia untuk memilih Sang Penguasa Tunggal, orang yang akan memimpin negeri ini. Dengan sistem CoroNation, 8 orang calon Penguasa Tunggal akan terpilih secara acak dari sekitar 200 juta lebih rakyat Indonesia. Kedelapan calon tersebut akan diberikan sebuah mahkota berkekuatan dahsyat yang disebut Corona, yang masing-masing mampu mengendalikan 1 jenis elemen alam. Mereka juga akan ditandai dengan Holy Insignia di tubuh mereka yang menjadi tanda kehormatan sekaligus kekuatan. Kemudian seekor hewan suci, yaitu burung garuda akan ditempatkan di sisi mereka sebagai pemandu. Sang calon Penguasa Tunggal bersama pemandunya itu akan berjuang menghadapi 7 orang calon lainnya dalam duel atau pertempuran yang dilakukan secara fisik. 

Tentu saja Wahyu tahu banyak soal CoroNation, karena pengetahuan dasar mengenai peristiwa yang terjadi setiap 10 tahun sekali itu sudah diajarkan sejak Sekolah Dasar. 

“Tidak. Aku tidak berminat. Terima kasih,” ujar Wahyu sambil berbalik dan berjalan menuju pintu kamar mandinya. “Suruh orang lain saja yang bertanding dalam ajang CoroNation itu.”

Tentu saja sikap Wahyu yang seperti itu membuat Agni jadi marah lagi, padahal tadi kemarahannya sudah mulai reda.

“Bocah!! Sikapmu itu benar-benar tidak menunjukkan sikap seorang calon pemimpin negeri ini!!!” bentak Agni jengkel setengah mati.

Wahyu sama sekali tidak mempedulikan seruan marah dari Agni dan langsung membanting pintu kamar mandinya. 

Ajang CoroNation? Ajang pemilihan Penguasa Tunggal Indonesia? Yang benar saja! Memangnya aku peduli dengan hal-hal semacam itu! gerutu Wahyu dalam hati.

[Kawasan Kost Mahasiswa, Salemba, 18 Februari 2015]

“Untuk apa kau mengikutiku terus? Sudah kubilang aku tidak tertarik untuk berpartisipasi dalam CoroNation!”

Wahyu menggerutu sambil melirik ke arah Agni yang terbang rendah di samping pemuda itu. Saat ini dirinya sedang dalam perjalanan ke kampusnya yang terletak hanya beberapa kilometer dari tempat kostnya. Karena jaraknya yang tidak terlalu jauh, Wahyu selalu datang ke kampusnya dengan jalan kaki. Seperti biasanya, hari ini juga dia berjalan melewati rute yang biasa dia lewati setiap hari. 

“Apa kau tidak mengerti juga bocah? Kau adalah calon Penguasa Tunggal yang ditakdirkan memiliki Blazing Corona dan aku adalah pemandumu. Tentu saja aku akan mengikutimu terus!” balas Agni dengan ketus.

Wahyu langsung berhenti berjalan dan menatap ke arah burung garuda mungil itu dengan tatapan tajam. 

“Tapi sudah kubilang aku tidak tertarik dengan ajang pertempuran bodoh itu!” balas Wahyu. “Cari saja orang lain yang akan menjadi pemilik dari Blazing Corona itu!”

Karena jengkel dengan sikap Wahyu, Agni langsung mematuk kepala pemuda itu dengan paruhnya. Wahyu tentu saja tidak tinggal diam dan berusaha menampar tubuh mungil sang garuda api dengan sebelah tangannya. Sayang dia meleset karena Agni jauh lebih gesit dari dugaannya.

“Apa-apaan itu!?” bentak Wahyu jengkel sambil mengusap kepalanya yang sakit karena patukan Agni. 

“Bocah! Kau tidak mengerti! Sekali seseorang terpilih sebagai calon Penguasa Tunggal terpilih, orang itu tidak bisa begitu saja mundur dari takdirnya!” balas Agni dengan ketus. Burung garuda sakti itu lalu melayang tepat di depan wajah Wahyu. “Aku tidak habis pikir kenapa orang sepertimu bisa terpilih sebagai pemilik Blazing Corona?”

Wahyu langsung mendengus dan membalas ucapan Agni.

“Aku juga punya pikiran yang sama,” gerutu Wahyu. “Kenapa kau tidak pilih orang lain saja yang lebih tertarik dengan ajang pertarungan konyol itu.”

Agni langsung terdiam, burung garuda mungil itu lalu terbang ke arah sebuah dahan pohon rendah yang berada di samping Wahyu. Dia lalu memandangi pemuda berwajah ‘cantik’ di hadapannya itu dengan tatapan tajam.

“Seorang calon Penguasa Tunggal terpilih dengan cara yang bahkan tidak kuketahui. Yang aku tahu pasti, seseorang yang terpilih oleh salah satu dari 8 Elemental Corona memiliki kriteria yang paling cocok sebagai Penguasa Tunggal diantara 200 juta warga Indonesia lainnya,” ujar Agni, masih sambil menatap tajam ke arah Wahyu. “Blazing Corona telah merasakan adanya ‘kriteria’ khusus itu dalam dirimu. Makhota berelemen api itu merepresentasikan keberanian dan semangat juang tinggi dari bangsa Indonesia, dan sepertinya kedua sifat itu ada di dalam dirimu.”

Wahyu terdiam mendengar ucapan Agni. 

Keberanian? Semangat juang tinggi? gumam Wahyu dalam hati. Pemuda itu merasa kalau dirinya bukanlah orang yang penuh semangat juang, justru sebaliknya dia seringkali menyerah ditengah jalan saat menghadapi masalah. Dia juga merasa dirinya bukan orang yang pemberani. Wahyu seringkali mundur sebelum menghadapi suatu masaah, terutama ketika dia merasa dirinya tidak sanggup menghadapi masalah tersebut. 

“Corona bodoh itu pasti sudah salah pilih orang,” sahut Wahyu setelah terdiam cukup lama. “Aku bukan orang yang memiliki sifat seperti yang kau bilang tadi.”

Agni menutup matanya dan menghela nafas panjang. Burung garuda ajaib itu lalu membuka sebelah matanya dan menunjuk ke arah Wahyu dengan sebelah sayapnya.

“Blazing Corona tidak pernah salah orang. Sifat pemberani dan semangat juang tinggi sudah pasti ada di dalam dirimu....atau lebih tepatnya....jauh di dalam dirimu. Bisa dibilang itu adalah sifat dasarmu,” ujar Agni. “Hanya saja sifat itu tidak muncul di permukaan. Seringkali seperti itu.”

Wahyu terdiam lagi mendengar ucapan Agni. Ingatan pemuda itu tiba-tiba saja kembali ke masa kecilnya. Dulu dia memang adalah seorang anak yang pemberani dan pantang menyerah. Namun semuanya berubah ketika ayahnya meninggal. Ayah Wahyu yang berprofesi sebagai seorang polisi, mati ditembak oleh rekannya sendiri dalam sebuah pertengkaran yang dimulai dari sesuatu yang konyol.

Sejak itu Wahyu berubah, terutama setelah dia mengetahui kalau orang yang membunuh ayah Wahyu itu sebenarnya adalah teman baik ayahnya. Setelah itu Wahyu berubah menjadi pemurung dan suka menyendiri. Dia juga tidak mudah mempercayai orang lain dan tidak pernah punya teman baik, karena dia takut kalau orang yang dia anggap temannya itu akan mengkhianatinya. Seperti yang telah terjadi pada ayahnya.

“Omong kosong,” balas Wahyu sambil kembali berjalan dan mengabaikan ucapan Agni.

Pemuda itu kembali melanjutkan perjalanannya menuju ke kampusnya tanpa memperdulikan sosok mungil Agni yang terbang mengikutinya. Wahyu juga tidak memperdulikan tatapan heran bercampur geli dari orang-orang yang dia lewati. Sekilas Wahyu melirik ke arah Agni yang masih mengikutinya.

Aku jadi benar-benar berharap burung menyebalkan itu tidak terlihat oleh orang lain....rasanya konyol sekali berjalan sambil diikuti seekor burung seperti ini....gerutu Wahyu dalam hati. 

“Bocah. CoroNation akan berlangsung kurang dari 1 bulan lagi. Kalau kau tidak melakukan persiapan, kau akan menyesal nantinya,” ujar Agni sambil melayang mengitari Wahyu. “Kau bisa mati.”

Wahyu langsung berhenti ketika mendengar ucapan Agni.

“Apa?” tanya Wahyu heran.

“Kubilang kau bisa mati kalau kau meremehkan apa yang akan terjadi di CoroNation nanti,” ujar Agni. Garuda mungil itu kembali melanjutkan ucapannya dengan nada muram. “Sama seperti yang telah terjadi 3 kali pada orang yang kupandu sebelumnya.”

Kali ini Wahyu langsung memandangi Agni dengan tatapan bingung. Dia tidak mengerti kenapa Agni sampai mengatakan kalau dirinya bisa terbunuh dalam CoroNation. Padahal yang dinamakan CoroNation itu tidak lebih dari ajang pemilihan Penguasa Tunggal. Memang terkadang terjadi bentrokan antar massa atau kader dari Partai Pengukung Penguasa selama CoroNation. Tapi sejauh yang Wahyu tahu, jarang sekali ada orang yang meninggal dalam peristiwa tersebut.

“Jangan menakut-nakutiku. Aku tahu CoroNation itu hanya ajang pemilihan Penguasa Tunggal. Tidak mungkin aku mati dalam ajang perseteruan politik yang menggelikan itu,” sahut Wahyu sambil mendengus. 

“Aku tidak bohong, bocah!” balas Agni dengan ketus. “Yang selama ini kau dengar dan kau tahu itu hanyalah sebatas yang boleh diketahui oleh publik saja. Ada banyak hal yang tidak akan pernah kau ketahui tentang CoroNation, kecuali kau terlibat dalam peristiwa itu.”

Wahyu kali ini memandangi Agni dengan tatapan tidak percaya. Dia masih tidak mau percaya dengan semua ucapan burung mungil itu. Rasanya semua ini masih terasa seperti omong kosong yang tidak masuk akal.

“Aku masih tidak percaya,” ujar Wahyu sambil kembali berjalan.

Agni menghela nafasnya dan melayang tinggi di udara, meninggalkan Wahyu yang terus berjalan tanpa mempedulikan ucapan burung garuda itu. Begitu melihat Agni pergi, Wahyu langsung menghembuskan nafas lega.

Akhirnya dia pergi juga. Merepotkan saja.....gerutu Wahyu dalam hati.

Tapi dalam hati, Wahyu mulai bertanya-tanya sebenarnya apa yang akan terjadi di CoroNation nanti. Pemuda itu lalu membalikkan telapak tangannya. Sebuah tato berwarna hitam tampak mencolok di telapak tangan Wahyu. Tato tersebut membentuk simbol yang seakan-akan melambangkan api yang membara. Entah kapan tato itu muncul, Wahyu tidak tahu. Seingatnya tato itu belum ada disana waktu dia terbangun tadi pagi. Dia baru menyadari keberadaan tato itu ketika mandi, namun dia enggan bertanya pada Agni karena dia tahu burung garuda ajaib itu akan mulai bercerita panjang lebar mengenai CoroNation lagi.

Wahyu mengepalkan tangannya dengan geram.

CoroNation ya? Hanya orang bodoh yang mau ikut serta dalam ajang seperti itu....gumam Wahyu lagi. Daripada memikirkan itu. Lebih baik aku memikirkan tugas-tugasku di kampus!

Sambil terus menggerutu dalam hati, Wahyu kembali melanjutkan perjalanannya. Biasanya hanya dibutuhkan waktu kurang dari setengah jam bagi pemuda itu untuk sampai ke kampusnya. Namun karena tadi dia sempat beradu mulut dengan Agni, waktu tempuhnya jadi hampir dua kali lebih lama. Hingga pada akhirnya Wahyu terpaksa mempercepat langkahnya agar dia tidak sampai terlambat masuk kelas. Dosen yang mengajar dalam mata kuliahnya hari ini sangat ketat masalah waktu, hingga dia tidak boleh terlambat atau dia akan menerima hukuman.

Beruntung Wahyu sampai ke ruang kuliahnya tepat waktu. Begitu dia sampai dan duduk di bangku paling belakang, dosen mata kuliah yang akan diikutinya datang. Wahyu menghembuskan nafas lega sambil menyandarkan tubuhnya di kursi kelasnya. 

Pemuda itu berusaha untuk berkonsentrasi dengan pelajaran yang sedang diberikan oleh dosennya, tapi dia tidak bisa. Pikirannya dipenuhi berbagai pertanyaan mengenai CoroNation dan sosok Agni, sang burung garuda ajaib. 

Sial! Gara-gara burung mungil itu aku jadi tidak bisa konsentrasi! gerutu Wahyu dalam hati sambil memainkan rambut panjangnya. Pemuda itu lalu mengalihkan pandangannya ke arah jendela kelasnya dan nyaris terjatuh dari kursinya karena terkejut.

Bagaimana tidak? Dia melihat sosok Agni sedang bertengger di jendela kelasnya dengan santainya, tanpa memperdulikan tatapan heran mahasiswa dan mahasiswi yang ada di dalam ruang kuliah tersebut. 

“Ah. Jangan pedulikan aku. Lanjutkan saja kuliah kalian,” ujar Agni dengan santainya ketika dia menyadari kalau puluhan pasang mata sedang menatapnya saat ini. Burung garuda mungil berbulu merah itu lalu melayangkan padangannya ke arah Wahyu. “Kau juga bocah. Dengarkan apa yang sedang diajarkan oleh dosenmu itu supaya kau jadi pintar sedikit. Aku tidak ingin Penguasa Tunggal selanjutnya adalah orang bodoh.”

Tanpa pikir panjang Wahyu langsung berdiri dan berlari ke arah jendela. Sebelum Agni ataupun orang lain sempat berbuat apapun, pemuda itu sudah menyambar tubuh mungil Agni dan berlari keluar kelas. Wahyu terus berlari hingga dia sampai di sebuah ruang kuliah kosong yang berada cukup jauh dari ruang kuliahnya tadi. Ketika dia memasuki ruangan itu, dia langsung melepaskan tubuh Agni.

“Tidak sopan sekali kau ini, bocah!!” bentak Agni sambil melayang berputar di udara dengan marah. 

“Mau apa kau kesini?! Kukira kau sudah pergi jauh dan mencari orang lain yang mau menjadi Penguasa Tunggal-mu!” balas Wahyu sambil menunjuk ke arah Agni.

Agni langsung mendarat di meja yang ada di depan Wahyu. Burung ajaib itu langsung menunjuk ke arah Wahyu dengan sebelah sayapnya. 

“Aku datang tentu saja untuk mengawasimu, bocah. Dan aku tidak akan pergi mencari orang lain. Sudah kubilang sekali kau mendapatkan Corona dan Holy Insignia di tubuhmu, kau tidak bisa mundur lagi!” balas Agni dengan nada jengkel. “Kenapa kau tidak paham juga soal itu?”

Wahyu menepuk wajahnya dengan marah. Dia benar-benar jengkel dengan sikap Agni yang benar-benar gigih dan tidak mau pergi dari sisi pemuda itu. Wahyu lalu menatap ke arah burung mungil itu dengan tatapan dingin. 

“Memangnya kalau aku menjadi Penguasa Tunggal di Indonesia, apa yang akan kudapatkan?” ujar Wahyu. “Apa aku akan mendapatkan kekayaan? Ketenaran? Kekuasaan besar?”

Agni tersiap mendengar pertanyaan Wahyu. Dia tidak menyangka akan mendengar pertanyaan semacam itu akan terlontar dari mulut manusia di depannya itu. Agni langsung mengatupkan paruhnya dengan marah.

“Dasar tamak! Apa kau menginginkan semua itu kalau kau jadi seorang Penguasa Tunggal?!” balas Agni.

Wahyu tersenyum sinis mendengar ucapan Agni. Dia lalu mengangguk dan kembali memandang ke arah Agni dengan tatapan dingin serta merendahkan.

“Jadi....aku tidak dapat apa-apa? Bahkan setelah seandainya aku mempertaruhkan nyawaku dalam ajang yang kau sebut sebagai CoroNation itu?” tanya Wahyu lagi. Dia lalu menggelengkan kepalanya dan mengangkat bahunya. “Kalau begitu bodoh sekali seandainya ada orang yang mempertaruhkan nyawanya demi gelar dan posisi yang tidak berguna semacam itu.”

Agni langsung menegakkan bulu-bulunya karena marah. Kobaran api juga tampak menyelimuti tubuh burung mungil itu. Dia juga langsung menyipitkan mata dan memandang langsung ke arah mata Wahyu dengan tatapan marah.

“Sepertinya Blazing Corona memang salah pilih orang dalam CoroNation ini. Kalau begitu akan lebih baik kalau aku menarik kembali Holy Insignia dari tubuhmu, agar kau terbebas dari tanggung jawab sebagai calon Penguasa Tunggal!” geram Agni sambil melayang di udara.

Sosok Agni yang sedang murka tampak sangat mengerikan. Terlebih karena tadi pagi burung mungil itu sudah mempertunjukkan kekuatannya pada Wahyu. Kali ini Wahyu benar-benar ketakutan. Dia baru menyadari kalau sepertinya dia baru saja menggali kuburannya sendiri, karena Agni tampak ingin sekali membakar pemuda itu hingga jadi abu.
Perlahan-lahan Wahyu mundur ke arah pintu kelas, bermaksud untuk melarikan diri. Dia tahu dirinya hampir bisa dipastikan akan terpanggang oleh kekuatan api milik Agni, kalau dia tidak segera lari untuk menyelamatkan nyawanya. 

Tapi sebelum dia sempat melakukan apapun, tiba-tiba terdengar suara seseorang dari arah pintu ruang kelas.

“Ketemu!”

Spontan Wahyu dan Agni langsung menoleh ke arah datangnya suara dan mendapati tiga orang pria serta dua orang wanita sedang berdiri di depan pintu. Mereka berlima tampak mengenakan pakaian seragam yang hampir sama persis. Seragam kelima orang itu berwarna hijau dengan sebuah lambang burung walet tersemat di pundak mereka. Sekilas mereka tampak seperti kelompok cosplay yang sering ditemui Wahyu setiap ada pameran budaya Jepang di kampusnya. Tapi kali ini sepertinya mereka bukan para penggemar cosplay.

“Siapa kalian?” tanya Wahyu sambil mengamati kelima sosok asing itu. Dia lalu bertanya lagi pada kelima orang berseragam itu. “Mahasiswa tingkat berapa kalian berlima?” 

Tanpa memperdulikan ucapan Wahyu, seorang wanita diantara kelompok berseragam misterius itu berbicara. Dia juga menunjuk ke arah Agni dan Wahyu bergantian.

“Agni, sang Pemandu Api dan calon Penguasa Tunggal dibawah Blazing Corona. Beruntung sekali kami bisa menemukan kalian,” ujar wanita itu. “Kalian berdua akan ikut bersama kami!”

Wahyu memandangi kelima orang itu dengan tatapan heran, tapi sama sekali tidak merasa takut. Meski dia sering melarikan diri dari masalah, tapi dia tidak pernah takut dengan ancaman orang lain. 

“Seenaknya saja memutuskan seperti itu,” balas Wahyu sambil menunjuk ke arah si wanita yang bicara tadi. “Memangnya siapa kalian ini?”

“Tidak penting siapa kami. Yang penting sebaiknya kau ikut kami dengan tenang. Dengan begitu tidak ada yang akan terluka,” ujar wanita itu sambil tersenyum tipis. “Oke?”

Wahyu terdiam. Kelima orang asing itu sekilas memang tampak tidak berbahaya, tapi firasat Wahyu mengatakan kalau dia sebaiknya tidak membuat masalah dengan kelima orang itu. Pemuda itu diam-diam mengamati keadaan di sekelilingnya. Dia sebaiknya segera mencari jalan untuk melarikan diri. Saat ini lima orang berseragam itu sedang menghalangi satu pintu, tapi untungnya di ruang kuliah itu terdapat pintu keluar lain yang bisa digunakan untuk lari.

Begitu menyadari hal itu, Wahyu langsung tersenyum penuh kemenangan. Dia berhasil menemukan jalur untuk melarikan diri. 

Memangnya siapa yang mau mengikuti perkataan orang-orang aneh seperti kalian?! ejek Wahyu dalam hati. 

Tanpa aba-aba sama sekali, Wahyu langsung melesat ke arah pintu keluar yang satunya lagi. Tindakannya yang tiba-tiba membuat kelima orang berseragam yang mengancamnya tadi terkejut.

“Kejar dia!!!” seru sang wanita, yang sepertinya memang pemimpin dari kelompok aneh itu. 

Wahyu berlari melintasi lorong kampusnya dengan sekuat tenaga. Beberapa kali dia menabrak mahasiswa dan mahasiswi lain, tapi pemuda itu tidak mau berhenti untuk meminta maaf. Dia terus berlari hingga akhirnya dia berhasil keluar dari gedung kampusnya. Tapi begitu dia sampai diluar, pemuda itu terkejut bukan main.

Di depan kampusnya, sudah berdiri puluhan, bahkan mungkin ratusan orang berseragam hijau, sama seperti orang-orang yang dia temui tadi. Mereka semua berdiri sambil tersenyum sinis ke arah Wahyu. 

Apa?! Apa-apaan ini?! Siapa mereka semua?! seru Wahyu panik begitu menyadari kalau dirinya sudah terkepung. 

“Wah...wah...wah...kenapa buru-buru sekali?”

Seorang pemuda tampak berbicara dengan nada mengejek sambil keluar dari balik kerumunan orang berseragam hijau disekitarnya. Wahyu mengamati kalau hanya pemuda itu yang tidak mengenakan seragam, sehingga dia menduga kalau pemuda itulah pemimpin dari kelompok aneh ini. Pemuda misterius itu berpakaian ala ‘anak gaul’ dengan beberapa aksesoris yang melekat di pakaiannya. Wajah pemuda itu memang terlihat cool dan mengesankan, tapi senyuman mengerikan yang tersungging di bibirnya membuat Wahyu merinding.

“Blazing Corona ya? Beruntung sekali aku bisa bertemu denganmu. Salah. Lebih tepatnya, beruntung sekali aku bisa menemukanmu dengan cepat. Ini semua berkat Sora,” ujar pemuda itu lagi sambil mengangkat sebelah tangannya. 

Seekor burung garuda mungil berbulu hijau pudar tampak melayang turun dari langit, lalu mendarat dengan mulus diatas tangan pemuda misterius itu. Kedua mata Wahyu terbelalak ketika melihat sosok burung mungil, yang sangat mirip sekali dengan Agni.

“Merepotkan saja. Kau harus berterima kasih padaku nanti,” ujar burung garuda mungil itu dengan suara seorang gadis. Pandangan burung ajaib itu lalu teralih ke arah lain dan dia kembali bicara. “Nah, kita bertemu lagi, Pemandu Api.”

Wahyu langsung menoleh dan melihat Agni tahu-tahu sudah melayang di sekitarnya. Entah kapan burung garuda mungil berwarna merah itu menyusul dirinya. 

“Sora, Pemandu Angin. Ada urusan apa kau dengan pemilik Blazing Corona ini?” tanya Agni dengan nada ketus.

“Aku sih tidak punya urusan dengan kalian berdua. Tapi dia punya.”

Sora memiringkan kepalanya, lalu menoleh ke arah sang pemuda yang tampaknya juga seorang calon Penguasa Tunggal. Begitu mendengar ucapan Sora, pemuda itu kembali tersenyum lebar.

“Betul sekali. Ah. Ngomong-ngomong aku belum memperkenalkan diriku,” ujar calon Penguasa Tunggal itu sambil menunjuk ke arah dadanya. “Namaku Rizki Irwansyah, calon Penguasa Tunggal dibawah Breezing Corona. Salam kenal, pemilik Blazing Corona. Senang bertemu denganmu.”

“Huh! Tapi aku tidak senang bertemu denganmu,” balas Wahyu dengan ketus. “Ada urusan apa kau denganku?”

Rizki terdiam, lalu pemuda itu melangkah maju mendekati Wahyu dengan senyum mengerikan masih terukir di wajahnya. Ketika Wahyu melihat ekspresi wajah Rizki, pemuda itu mulai merasa takut. Sosok Rizki yang sedang berjalan mendekatinya itu tampak menakutkan dan tidak tampak seperti manusia normal.

“Kau bertanya ada urusan apa aku dengamu? Tentu saja jawabannya adalah CoroNation!” ujar Rizki dengan nada bersemangat. “CoroNation memang baru akan dimulai secara resmi bulan depan. Tapi aku sudah tidak sabar untuk mencoba menggunakan kekuatanku untuk melawan calon Penguasa Tunggal lainnya. Dan berhubung kau adalah calon Penguasa Tunggal pertama yang kutemui, jadi kuputuskan untuk mencoba membandingkan seberapa besar kekuatanku dibandingkan dirimu.” 

Wahyu melangkah mundur ketika Rizki berjalan semakin mendekati dirinya. Pemuda itu sekilas melirik ke arah Agni yang masih melayang dengan tenang di samping dirinya. Garuda mungil itu justru terlihat begitu tenang dan tidak menunjukkan rasa takut.

“Sora. Suruh bimbinganmu itu untuk berhenti sekarang. Ini bukan pertarungan legal. Kau tahu aturan main dalam CoroNation bukan?” ujar Agni pada Sora, sang Pemandu Angin. “CoroNation baru akan dimulai minggu depan. Mundurlah!”

Ucapan Agni justru membuat Sora memandangi burung garuda merah itu dengan tatapan aneh. 

“Memangnya kenapa? Tidak ada salahnya kan? Lagipula proses eliminasi akan lebih cepat kalau dimulai dari sekarang,” sahut Sora dengan nada mencemooh, burung garuda mungil berbulu hijau pucat itu lalu menambahkan. “Atau jangan-jangan kau tidak yakin kalau calon Penguasa Tunggal yang kau bimbing itu bisa bertahan melawan calonku?”

“Sora! Jangan terlalu banyak bicara. Nanti mereka bingung dan malah tidak jadi melawanku. Jadi diamlah sebentar,” ujar Rizki dengan nada jengkel sambil menunjuk ke arah Sora yang melayang di udara. Dia lalu balik menunjuk ke arah Wahyu sambil kembali tersenyum lebar. “Nah. Kalau begitu aku mulai sekarang ya.” 

Mendengar ucapan Rizki, Agni langsung menoleh ke arah Wahyu.

“Wahyu! Gunakan Corona milikmu sekarang!!” perintah garuda mungil itu dengan nada panik. “Cepat!!”

Wahyu tentu saja kebingungan. Dia tidak mengerti apa maksud dari perkataan Agni. 

Menggunakan Corona milikku? tanya Wahyu dalam hati. Bagaimana caranya?! 

Dia lalu menoleh ke arah Rizki yang sekarang menangkat sebelah tangannya. Pemuda pemilik Breezing Corona itu lalu membuat gerakan seolah-olah dia sedang mengambil sesuatu benda tak kasat mata yang melayang diatas kepalanya. 

Sambil tersenyum penuh kemenangan, Rizki mengayunkan tangannya ke bawah sambil berseru. “Breezing Corona! Berhembuslah!!”

Tepat saat Rizki selesai bicara, sebuah hembusan angin dahsyat langsung berputar di sekitar pemuda itu dan membentuk tornado mini. Sedetik kemudian tornado mini itu langsung menghilang, namun diatas kepala Rizki sekarang sudah muncul sebuah mahkota logam yang melayang di udara. Mahkota itu berwarna perak serta memiliki sebuah kristal bulat berwarna hijau pucat di tengah dan disekitar hiasan mahkota tersebut. Bentuk hiasan mahkota aneh itu tampak meliuk-liuk tanpa pola yang jelas, namun seperti menggambarkan tiupan angin yang berhembus bebas tanpa terhalang apapun.

Mahkota aneh yang muncul diatas kepala Rizki itu adalah Breezing Corona, mahkota angin. Salah satu dari 8 Elemental Corona yang dimiliki oleh calon Penguasa Tunggal di Indonesia. Pemilik dari Corona angin itu akan dikaruniai kemampuan untuk mengendalikan aliran udara dengan bebas.

“Nah. Aku sudah mengenakan Corona milikku. Bagaimana denganmu? Masa aku harus berkelahi denganmu tanpa menggunakan Corona? Itu sama sekali tidak menarik.” tanya Rizki sambil merentangkan kedua tangannya ke samping. Dia lalu berseru keras pada orang-orang berseragam yang tampaknya berada dibawah pimpinannya “Dengarkan aku baik-baik! Jangan ada seorangpun yang berani ikut campur dalam pertempuran ini, atau aku akan mengubah kalian jadi potongan kecil-kecil!”

Beberapa bawahan Rizki tampak ketakutan dan gemetar mendengar ucapan pemuda itu. Tentu saja mereka tidak berani melakukan apapun karena mereka sudah tahu kalau itu sama saja dengan bunuh diri. Akhirnya satu-persatu orang-orang berseragam hijau itu berjalan mundur dan menjaga jarak yang cukup jauh dari Rizki dan Wahyu.

Sementara itu Wahyu sedang sibuk menatap benda yang melayang diatas kepala Rizki dengan tatapan takjub.

Itukah yang dinamakan Corona? tanya Wahyu dalam hati. Indah...sekaligus menakutkan!
Mahkota perak bertahtakan batu berwarna hijau pucat itu tampak anggun, sekaligus mengancam. Wahyu kembali melangkah mundur tanpa sadar. Firasatnya mengatakan kalau situasinya sekarang sudah sangat gawat dan dia bisa mati setiap saat.

Sadar kalau dia tidak punya pilihan selain melarikan diri, Wahyu langsung berbalik dan bermaksud untuk lari masuk ke dalam gedung kampusnya. Tapi sebelum dia sempat melakukan apapun, sebuah hembusan angin kencang bertiup di sampingnya, membuat Wahyu kehilangan keseimbangan dan terjatuh. Pemuda itu langsung berusaha bangkit, hanya untuk kembali diterpa hembusan angin lain yang membuatnya terlempar hingga membentur tembok bangunan di belakangnya.

“AGH!!” seru Wahyu kesakitan. 

Tubuh pemuda itu lalu merosot dan terkulai lemah di lantai. Dia masih tidak mengerti apa yang baru saja terjadi barusan. Yang dia tahu tadi dia seperti dihantam oleh sesuatu yang sangat keras hingga membuatnya terpental cukup jauh. Tapi Wahyu tidak tahu apa yang tadi menghantam tubuhnya.

Dengan ngeri Wahyu memandang ke depan, ke arah Rizki yang tampak menyilangkan kedua tangannya ke depan. Ketika memandangi sosok Rizki, Wahyu menyadari kalau di sekitar lawannya itu angin berhembus berputar keatas, hingga membentuk semacam spiral.
“Ada apa? Kenapa kau tidak mengenakan Corona api kebanggaanmu itu? Kau bisa mati cepat loh kalau terus-menerus keras kepala seperti itu,” ujar Rizki. 

Wahyu mengernyitkan wajahnya sambil menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya. Bukannya dia tidak mau mengenakan Corona seperti yang dilakukan oleh lawannya itu, tapi Wahyu benar-benar tidak tahu caranya. Pemuda itu lalu sadar kalau Agni, burung garuda sakti yang menjadi pemandunya pasti tahu bagaimana cara mengenakan Corona seperti Rizki.

Wahyu memang masih tidak mau berpartisipasi dalam CoroNation, tapi sekarang bukan saatnya bersikap keras kepala karena nyawanya sudah ada diujung tanduk. Kalau dia tidak mampu melarikan diri atau melawan Rizki, hampir bisa dipastikan dia akan tewas ditangan pemilik Breezing Corona itu.

“Agni!!” seru Wahyu pada sang garuda berbulu merah itu. “Bagaimana cara mengenakan Corona?!”

Ucapan Wahyu membuat Agni yang sedari tadi melayang di udara, langsung melesat ke depan Wahyu. Burung garuda mungil itu lalu mendengus melihat kondisi Wahyu yang sudah babak belur.

“Huh! Baru sekarang kau bertanya padaku?” cemooh Agni, tanpa memperdulikan situasi yang sedang dihadapi Wahyu saat ini. “Kupikir kau tadi tidak tertarik dengan CoroNation?”

Wahyu memandangi Agni dengan tatapan tidak percaya. Dia tidak percaya burung mungil itu sekarang bersikap cuek dan sepertinya tidak berniat membantunya. Padahal saat ini dirinya sedang dalam keadaan terjepit. Tapi Wahyu juga menyadari kalau sikap dan perkataannya terhadap Agni memang bisa dikatakan kurang ajar, serta sangat tidak sopan. Wajar saja kalau Agni merasa jengkel dan marah, serta tidak mau membantunya. Meski harus melawan ego-nya, Wahyu akhirnya memutuskan kalau dia harus meminta maaf pada Agni.

“Maafkan aku! Aku memang kurang ajar dan tidak sopan terhadap dirimu! Tapi sekarang aku butuh bantuanmu!!” seru Wahyu sambil berusaha bangkit dengan sisa tenaga yang dia miliki. “Tolong aku!!”

Ucapan Wahyu membuat Agni merasa senang. Burung garuda mungil itu langsung terbang ke atas Wahyu dan mendarat diatas kepala pemuda itu. Kalau saat ini Wahyu tidak berada dalam keadaan terjepit, dia pasti akan marah ketika kepalanya dihinggapi begitu saja oleh Agni. Tapi saat ini dia tidak punya pilihan lain.

“Dengarkan aku. Tidak ada waktu untuk menjelaskan cara mengenakan Corona padamu sekarang. Jadi untuk kali ini pinjamkan tubuhmu padaku!” seru Agni sambil sekilas memandang ke arah Rizki dan Sora, yang dengan sabar menunggu perkembangan situasi.
“Hah?! Apa?!” seru Wahyu bingung.

“Jangan banyak tanya! Percayakan saja padaku sekarang!” balas Agni sambil merentangkan kedua sayapnya. Pada saat yang sama tubuh burung garuda mungil itu langsung bercahaya. “Aku mulai sekarang!”

Seketika itu juga kesadaran Wahyu memudar. Seakan-akan jiwanya baru saja ditarik perlahan dari tubuhnya, Wahyu sekarang bisa melihat tubuhnya sendiri dengan jelas. Begitu menyadari hal itu, Wahyu langsung terkejut bukan main. Terlebih ketika tubuhnya itu tahu-tahu bicara dengan nada penuh percaya diri.

“Baiklah. Sekarang mari kita mulai permainannya!” ujar Agni yang saat ini sedang merasuki tubuh Wahyu. 

“Wah...wah...wah! Aku tidak tahu kalian para Pemandu bisa melakukan itu,” ujar Rizki yang tampak terkesan. Dia lalu menoleh ke arah Sora dan bertanya pada pemandunya itu. “Apa kau juga bisa melakukan itu?”

Sora mengangguk singkat.

“Tentu saja bisa. Tapi untuk apa aku melakukannya?” balas Sora dengan nada mencemooh. “Bikin repot saja. Daripada kagum terus seperti itu, lebih baik kau mulai bersiap melawannya. Agni kalau sudah serius bisa sangat merepotkan.”

Rizki langsung kembali memandangi sosok Wahyu, yang sekarang dirasuki pemandunya itu. Pemuda pemilik Breezing Corona itu langsung menyadari kalau saat ini lawannya sedang mengangkat sebelah tangannya ke atas.

“Akhirnya dia akan mengenakan Coronanya juga!” seru Rizki penuh semangat. “Ayo! Perlihatkan padaku Corona yang pernah dimiliki Penguasa Tunggal pertama di Indonesia itu!!!”

Agni langsung tersenyum lebar, kemudian membuat gerakan seakan-akan dia sedang memutar sesuatu yang tak kasat mata diatas kepalanya. Sambil melakukan itu, Agni berseru dengan nada tegas. “Membaralah! Blazing Corona!!!”

Seketika itu juga kobaran api langsung menyelimuti tubuh Wahyu (Agni) dan kemudian membentuk pusaran api, yang segera hilang sedetik kemudian. Namun begitu kobaran api itu menghilang, diatas kepala Wahyu (Agni) melayang sebuah mahkota berwarna perak, dengan hiasan kristal merah darah. Corona api itu memiliki hiasan mahkota yang melambangkan api yang sedang membara dengan dahsyat.

Begitu melihat bentuk Corona milik Wahyu, Rizki jadi semakin bersemangat lagi. Pemuda itu langsung mengambil kuda-kuda untuk menyerang. Pada saat yang sama, pusaran angin tampak berputar dan berkumpul di kedua tangan pemuda itu.

“Jadi itu Blazing Corona? Sungguh terlihat gagah sekaligus penuh ‘kehidupan’!” seru Rizki. “Ini akan menarik sekali!”

Agni memandangi Rizki dengan tatapan merendahkan. 

“Kalau aku sudah sampai seperti ini, jangan salahkan aku kalau kau dan Corona milikmu itu hancur, bahkan sebelum CoroNation dimulai,” ujar Agni sambil mengangkat sebelah tangannya lagi ke atas. “Aku tidak suka setengah-setengah kalau sudah sampai seperti ini.”

Ketika dia mengatakan itu, api kembali berputar di sekeliling tubuh Wahyu (Agni) dan berkumpul diatas kepala pemuda itu. Tidak lama kemudian sebuah bola api raksasa tercipta diatas kepala Wahyu (Agni) dan siap untuk dilemparkan ke arah Rizki.

Begitu melihat bentuk serangan yang akan segera dilancarkan ke arahnya, Rizki membeku selama beberapa saat. Calon Penguasa Tunggal itu sadar 100% kalau serangan yang akan dilancarkan lawannya itu sangat kuat. Dengan kekuatannnya saat ini, Rizki nyaris yakin kalau dia akan mati begitu serangan itu dilepaskan ke arahnya. Begitu menyadari hal itu, Rizki tahu satu-satunya cara untuk selamat adalah menghentikan pertarungan ini segera.

Tanpa banyak pikir, Rizki langsung menanggalkan kuda-kudanya dan mengangkat kedua tangannya ke udara. Tanda bahwa dia menyerah dan ingin mundur.

“Oke....kurasa sudah cukup. Aku sudah melihat sejauh mana kekuatanmu.....aku mengaku kalah,” ujar Rizki sambil terus memperhatikan bola api raksasa diatas Wahyu (Agni).

Sayangnya Agni tidak berminat untuk berhenti begitu saja.

“Apa yang kau bicarakan? Kau yang memulai semua kekacauan ini, jadi aku tidak akan mundur sebelum menghajarmu terlebih dahulu. Apalagi karena kau seenaknya menyerang orang yang kupandu,” balas Agni sambil menatap tajam ke arah Rizki. “Jangan salahkan aku kalau kami membela diri dan akhirnya menghabisi nyawamu.”

Kali ini Rizki benar-benar ketakutan. Sosok Wahyu (Agni) yang ada dihadapannya kini benar-benar terlihat seperti sosok monster buas, yang tidak segan-segan menghabisi nyawa orang lain. Jangankan Rizki, Wahyu yang saat ini sedang melihat Agni mengendalikan tubuhnya juga ikut ketakutan. Pemuda itu tidak menyangka kalau seperti inilah kenyataan dibalik CoroNation yang selama ini tidak dia ketahui. Ajang pemilihan Penguasa Tunggal itu juga sepertinya sekaligus merupakan ajang saling bantai antara para calon yang bertarung dalam CoroNation.

Menakutkan! Inikah CoroNation? Dan.....seperti inikah pertarungan antar calon Penguasa Tunggal? tanya Wahyu dalam hati. Kalau seperti ini, ini tidak lebih dari ajang saling bunuh saja!

Meskipun Wahyu merasa marah karena dia tadi dihajar sampai lumayan babak belur, tapi dia tidak ingin Rizki mati di depan matanya. Apalagi karena ulah Agni yang sepertinya juga sedang marah. Dia ingin melakukan sesuatu tapi dengan kondisinya saat ini, dia tidak bisa apa-apa selain hanya mengamati perkembangan situasi.

“Hentikan!!”

Tiba-tiba terdengar seruan nyaring yang membuat Wahyu (Agni) dan Rizki terdiam ditempat. Wahyu yang sedang melayang di sekitar tubuhnya, langsung menoleh ke arah datangnya suara. Pemuda itu melihat seorang gadis dan seorang pria berdiri tidak jauh dari tempat Agni dan Rizki. 

“Apa yang kalian lakukan? CoroNation baru akan dimulai seminggu lagi. Hentikan pertempuran kalian segera!” seru si gadis sambil berjalan dengan langkah tegap, tanpa peduli kalau dirinya baru saja memasuki medan pertempuran antara dua orang calon Penguasa Tunggal. 

Begitu melihat kedua orang itu, Wahyu (Agni) langsung menurunkan tangannya dan pada saat yang bersamaan, bola api diatas kepalanya langsung menghilang. Dia langsung memandang ke arah sang gadis dan terkejut ketika melihat sesosok burung garuda mungil berbulu biru sedang bertengger di pundak gadis itu.

“Ciel?” tanya Agni.

“Halo Agni. Sudah 10 tahun tidak bertemu,” balas burung garuda berbulu biru itu. “Sedang merasuki tubuh calon Penguasa Tunggal-mu? Cepat keluar dari tubuhnya. Kau tahu kalau kita tidak boleh seenaknya melakukan itu.”

Wahyu (Agni) langsung menutup matanya. Sedetik kemudian tubuh Agni yang asli kembali muncul diatas kepala Wahyu, sembari diiringi letupan dan bunga api. Pada saat yang bersamaan, Blazing Corona yang tadi melayang diatas kepala Wahyu langsung menghilang. Ketika Agni keluar dari tubuhya, kesadaran Wahyu kembali pulih dan dia kembali bisa menggerakkan tubuhnya. Pemuda itu langsung memandang ke arah sang gadis dan burung garudanya, serta seorang pria berpakaian rapi yang datang bersama gadis itu.
“Siapa kalian berdua?” tanya Wahyu.

“Aku Karlina Mayangsari, calon Penguasa Tunggal dibawah naungan Flowing Corona, sekaligus pimpinan Fraksi Deep Blue Sea,” ujar si gadis sambil menunjuk ke arah dirinya sendiri. Gadis itu lalu menunjuk ke arah Wahyu dan Rizki bergantian. “Kalian berdua telah melanggar aturan CoroNation! Tidak boleh ada pertempuran antar calon Penguasa Tunggal sebelum CoroNation benar-benar dimulai! Kalian bisa dihukum karena pelanggaran yang kalian lakukan!”

Wahyu langsung protes dan menunjuk ke arah Rizki.

“Dia yang mulai duluan! Dia dan orang-orang aneh berseragam hijau itu yang pertama-tama mengejarku. Dia bahkan menyerangku duluan!” protes Wahyu.

Karlina memandangi Rizki dengan tatapan tajam. Gadis yang juga merupakan calon Penguasa Tunggal itu lalu mendengus kesal.

“Rizki Irwansyah, calon Penguasa Tunggal dibawah Breezing Corona...tidak hanya kau nekat melakukan pertempuran tanpa izin, kau juga tidak mendeklarasikan Elimination Field,” ujar Karlina dengan nada jengkel. “Terlebih lagi....kau dan Fraksi Storm Knight-mu itu nekat masuk ke area yang ada dibawah kendali Fraksi Deep Blue Sea-ku!”

Mendengar ucapan Karlina, Rizki langsung mendengus. Pemuda itu lalu menjentikkan jari dan membuat Corona miliknya menghilang. Setelah itu Rizki mengangkat kedua tangannya lagi.

“Oke. Oke. Kali ini aku salah. Maafkan aku,” ujar pemuda itu sambil berbalik dan mulai berjalan ke arah kelompoknya. “Bubar! Urusan kita disini sudah selesai!”

Begitu Rizki selesai bicara, kelompok orang berseragam hijau pudar, yang merupakan anggota Fraksi Storm Knight, langsung membubarkan diri. 

“Sampai jumpa minggu depan. Berhati-hatilah agar kalian tidak mati sebelum melawanku,” ujar Rizki sambil tersenyum lebar dan berjalan meninggalkan area pertempuran.

Dalam waktu singkat area parkir di depan gedung Universitas Guna-Bakti langsung sepi. Yang tersisa hanya Wahyu, Karlina dan seorang pria, yang tadi datang bersama Karlina.

“Begitu lebih bagus,” ujar Karlina puas. Dia lalu menoleh ke arah Wahyu. “Kau calon Penguasa Tunggal dibawah Blazing Corona kan? Siapa namamu?”

“Wahyu Pratama,” sahut Wahyu singkat.

“Wahyu. Apa kau tahu kalau tindakan kalian tadi melanggar aturan?” ujar Karlina sambil berjalan mendekati Wahyu. “Kalau saja Anjas tidak turun tangan, kau dan Rizki bisa kehilangan Holy Insignia kalian!”

Wahyu hendak bicara, tapi sebelum dia sempat mengatakan apapun, pria tegap yang datang bersama Karlina sudah bicara terlebih dahulu.

“Sudahlah. Toh mereka berdua belum sempat bertarung secara serius,” ujar pria itu dengan santai. Dia lalu memandang ke arah Wahyu dan Agni, lalu menunduk singkat dan berbicara lagi. “Beruntung sekali aku ada di sekitar sini. Kalau tidak mungkin kau dan pemilik Breezing Corona tadi akan berurusan dengan Juri Pemilihan. Dan mereka tidak sebaik diriku loh. Kalian bisa dihukum berat karena tindakan kalian.”

“Memangnya siapa kau ini. Gaya bicaramu menyebalkan,” balas Wahyu dengan ketus.

“Namaku Anjas Hendrawan, Ketua Komite Pemilihan Penguasa,” balas pria yang bernama Anjas itu dengan sopan. “Senang berkenalan dengan kalian berdua, Wahyu Pratama dan Agni.”

Wahyu terkejut begitu mengetahui kalau pria yang ada di hadapannya itu bukan orang biasa, melainkan seorang pejabat tinggi di pemerintahan. 

“Tidak baik kita bicara disini. Akan lebih baik kalau dirimu dan Karlina ikut denganku. Aku akan membawa kalian semua ke tempat yang nyaman untuk ngobrol santai,” ujar Anjas sambil menunjuk ke arah jalanan. Di sisi jalan protokol yang berada di depan Universitas Guna-Bakti, sudah terparkir sebuah SUV mewah milik Anjas. Kendaraan itulah yang tadi dia gunakan bersama Karlina untuk datang segera ke tempat ini.

“Tunggu apalagi?” tanya Karlina ketika melihat Wahyu masih belum beranjak dari tempatnya.

Tentu saja Wahyu tidak bergerak. Dia tidak mau seenaknya mengikuti orang-orang yang sama sekali tidak dia kenal. Meskipun salah seorang dari mereka mengaku sebagai seorang pejabat tinggi negara, tapi Wahyu tidak semudah itu percaya pada ucapan Anjas. Terlebih karena Karlina adalah seorang calon Penguasa Tunggal, sama seperti dirinya. Setelah menyaksikan sendiri pertarungan ganas yang hampir terjadi antara Agni dan Rizki, Wahyu jadi semakin waspada. Dia sekarang percaya pada perkataan Agni bahwa dirinya bisa mati kalau dia tidak benar-benar berhati-hati. Oleh karena itu dia tidak boleh terlalu mudah mempercayai orang lain.

“Ayo!” ajak Karlina lagi.

“Tidak, terima kasih!” balas Wahyu setelah terdiam cukup lama. “Aku akan pulang saja.”

Tapi sebelum dia sempat beranjak dari tempatnya, Agni sudah melayang di depan wajah Wahyu. Burung garuda mungil berbulu merah itu langsung menatap mata Wahyu dengan tatapan tajam.

“Kali ini ikuti mereka. Aku bisa merasakan kalau mereka tidak berniat jahat padamu. Selain itu akan lebih baik lagi kalau kau bisa segera membentuk Koalisi dengan calon Penguasa Tunggal lainnya. Dan aku tahu kalau kita bisa mempercayai setidaknya Karlina dan Ciel,” ujar Agni dengan nada serius.

Wahyu hendak protes dan membantah. Tapi dia segera teringat kejadian mengerikan barusan, ketika dirinya diserang oleh Rizki dengan semacam hembusan angin. Begitu mengingat kejadian itu, Wahyu langsung mengurungkan niatnya untuk membantah. Dia tahu saat ini dia sebaiknya mengikuti perkataan Agni. Wahyu tidak mau mati konyol karena sikap keras kepalanya sendiri.

“Baiklah....” ujar Wahyu, tapi dia segera menambahkan. “Tapi ingat. Aku masih tidak mau berpartisipasi dalam CoroNation ini!”

Kalau Agni bisa tersenyum, dia pasti sudah tersenyum saat ini. Burung garuda itu senang karena Wahyu akhirnya berhenti bersikap egois dan keras kepala. Dia berharap untuk selanjutnya calon Penguasa Tunggal yang dia bimbing itu bisa bersikap lebih kooperatif.

“Terserah apa katamu,” balas Agni dengan nada riang.