Adipati Karna adalah putra dari Dewi Kunti, yaitu putri Prabu Kuntiboja di
Madura. Waktu muda ia bernama Suryaputra. Waktu Dewi Kunti belum
bersuami ia telah hamil karena mempunyai ilmu dari Begawan Druwasa, dan
ilmu itu tidak boleh diucapkan dalam sinar matahari (siang hari). Jika
diucapkan dalam sinar matahari ia akan jadi. hamil. Tetapi Dewi. Kunti lupa
akan larangan itu, maka hamillah ia. Oleh pertolongan Begawan Druwasa,
kandungan itu dapat dilahirkan keluar dari lubang kuping, maka diberi anak
itu diberi nama Karna (karna berarti kuping).Karna diaku anak angkat oleh
Hyang Surya. Waktu Karna dilahirkan lalu dibuang ia ditemukan oleh Prabu
Radea, raja di Petapralaya, terus diaku anak dan diberi nama Radeaputra.
Setelah dewasa, ia berkenalan dengan seorang puteri di Mandraka bernama
Dewi Surtikanti. Perkenalan itu diketahui oleh Raden Pamade, hingga terjadi
perang tanding. Karna mendapat luka di pelipis dan akan dibunuh oleh
Pamade. Tetapi Hyang Narada, turun dari Kahyangan untuk mencegah
kehendak Pamade itu dan Narada menerangkan, bahwa Kama itu saudara
Pamade (Pandawa) yang tertua, malah seharusnya Pamade membantu
perkimpoian Karna dengan Surtikanti. Dan seketika itu juga Hyang Narada
menghadiahkan mahkota. pada Karna untuk menutup luka di pelipisnya.
Pamade dan Karna pergi ke Awangga dan membunuh raja raksasa di
Awangga bernama Prabu Kalakarna, yang, mencuri Dewi Surtikanti.
Kemudian Surtikanti dihadiahkan kepada Karna untuk jadi isterinya dan
Karna bertahta sebagai raja di Awangga berpangkat Adipati, suatu pangkat
yang hampir setara raja, dan bergelar Adipati Awangga.
Karna kesatria sakti dan mempunyai senjata bernama Kunta Wijayadanu.
Dalam perang Baratayudha, Karna berperang dengan Arjuna, saudara
sendiri, hingga Karna mati dalam perang sebagai kesatria. Tewasnya Adipati
Karna dalam perang Baratayuda dianggap utama karena ia mati dalam
perang untuk membela negeri Hastinapura, setia hingga mati, tak
memandang bermusuhan dengan saudara sendiri.
Teladan keutamaan Adipati Kama ini dikarang oleh KGPAA Mangkunegara IV
untuk pengajaran pada kerabat dan tentara Mangkunegaran, tetapi
umumnya juga diikuti oleh khalayak. Buku tersebut berjudul Tripama.