Wanita mungil itu berteriak histeris saat aku mengejarnya. Gang sempit dan sepi itu membuat suaranya semakin jelas terdengar dan memekakan telinga. Namun aku tetap membawa kakiku berlari mengejarnya, sinta, wanita separuh baya yang menolak untuk aku cintai.
"Sinta, jangan pergi!" Sahutku dengan nada parau.
"Jauhi aku mas! jauhi aku!"
Balasnya dengan tanpa menengok ke arahku, wajahnya masih mencari ujung dari gang sempit itu.
"Kenapa Ta? Aku sayang kamu!" sahutku lagi
"Kenapa kamu ngga juga ngerti. hiks!. Mana mau aku mencintai lelaki yang bahkan tak tau cara mencintai diri sendiri!"
Timpal sinta dengan nafas yang semakin tersengal. Nafasnya mulai habis. Larinya semakin melambat. Air matanya mengalir semakin deras.
Kakiku tetiba menghentikan larinya, padahal jarakku dengan sinta semakin dekat dan aku nyaris menjamahnya. Namun kata-kata yang keluar disertai dengan tangisannya barusan seolah menamparku dari kejauhan, mengena tepat di pipi kananku.
Sesaat pikiranku tenggelam dalam penyesalan, bahkan setelah sekian lama, setelah aku fikir bahwa aku sudah berhenti menjadi lelaki brengsek, aku tetap tak berubah.
Apa ini alasan mengapa shandra pergi meninggalkanku tiga tahun lalu? Apa ini alasan mengapa di setiap kisah cinta yang aku alami dengan Dinda terasa hampa di dada. Apa harus saat ini aku baru menyadari bahwa aku terlalu mengasihani orang lain hingga lupa mengasihani diri sendiri.