Kau Tau?...

Kau tahu apa yang menyenangkan? Saat perempuan-perempuan berpikir aku pernah mencintai mereka. Dan tebak apa yang menyakitkan? Mencintaimu.

Hai Aku...

Hai orang yang gagal jatuh cinta, sedang apa kau? Ah, senyummu! Kukenal senyum palsu itu! Aku juga pernah melakukannya saat bersamamu.

Hanya Kamu

Aku sayang kamu sejak lama, tapi kini aku punya mata yang baru. Mata yang tertutup bagi segala keindahan perempuan yang bukan kamu.

Beda Cerita

Beda ceritanya, antara kamu sudah mengisi hati seseorang atau kamu hanya sedang membuat seseorang sibuk hingga tak sempat menengok hatinya.

Bangga Menjadi Diri Sendiri

Kamu harus bangga bahwa kamu adalah kamu. Sebab mungkin tidak mudah bagi orang lain bila menjadi kamu. :)

Minggu, 18 November 2018

Hujan

Kepedihan itu tatkala titik-titik air
Ketika ia timbul lalu menguap membentuk awan tipis yang lembut seperti kapas.
Namun ketika membuncah, ia seketika gelap tak lagi indah.
Menutupi cahaya sang surga.

Yang ada adalah kesenduan.
Mau berapa lama lagi ditahan, itu hanya masalah waktu.
Kemudian datanglah sang bala tentara langit, namanya angin.
Siapa yang tau darimana asalnya, yang aku tahu hanyalah derunya mengganggu awan.

Memaksa untuk tak dapat bertahan lebih lama lagi.
Kemudian awan gelap kembali menjadi titik-titik air yang jatuh sebagai hujan.
Perlahan, perlahan lalu deras membasahi tiap jejak jejak kaki.

Tahukah kau? bahwa sekuat apapun kau menahan pedih agar tak kentara.
Suatu saat dia akan menampakkan dirinya dan turut membasahi hati-hati lain.
Tapi biarlaj kesedihan itu tercurah, biarlah sirna sekalipun ia akan kembali.
Hingga sang terang itu menyinari kebali sukmamu yang telah lama suram.

Rabu, 24 Oktober 2018

Sembunyi

Aku ingin sembunyi dibalik dadamu yang mulai membiru karena rindu.
Atau dibalik sehelai rambut di keningmu yang membujur hingga ke alis yang tak bergeming ketika aku tiup. Melekat dikulit bercampur adonan maskara dan peluh yang enggan jatuh.

Aku ingin sembunyi dibalik anting kecilmu, yang berayun bebas menyentuh lehermu, membelainya tanpa rasa geli, tanpa permisi.
Atau dibalik kaus kaki putih setinggi mata kakimu, yang menyembunyikan bekas luka terkilir saat kau panjat punggungku jum'at kemarin.

Aku ingin sembunyi, dari kamu. Bisa? Dimana?

Minggu, 07 Oktober 2018

Dona - Lembar Terakhir

Sembari menyelesaikan ceritaku tentang Mytha dan Anggika, seperti biasa aku punya another distraction. Bukan gangguan ya, tapi pengalihan; yang kali ini kepada gadis manis yang berpostur jangkung namanya Dona.

Dia adalah teman satu SMP. Pernah sekelas. Secara status belum pernah jadi pacar, tapi beberapa semester sempat saling sayang-sayangan. Lucunya dengan tak ada status pun, satu sekolah sudah menganggap kami pacaran. Iyalah, kemana-mana berdua.

Kami mulai dekat ketika sekelas di kelas 2. Lalu ala-ala pacaran sampai lulus sekolah dan putus ketika dia tak lagi intens kontekan dengan alasan SMA kami yang berbeda dan nyaris tak mungkin untuk bertemu sekalipun dalam sebulan. Karena itulah dengan pertama kalinya aku memaki jarak dan waktu.

Di pertengahan juli, sebuah pesan WhatsApp muncul dari kontak baru dengan display picture langit biru yang kosong, hanya sedikit awan menghiasai tepiannya.

"Novaaaaaaaaaaa....." tulisnya singkat tanpa ada kalimat lanjutan..

Aku tunggu beberapa waktu, ku fikir mungkin dia belum menyelesaikan fikirannya untuk menuliskan kalimat sapa atau tanya.

Sampai satu jam berlalu tiada satu kata pun yang bertambah.


Minggu, 16 September 2018

After Sunrise

Hai, Nona!

Aku ingin memintamu untuk mendengarkan ceritaku, tapi aku takut akan segugup apa aku kali ini. Jadi, aku paksa kamu membaca ceritaku, entah akan sepanjang apa.

Maaf harus berhutang 1$ lagi. Meminta kamu mendengar kan pernyataanku.
Aku tahu kamu sudah tak mau membahas ini, akupun sama.
Tapi jujur, siang ini aku merasa ada yang belum selesai diantara kita.
Memang tidak seperti jumat malam kemarin, masalahnya ada di aku dan kamu.
Kali ini masalnya ada pada aku dengan diriku sendiri, tapi tentang kamu.
Dan yang aku tahu, apa yang ingin aku utarakan bukan sesuatu yang bisa dibahas di kantor. Tapi aku juga sudah tak boleh lagi mengajakmu keluar atau meminta untuk datang ke tempatmu lagi (yang menurutku sudah tidak ada lagi kesempatan kedua; untuk kali ini).

Tidak banyak yang bisa ku ceritakan padamu kemarin. Kalau diibaratkan, kamu bacakan 1 Seri Buku Harry Potter, sedang aku hanya bacakan 1 sajak Hamsad Rangkuti. Bukannya aku enggan, aku hanya belum cukup pintar untuk menceritakan dengan cara apa dan darimana aku harus memulai. Tapi aku bersyukur, dari banyak ceritamu yang kudengarkan; ada yang menggugah hatiku; ada yang memberi kekuatan aku untuk bangkit; ada yang menerangkan cara berfikirku yang kelam.

Kau tahu, aku harus mengakui bahwa aku masih membenci matamu yang cantik itu. Menatapnya membuatku melihat jelas kebodohanku. Kalau saja aku boleh memilih, aku lebih baik bodoh dalam menulis cerita fiksi daripada bodoh dalam bersikap. Tapi Tuhan punya cara sendiri; aku harus bersyukur bahwa melalui drama kemarin aku bisa mengenal kamu dan mengenal diriku sendiri.
Tapi boleh lah aku meminta potret matamu untuk ku pandang sekali-kali,sebagai pengingat bahwa bidadari itu nyata. *ini gombal

Oh iya, aku juga harus meminta maaf. Tak seharusnya aku yang menutup pagar rumahmu sebelum berpulang. Tapi sungguh, tangan dan kakiku seperti bergerak dengan maunya sendiri. Mungkin ia enggan untuk melihat kamu lagi dan enggan untuk membuat kamu melihat kebodohanku yang lain. Hahaha
Terlebih, kamu harus kembali ke kamar untuk segera mandi. Aroma tubuhmu semakin siang semakin menyengat di hidung, aku takut tanaman di halaman rumahmu mati karenamu.

Ada yang lucu di hari kemarin, selekas pamit dari rumahmu aku salah ambil rute. Alih-alih ingin cepat sampai, aku malah terjebak macet parah. Aku tak tahu kalau daan mogot sedang ada perbaikan jalan separuh jalur.
Tapi bagian lucunya bukan itu, pada sepertiga perjalanan pulang aku seperti di tersambar petir. Dadaku tetiba sesak, mataku sembap, tanganku gemetar. Beberapa saat aku berfikir "ah munkin gejala demam lagi" sampai aku menyadari sesuatu membasahi tanki motorku.
Sial! Air mataku berjatuhan! Ia memaksaku untuk berhenti sejenak di pinggiran jalan tepat di depan halte sebelum Fly Over roxy.
Sempat berfikir untuk kembali, tapi aku ingat bahwa aku harus segera ke kantor. Dan sekalipun orang kantor mau menunggu, belum tentu kamu mau menerimaku untuk duduk lagi di ruang tamu.
Di kemelutku, tetiba aku tersadar oleh dua lelaki yang sedang duduk dihalte. Salah seorang dari mereka bercakap "Eh nanti cari mushola dulu ya, gw belom shalat". Aku tebak mereka janjian pergi dengan bertemu di halte ini, sedang salah seorang belum shalat.
"Oh iya, aku harus shalat! Allah akan beri jawaban untuk segala tanyaku!" fikirku, lalu cabut pergi lagi.

Kamu benar bahwa perihal kesembuhan aku telah meminta dan mencari pada hal yang salah. Aku tulis kembali kalimatmu pada Whatsapp Chat "Tapi aku selalu mengingatkan utk banyak berdoa. Iya ga?"
Iya, aku lupa untuk meminta kesembuhan pada yang maha menyembuhkan. Allah Azza wa Jalla Asy-Syafi, Sang Maha Menyembuhkan segala penyakit lahir dan batin. Aku tak bisa memaksa hati ini untuk sembuh, apalagi meminta orang lain untuk menyembuhkan.

Tapi sekali lagi sial, pagi tadi setelah terbangun dari tidur pulasku, tetiba teringat lagi dan aku menangis lagi, cukup lama.
Gila, sudah lama aku ngga nangis. Eh sekalinya nangis karena masalah ngga lucu kayak ginian. hahahahaha

Sial, setelah kemarin aku makin banyak bicara. Payah! Jangan sampai aku harus kembali jadi diriku 11 Tahun yang lalu.

Perihal masalahku dengan diriku sendiri, aku akan coba berdamai. Kufikir tidak baik harus berkelahi dengan egoku sendiri. Aku harus mengalah, aku harus mencair. Aku akan memeluknya perlahan, menjadikan ia teman.
Aku tak bisa membuang dia, aku harus berdampingan dengan egoku. Hanya saja aku yang harus mengambil alih kontrol atas diriku, sekali lagi.

Sayangnya, aku tak bisa mereset kita. Tapi bolehlah aku memaksa untuk berdamai, ya. *Mengulurkan tangan

Kamis, 13 September 2018

Hangat - Anggika

Masih kucari-cari hangat yang sama seperti yang kau beri malam itu
Sudah kucoba banyak perlukan namun tiada yang senikmat kamu
Atau aku yang belum mencoba mereka di tempat yang sama ; di kamarmu

Malam ini sudah malam kesekian aku kedinginan
Aku menjadi lelaki yang terbakar hatinya di hari siang
Dan aku menjadi lelaki pendiam yang membisu di hari malam

Bukan saja tubuhku yang menggigil
Bukan saja hatiku yang menyepi
Bukan saja akalku yang menumpul

Aku mulai mati, hati dan benakku.
Bolehkah aku mengemis kali ini?
Kau kembali sesekali, memelukku sebentar, lalu pergi



Terimakasihku

Terimakasih ;

Telah meninggalkanku ditengah hujan;
Telah memenjarakan aku dalam keheningan.
Telah menorehkan luka baru diatas luka lama yang bahkan tak sempat mengering.


Maaf;

Telah membuatmu berhenti menangisi mantan kekasihmu;
Telah membuang semua bekas luka di tubuhmu;
Telah mengecewakan harapanmu karena telah menjadi lelaki sabar dengan egomu

Senin, 13 Agustus 2018

Mytha - Day 73

Day 73 - Pengakuan

"Gila ya, gw bisa nyaman ama elo.." Seru mytha sambil nyeruput kuah bakso

Mendengar pernyataan itu sudah sepatutnya gw seneng, tapi entah ada sesuatu yang membuat kalimat itu terdengar hambar di hati sekalipun begitu renyah di telinga.

"Sebatas temen ya? Myt?" timpal ku dengan nada sayup

"Loh kok kamu ngga seneng gitu? Hahahaha" balasnya sambil memukul bahuku dengan manja. Tawanya pelan namun menggema, mungkin dia tahan karena sebongkah bakso panas masih berusaha dia kunyah di mulut mungilnya.

Aku tak ingin melanjutkan percakapan ini, aku biarkan dia menyelesaikan makan siangnya dengan nyaman, iya NYAMAN. Bukan karena takut ia tersedak, hanya saja aku bisa menebak kemana ujung percakapan ini bila di lanjutkan tanpa jeda.


Day 73 -  Gerimis

Kacau mulai menggerogoti fikiranku. Retakan di dinding hatiku semakin membesar. Perasanku sudah tak terbendung lagi. Emosiku membuncah.

Belum habis satu porsi Mie Bakso yang dia santap, kutarik mytha ke tengah lapangan Bola Basket dengan ajakan untuk bermain hujan-hujanan.
Harusnya aku dan dia berlarian kesana kemari layaknya orang biasa bermain. Namun kami tidak, entah mengapa aku dan mytha malah langsung terpaku berdiri begitu air hujan menerpa wajah.

Ingin aku bertanya kenapa atau gimana perasaanya saat itu, namun keinginanku terkalahkan dengan rasa penasaran, kalimat apa yang bakal terucap dari bibir mytha.

Aku tunggu, 5 detik

Aku tunggu lagi, 10 detik.

Masih aku tunggu, 15 detik.

Sial, tak ada kata yang terucap. Matanya masih terpejam dengan kepala menengadah seakan membiarkan butiran hujan membasuh lelah di wajahnya. Rambut pendek berwarna coklatnya mulai sepenuhnya basah dan menghitam. Kacamatanya makin berembun dan bibir hangat merahnya mulai dingin membiru. Ku genggam erat tangannya, dia pasrah.

Di titik terjauh nalarku, aku menyadari bahwa sudah tak perlu lagi untuk tau seberapa berharga aku di matanya. Maka kali ini aku putuskan untuk sedikit saja menyentuh hatinya. Tak peduli seberapa tinggi tembok atau seberapa keras dinding egonya, akan aku coba untuk runtuhkan.

Di detik ke 75 aku coba mengetuk pintu hatinya dengan melantunkan puisi buatannya, Separuh Langit Hatiku. Puisi yang dia buat untuk Jonathan, mantan kekasihnya.

Bait demi bait aku lantunkan dengan lantang, ku resapi dalam hati kata demi kata. Ku buat-buat seolah dibacakan oleh gadis separuh baya yang baru saja ditinggal kekasihnya. Air mataku mulai jatuh di bait kedua, suaraku mulai berat dan gemetar. Mataku tajam menatap wajah Mytha yang masih menengadah dengan mata tertutup. Bibirnya ikut gemetar pada kata demi kata puisinya. Aku yakin, meskipun suaraku kalah dengan gemuruh hujan dan gelegar petir, tak ada saatu huruf pun yang tak sampai ke hatinya.

Bait ketiga dan terakhir ku lantunkan dengan nada sayu, aku tau dia menyusupkan nama satu lelaki yang bukan aku. Harapku dia menyela, mengaku bahwa ia adalah Jonathan, mengaku bahwa harapan yang dia tawarkan padaku adalah semu, bahwa nyaman yang dia rasakan hanya rasa hambar daripada kehampaan, bahwa aku hanyalah pilihan atas penyesalan.

Sial lagi, sampai habis puisinya dia tak bergeming. Tapi ada satu yang berubah, basah diwajahnya tak lagi sekedar dingin. Air hujan bercampur air matanya mengalir di pipi mungilnya, dia menangis dengan tenang.

Aku tak menyia-nyiakan kesempatan, dia lengah. Aku raih kepalanya dan ku dekapkan di dada. Dia mulai sesenggukan, Ku biarkan dia disana beberapa menit, setidaknya aku berharap ada satu kalimat yang bisa dia ucapkan.

Ku tegakkan kepalanya setelah isakkannya mulai tak terdengar. Dia mulai membuka mata dengan tatapan kabur karena embun masih menutupi kacamatanya. Bibirnya gemetar kedinginan bersama tangannya yang tak lagi ku genggam. Lalu tanpa permisi aku kecup bibirnya. Tak sopan memang, adik kelas harusnya meminta izin terlebih dahulu untuk mencium kakak kelasnya. Tapi masa bodoh, aku tak lagi memikirkan apapun selain suasana romantis disana.

Dia tak berontak, beberapa detik dia masih membiarkan bibir kami bersentuhan. Sampai di hela nafas ke tujuh dia membuka mulut

"Nov, anter gw pulang."


Mytha

Perkenalan!
Awal ceritaku dengan Mytha berselang tak begitu lama setelah aku putus dengan Ervita. Sebelumnya aku memang sudah mengenal baik dia sebagai kakak kelas idaman. Gadis dengan perawakan jangkung, paras manis, rambut sebahu dan kacamata bulat. Ya, sebuah kesalahan memang. Akira Mado dalam bukunya yang berjudul The Origin of Kawaii Onee-chan berpendapat bahwa "Short Hair doesn't belong to tall girl". Dan tentu sebagai Short Hair Worshipper aku meng-iya-kan pendapat itu dengan banyak argumen yang bisa aku pertanggung jawabkan di depan Hakim Agung. Ditambah lagi dengan kacamata bulat, apa-apaan ini? Seperti penistaan terang-terangan terhadap kaum rambut pendek.

Aku dan Mytha memang jarang bercakap. Hanya sesekali berlempar senyum saat berpapasan di kantin atau saat upacara bendera. Itupun aku hanya mampu memanggil namanya dengan panggilan "kakak". Itu karena semenjak hubunganku kandas dengan Annisa tahun lalu aku memutuskan untuk tak memanggil wanita manapun dengan namanya. Rasanya membelenggu memang, seperti mencoba bernafas di dalam air. Tapi mau bagaimana lagi, kepergian annisa begitu membekas di dalam dada.

Day 1 - Selembar Kertas
Seminggu setelah teman sekelasku mengeluh gara-gara aku yang terus-menerus uring-uringan saat jam istirahat di kelas, mereka mulai mencomblangkan aku dengan siapa saja termasuk Bu Ijah, guru seni yang baru menjanda 3 tahun lalu.
Hingga di satu rabu, Hilmi teman sekelasku memberikan selembar kertas berisikan puisi. (Saat itu aku diperbantukan untuk mengurus dekorasi Majalah Dinding di Gedung Timur selama satu bulan)

Dalam hatiku "Ini anak ada akal bulus apa lagi hah?"

Awalnya tak ingin ku hiraukan isi puisinya, perasaan masa bodoh sudah terlanjur menguasai mood ku seharian ini. Mataku langsung tertuju pada siapa yang membuatnya. Tertulis dengan Italic di bagian belakang, Mytha A - XII IPA 2.

"Hah? Mytha?" Tanyaku pada Hilmi

"Yoi! Bikinin frame yak! Besok pagi langsung tempel di Mading, genti koran bola di sebelah kiri." Sahut Hilmi serasa berlalu meninggalkan kelas

"Sial!" Gerutuku dalam hati

Day 1 - 5 Menit di Neraka
Siang itu aku segera menghampiri kelas Mytha yang tak jauh dari kelasku, hanya terpisah dengan lorong dan taman-taman kecil. Memang sudah biasa aku main ke kelasnya, tapi untuk bertemu orang lain, kang rizki teman sesama penyuka musik jepang.