Hai, Nona!
Aku ingin memintamu untuk mendengarkan ceritaku, tapi aku takut akan segugup apa aku kali ini. Jadi, aku paksa kamu membaca ceritaku, entah akan sepanjang apa.
Maaf harus berhutang 1$ lagi. Meminta kamu mendengar kan pernyataanku.
Aku tahu kamu sudah tak mau membahas ini, akupun sama.
Tapi jujur, siang ini aku merasa ada yang belum selesai diantara kita.
Memang tidak seperti jumat malam kemarin, masalahnya ada di aku dan kamu.
Kali ini masalnya ada pada aku dengan diriku sendiri, tapi tentang kamu.
Dan yang aku tahu, apa yang ingin aku utarakan bukan sesuatu yang bisa dibahas di kantor. Tapi aku juga sudah tak boleh lagi mengajakmu keluar atau meminta untuk datang ke tempatmu lagi (yang menurutku sudah tidak ada lagi kesempatan kedua; untuk kali ini).
Tidak banyak yang bisa ku ceritakan padamu kemarin. Kalau diibaratkan, kamu bacakan 1 Seri Buku Harry Potter, sedang aku hanya bacakan 1 sajak Hamsad Rangkuti. Bukannya aku enggan, aku hanya belum cukup pintar untuk menceritakan dengan cara apa dan darimana aku harus memulai. Tapi aku bersyukur, dari banyak ceritamu yang kudengarkan; ada yang menggugah hatiku; ada yang memberi kekuatan aku untuk bangkit; ada yang menerangkan cara berfikirku yang kelam.
Kau tahu, aku harus mengakui bahwa aku masih membenci matamu yang cantik itu. Menatapnya membuatku melihat jelas kebodohanku. Kalau saja aku boleh memilih, aku lebih baik bodoh dalam menulis cerita fiksi daripada bodoh dalam bersikap. Tapi Tuhan punya cara sendiri; aku harus bersyukur bahwa melalui drama kemarin aku bisa mengenal kamu dan mengenal diriku sendiri.
Tapi boleh lah aku meminta potret matamu untuk ku pandang sekali-kali,sebagai pengingat bahwa bidadari itu nyata. *ini gombal
Oh iya, aku juga harus meminta maaf. Tak seharusnya aku yang menutup pagar rumahmu sebelum berpulang. Tapi sungguh, tangan dan kakiku seperti bergerak dengan maunya sendiri. Mungkin ia enggan untuk melihat kamu lagi dan enggan untuk membuat kamu melihat kebodohanku yang lain. Hahaha
Terlebih, kamu harus kembali ke kamar untuk segera mandi. Aroma tubuhmu semakin siang semakin menyengat di hidung, aku takut tanaman di halaman rumahmu mati karenamu.
Ada yang lucu di hari kemarin, selekas pamit dari rumahmu aku salah ambil rute. Alih-alih ingin cepat sampai, aku malah terjebak macet parah. Aku tak tahu kalau daan mogot sedang ada perbaikan jalan separuh jalur.
Tapi bagian lucunya bukan itu, pada sepertiga perjalanan pulang aku seperti di tersambar petir. Dadaku tetiba sesak, mataku sembap, tanganku gemetar. Beberapa saat aku berfikir "ah munkin gejala demam lagi" sampai aku menyadari sesuatu membasahi tanki motorku.
Sial! Air mataku berjatuhan! Ia memaksaku untuk berhenti sejenak di pinggiran jalan tepat di depan halte sebelum Fly Over roxy.
Sempat berfikir untuk kembali, tapi aku ingat bahwa aku harus segera ke kantor. Dan sekalipun orang kantor mau menunggu, belum tentu kamu mau menerimaku untuk duduk lagi di ruang tamu.
Di kemelutku, tetiba aku tersadar oleh dua lelaki yang sedang duduk dihalte. Salah seorang dari mereka bercakap "Eh nanti cari mushola dulu ya, gw belom shalat". Aku tebak mereka janjian pergi dengan bertemu di halte ini, sedang salah seorang belum shalat.
"Oh iya, aku harus shalat! Allah akan beri jawaban untuk segala tanyaku!" fikirku, lalu cabut pergi lagi.
Kamu benar bahwa perihal kesembuhan aku telah meminta dan mencari pada hal yang salah. Aku tulis kembali kalimatmu pada Whatsapp Chat "Tapi aku selalu mengingatkan utk banyak berdoa. Iya ga?"
Iya, aku lupa untuk meminta kesembuhan pada yang maha menyembuhkan. Allah Azza wa Jalla Asy-Syafi, Sang Maha Menyembuhkan segala penyakit lahir dan batin. Aku tak bisa memaksa hati ini untuk sembuh, apalagi meminta orang lain untuk menyembuhkan.
Tapi sekali lagi sial, pagi tadi setelah terbangun dari tidur pulasku, tetiba teringat lagi dan aku menangis lagi, cukup lama.
Gila, sudah lama aku ngga nangis. Eh sekalinya nangis karena masalah ngga lucu kayak ginian. hahahahaha
Sial, setelah kemarin aku makin banyak bicara. Payah! Jangan sampai aku harus kembali jadi diriku 11 Tahun yang lalu.
Perihal masalahku dengan diriku sendiri, aku akan coba berdamai. Kufikir tidak baik harus berkelahi dengan egoku sendiri. Aku harus mengalah, aku harus mencair. Aku akan memeluknya perlahan, menjadikan ia teman.
Aku tak bisa membuang dia, aku harus berdampingan dengan egoku. Hanya saja aku yang harus mengambil alih kontrol atas diriku, sekali lagi.
Sayangnya, aku tak bisa mereset kita. Tapi bolehlah aku memaksa untuk berdamai, ya. *Mengulurkan tangan
Maras Rena Nyaman Ate: Catatan Petualangan di Sumbawa
-
Kata Ibu, saya lahir di bulan Ramadhan. Saat bulan buntar, ketika bulan
bersinar dengan begitu indahnya. Itu pula yang membuat, 'Wulandari'
tersemat di ...
0 comment:
Posting Komentar