Minggu, 22 Mei 2011

Mesin Pembungkam Pers


Reporters Sans Frontiers, atau organisasi Jurnalis Tanpa Batas, beberapa waktu yang lalu mempublikasikan artikel yang menganalisa kebebasan pers di tahun 2010. Dalam artikel berjudul “World Press Freedom Day,” RSF menyebutkan bahwa tahun 2010 terdapat 38 negara yang masuk dalam kategori “press predators.” Berikut adalah sedikit terjemahan dari analisa tersebut.
Dalam beberapa bulan terakhir di tahun 2011, peristiwa-peristiwa tragis terjadi di Afrika Utara dan Timur Tengah, yaitu jatuhnya rezim pembungkam pers. Dimulai dengan Presiden Zine el-Abidine Ben Ali dari Tunisia yang jatuh pada 14 Januari. Jatuhnya Presiden Ben Ali menyebabkan Tunisia memiliki kemampuan untuk membangun demokrasi.
Kejatuhan juga dialami Ali Abdallah Saleh dari Yaman, yang mengadakan sweeping terhadap pemrotes. Dan juga Bashar al-Assad dari Syria yang meneror aksi demokrasi warganya. Kemudian mengancam Muamar Gadafi, sang pemimpin revolusi, yang juga memimpin gerakan pembungkaman terhadap rakyatnya. Di Bahrin, pemrotes menyerang Raja Ben Aissa Al-Khalifa, yang juga bertanggung jawab atas kematian empat aktifis, termasuk pendiri koran oposisi. (Meski Raja Ben Aissa bisa bertahan, namun ia kehilangan kesempatan menyelenggarakan seri pembuka F1. Padahal Bahrain telah menginvestasikan jutaan dollar dalam bisnis ini – pen.)
Telah terbukti dalam banyak kasus bahwa kebebasan berekspresi merupakan salah satu tenaga pendorong perubahan rejim. Di saat yang sama, kebebasan berekspresi juga menjadi salah satu pencapaian dalam masa penjungkalan rejim. Di Arab, perubahan rejim dilakukan karena terjadinya pembatasan terhadap jurnalis luar negeri, penangkapan, deportasi, penolakan akses, intimidasi dan kekerasan. Pembunuhan terhadap pekerja media tidak menghalangi mereka untuk tetap berjuang di empat negara – Syria, Libia, Bahrain dan Yaman.
Mohamed Al-Nabous di tembak oleh sniper pemerintah di Benghazi pada 19 Maret, dan dua jurnalis menjadi target kekuatan berkuasa di Yaman pada 18 Maret. Terdapat lebih dari 30 kasus penahanan di Libia dan angka yang hampir sama untuk pendeportasian. Di Syria, Bahrain dan Yaman, kekuatan otoritas memaksa media menjauh dari lokasi bentrokan dengan demonstran. Padahal media memiliki peran penting ketika terjadi konflik. Kontrol terhadap informasi merupakan cara rejim berkuasa untuk melanggengkan kekuasaan.
Jurnalis yang melakukan tugas di lokasi bentrokan menghadapi resiko besar untuk menjadi korban. Kebutuhan untuk melaporkan dari garis terdepan juga berarti terdepan dalam menanggung resiko. Dan yang paling beresiko adalah wartawan foto. Lucas Melbrouk Dolega dari Jerman terkena granat gas air mata di Tunisia pada 17 Januari. Ia meninggal tiga hari kemudian. Tim Hetherington dari Inggris dan Chris Hendros dari Amerika Serikat meninggal terkena granat di Misrata – Libya, pada 20 April.
Di Asia, pergantian kepemimpinan tak mengubah sifat represifnya. Pergantian kepemimpinan di Burma tetap menyisakan 14 wartawan di ruang tahanan, dan di China masih ada 18 netizen yang dipenjara. Di kedua negara tersebut, predator hanya berpindah tangan dari satu rejim ke rejim berikutnya. Di China, masih ada 30 orang lainnya yang dikucilkan. Di Ajarbaijan, aktifis FB dipenjara dan reporter dari media oposisi diculik dan dipenjara. Internet diblokir.
Di Eritrea, Turkmenistan dan Korea Utara, rejim otoriter masih berkuasa. Kekejaman dan pemusatan kekuasaan menghilangkan ruang untuk kebebasan. Di Iran, pemerintah berkuasa mengadili politikus oposisi, jurnalis dan aktifis HAM. 200 wartawan dan blogger telah ditangkap sejak Juni 2009, 40 masih ditahan dan 100-an lainnya telah meninggalkan negara tersebut. Diperkirakan 3.000 jurnalis menganggur karena media tempat mereka bekerja telah ditutup.
Di Honduras, Miguel Facussé Barjum, seorang tuan
 tanah, dengan bebas mengganggu media oposisi sejak Juni 2009. Di Pakistan, 14 jurnalis meninggal dalam kurun setahun. Di Meksiko, Pakistan dan Filipina, kebebasan jurnalis terkendala oleh “kekebalan” geng kejahatan. Di Turki, persoalan yang dihadapi jurnalis tak hanya hukum yang represif, namun juga kurangnya pemahaman terhadap jurnalsime investigasi. Ahmet Sik dan Nedim Sener, keduanya jurnalis investigasi dalam kasus konspirasi Ergenekon dan fungsi kepolisian, dipenjarakan.
Di Kurdistan, Irak, kekuatan dua partai yang berkuasa melakukan kekerasan terhadap demonstran dan jurnalis. Di Vietnam, semakin banyak jurnalis dan netizen yang dituntut. Kekuatan internasional juga berdiam diri menanggapi kondisi di Ajarbaijan, Vietnam, Eritrea dan Asia Tengah (terutama Turkmenistan dan Uzbekistan).
Kami mendesak agar demokratisasi tidak disembunyikan dibalik kepentingan komersial dan geopolitik.

(Terjemahan ini didedikasikan untuk perjuangan aktifis pro demokrasi, aktifis kebebasan pers dan para jurnalis - pen)

0 comment:

Posting Komentar