Minggu, 22 Mei 2011

Mari Menelusuri Museum Kebangkitan Nasional


Hari ini, Jumat, 0 Mei 2011, Museum Kebangkitan Nasional dibuka gratis untuk umum dalam rangka peringatan hari Kebangkitan Nasional. Pencanangan tanggal 20 Mei sebagai hari Kebangkitan Nasional sebenarnya baru dimulai sejak tahun 1948, tetapi makna yang ingin digali dalam peringatan ini adalah kesadaran para pemuda yang mendapatkan kesempatan belajar di STOVIA untuk memulai berorganisasi dengan mendirikan Boedi Oetomo pada tanggal 20 Mei 1908.
Kalau sekedar datang menelusuri museum ini mungkin akan terasa suram dan tidak terlalu bermakna, tetapi ketika kita mencoba untuk memasuki sejarah yang ditampungnya akan terasa betapa berharganya museum ini.
Satu hal menarik bagi saya adalah pertemuan pertama saya dengan Rohanna Kuddus (1884 -1972) di museum ini. Sebelum mengunjungi museum ini saya tidak mengenal wartawan perempuan pertama dari Indonesia ini. Menelusuri kisahnya di internet sebelum kembali lagi dan berkenalan lebih lanjut dengannya membuat museum ini lebih menarik lagi. Museum Kebangkitan Nasional tidak hanya mempertemukan saya dengan R.A. Kartini, Raden Dewi Sartika, maupun Maria Walanda Maramis yang sudah saya kenali namanya, melainkan juga dengan sesosok perempuan Minang yang juga berjuang untuk emansipasi wanita, dan dengan berani menjalani kehidupan yang pada saat itu belum dianggap wajar bagi wanita.
Selain Rohanna Kuddus, saya juga bertemu sosok wanita dokter pertama dari Indonesia yang berasal dari Minahasa. Ia adalah Marie Thomas yang berasal dari Amurang, Sulawesi Utara. Sedikit berbeda antara tahun kelulusan yang tertulis di museum (1922) dengan yang terbaca di internet (1896), tetapi kenyataan bahwa seorang gadis dari desa di luar Pulau Jawa bisa menyelesaikan pendidikan dokter merupakan suatu informasi yang berharga bagi saya. Informasi mengenai tahun kelulusannya sebenarnya sangat berarti untuk mengetahui lama pendidikan yang dilaluinya. Apakah ia sudah termasuk dalam pendidikan kedokteran yang tujuh tahun atau belum. Sejarah Indonesia ternyata menyimpan masih banyak hal menarik untuk ditelusuri. Peran Maria Walanda Maramis dengan organisasi PIKAT (Percintaan Ibu Kepada Anak Turunannya) yang berada di balik kesuksesan dokter wanita pertama dari Indonesia tersebut membuat saya lebih mengenal sosok Maria Walanda Maramis.
R.A. Kartini nampaknya jauh lebih dikenal dari para pejuang emansipasi wanita lainnya itu. Hal itu tentunya disebabkan oleh kumpulan tulisannya yang dibukukan dan diterbitkan tujuh tahun setelah Kartini meninggal (1911) "Door Duisternis tot Licht" atau "Habis Gelap Terbitlah Terang". Kekuatan pemikirannya yang tertuang dalam surat-suratnya memang lebih menarik daripada hasil nyata yang dilakukannya. Tetapi tampaknya Kartini juga menjadi sumber inspirasi bagi perkembangan pendidikan wanita yang terjadi zaman itu.
Menelusuri Museum Kebangkitan Nasional kita bisa merasakan betapa pentingnya fungsi media massa sebagai pendamping dalam pendidikan bagi kebangkitan anak bangsa. Dr. Wahidin Soedirohusodo yang menarik perhatian R. Soetomo dan teman-temannya untuk mendirikan organisasi Boedi Oetomo banyak menggunakan media massa dalam menggulirkan Studie Fond yang gunanya untuk membantu lebih banyak lagi anak pribumi untuk masuk ke pendidikan yang lebih tinggi. Belum lagi Klub Kartini yang didirikannya untuk meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat. Demikian pula penerbitan Goero Desa yang banyak memberikan bimbingan dalam hal kesehatan, sementara penerbitan Ratna Doemilah memberikan bimbingan dalam hal pendidikan.
Mereka yang tidak berhasil menyelesaikan pendidikannya di STOVIA seperti Suwardi Suryaningrat (yang lebih dikenal sebagai Ki Hajar Dewantara) dan Raden Mas Tirto Adhi Soerjo ternyata tetap cemerlang dalam bidang lain yang mereka pilih. Ki Hajar Dewantara kemudian cemerlang dalam bidang pendidikan, sedangkan R.M. Tirto Adhi Soerjo lebih sukses dalam hal penerbitan surat kabar, termasuk surat kabar pertama yang berbahasa Melayu.
Tahun ini dalam rangka peringatan Hari Kebangkitan Nasional, diadakan pameran Sarekat Dagang Islam yang sudah hadir sejak 1905, dan setelah kehadiran Boedi Oetomo kemudian mereka mulai memasuki dunia politik dan pada tahun 1912 menjadi Sarekat Islam.
Makna kebangkitan nasional yang terbaca terutama terletak pada kemampuan generasi muda bangsa memasuki perjuangan secara intelektual, tidak lagi sekedar mengandalkan tenaga fisik seperti perjuangan lokal sebelumnya. Apakah jarak 103 tahun yang memisahkan generasi ini telah membantu bertumbuhnya semangat kebangkitan nasional? Ataukah justru kemunduran yang terjadi? Mari menelusuri Museum Kebangkitan Nasional dan merefleksikan bagaimana generasi terdahulu membangkitkan inspirasi berbangsa dari lokal ke skala nasional dalam Sumpah Pemuda 1928.

0 comment:

Posting Komentar