Rabu, 25 Mei 2011

Mendengar Cianjuran, Membaca Cianjur (1/10)


Suasana latihan Cianjuran sebelum acara Panglawungan di gedung Dewan Kesenian Cianjur
Cianjur merupakan salah satu kabupaten di Jawa Barat. Tidak seperti kabupaten lainnya, Cianjur memiliki kesenian tradisional paling banyak. Dari 120 kesenian tradisional Sunda, 76 diantaranya berasal dari Cianjur. Salah satu kesenian yang cukup mencolok adalah Cianjuran.
Istilah Cianjuran sebenarnya dikenal sejak 1930, dan dikukuhkan pada 1962 dalam ‘Musyawarah Tembang Sunda Sa Pasundan’ di Bandung. Semenjak saat itu, istilah Cianjuran menjadi sangat populer terutama di Jawa Barat. Meski Cianjuran lahir di Cianjur, namun secara tidak langsung telah menjadi milik masyarakat Sunda.
Cianjuran disebut pula Tembang Sunda, atau lebih lengkap disebut Tembang Sunda Cianjuran. Kata ‘Tembang’ menunjukan jenis kesenian vokal, sedangkan ‘Sunda’ merujuk pada kepemilikan kesenian tersebut, sementara ‘Cianjuran’ ditujukan pada gaya daerah asal kesenian ini bermula. Pendek kata, Cianjuran merupakan seni tradisi Sunda yang berasal dari Cianjur.
Cianjuran  menyuguhkan lagu-laguan yang dilantunkan oleh juru mamaos (penyanyi) serta iringan musik oleh juru pirig/ pamirig. Pamirig adalah istilah untuk  pemain waditra (instrumen/ alat musik tradisional). Alunan musik berasal dari alat musik tradisional  khas Sunda. Kesenian ini dalam Karawitan dikenal dengan istilah sekar gending (vokal dan instrumen).
Cianjuran tergolong kedalam tembang, yang berarti irama tidak terikat pada wiletan (ketukan) atau dalam istilah karawitan disebut sekar irama merdika. “namun bebas disini bukan berarti tanpa aturan”, ungkap Nani Supriatna, salah seorang praktisi Cianjuran. Ia menjelaskan dalam Cianjuran terdapat ugeran (aturan) yang mesti dipenuhi.
Tentu saja aturan ini sudah baku, dan tidak bisa dirombak. Adapun beberapa aturan itu, adalah patetan, narangtang ku kacapi, dan gelik suling. Bila aturan ini tidak dipenuhi, Nani dengan tegas menyebutkan itu bukan Cianjuran.
Teks Oleh Iqbal Tawakal
Foto Dokumen Katumbiri

0 comment:

Posting Komentar