Rabu, 01 Juni 2011

Makalah_Jual beli ijon secara syar'i

I. PENDAHULUAN
Di dalam kehidupan manusia, jual beli merupakan kebutuhan dhoruri yaitu kebutuhan yang tidak mungkin ditinggalkan, sehingga manusia tidak dapat hidup tanpa kegiatan jual beli. Jual beli juga merupakan sarana tolong menolong antara sesama manusia, sehingga Islam menetapkan kebolehannya sebagaimana dalam banyak keterangan al-Qur’an dan Hadits Nabi, diantaranya, yaitu :
وَاَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَمَ الرِّبَا (البقراه : 275)
“Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”.[1]
Sejalan dengan perkembangan zaman, persoalan jual beli yang terjadi dalam masyarakat semakin meluas, salah satunya adalah adanya praktek jual beli ijon (jual beli tanaman, buah atau biji yang belum siap untuk di panen). Praktek ini bukan hanya terjadi pada saat ini, akan tetapi sudah ada sejak zaman Rasulullah.
Permasalahan ijin ini secara hukum sudah tertera jelas dalilnya, akan tetapi permasalahan ini tetap dibahas oleh para fuqaha mengingat di dalam jual beli ijon sendiri, Ada terdapat banyak permasalahan baik dari perluasan hukum yang sudah ada maupun adanya ijon dalam bentuk lain dari ijon pada zaman Nabi.
Jual beli ijon ini masih sangat kerap kita temui pada masyarakat pedesaan. Praktek seperti ini lebih banyak berlaku pada buah-buahan, untuk biji dan tanaman lain ada, akan tetapi tidak sebanyak pada buah-buahan.
II. PEMBAHASAN
a. Pengertian
Ijon atau dalam bahasa Arab dinamakan mukhadlaroh, yaitu memperjual belikan buah-buahan atau biji-bijian yang masih hijau.[2] Atau dalam buku lain dinamakan al-Muhaqalah yaitu menjual hasil pertanian sebelum tampak atau menjualnya ketika masih kecil.
Dari pengertian di atas tampak adanya pembedaan antara menjual buah atau biji-bijian yang masih di dahan tetapi sudah tampak wujud baiknya dan menjual buah atau biji-bijian yang belum dapat dipastikan kebaikannya karena belum kelihatan secara jelas wujud matang atau kerasnya.
b. Pendapat Para Fuqaha
Sebelum madzhab sepakat bahwasanya jual beli buah-buahan atau hasil pertanian yang masih hijau, belum nyata baiknya dan belum dapat dimakan adalah salah satu diantara barang-barang yang terlarang untuk diperjual-belikan. Hal ini merujuk pada Hadits Nabi yang disampaikan oleh Anas ra :
نَهى رَسُوْلُ اللهِ ص. م عَنِِِ الْمُحَا قَلَةِ وَاْلمُخَا ضَرَةِ وَاْلمُلاَ مَسَةِ وَاْلمُنَا بَزَةِ وَاْلمُزَابَنَةِ (رواه البخارى)
“Rasulullah Saw melarang muhaqalah, mukhadlarah (ijonan), mulamasah, munabazah, dan muzabanah”. (HR. Bukhari)
Ibnu Umar juga memberitakan :
نَهى رَسُوْلُ اللهِ ص. م عَنْ بَيْعَ الثِّمَارِحَتَّى يَبْدُ وَصَلاَ حُهَانَهَىالبَا ئِعَ وَاْلمُبْتَاعَ (متفق عليه)
“Rasulullah Saw telah melarang buah-buahan sebelum nyata jadinya. Ia larang penjual dan pembeli ”.[3] (Muttafaq alaih)
Para fuqaha berbeda pendapat mengenai jual beli di atas pohon dan hasil pertanian di dalam bumi. Hal ini karena adanya kemungkinan bentuk ijon yang didasarkan pada adanya perjanjian tertentu sebelum akad.
Imam Abu Hanifah atau fuqaha Hanafiyah membedakan menjadi tiga alternatif hukum sebagai berikut :
1. Jika akadnya mensyaratkan harus di petik maka sah dan pihak pembeli wajib segera memetiknya sesaat setelah berlangsungnya akad, kecuali ada izin dari pihak penjual.
2. Jika akadnya tidak disertai persyaratan apapun, maka boleh.
3. Jika akadnya mempersyaratkan buah tersebut tidak dipetik (tetap dipanen) sampai masak-masak, maka akadnya fasad.[4]
Sedang para ulama berpendapat bahwa mereka membolehkan menjualnya sebelum bercahaya dengan syarat dipetik. Hal ini didasarkan pada hadits nabi yang melarang menjual buah-buahan sehingga tampak kebaikannya. Para ulama tidak mengartikan larangan tersebut kepada kemutlakannya, yakni larangan menjual beli sebelum bercahaya. Kebanyakan ulama malah berpendapat bahwa makna larangan tersebut adalah menjualnya dengan syarat tetap di pohon hingga bercahaya.[5]
Jumhur (Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah) berpendapat, jika buah tersebut belum layak petik, maka apabila disyaratkan harus segera dipetik sah. Karena menurut mereka, sesungguhnya yang menjadi halangan keabsahannya adalah gugurnya buah atau ada serangan hama. Kekhawatiran seperti ini tidak terjadi jika langsung dipetik. Sedang jual beli yang belum pantas (masih hijau) secara mutlak tanpa persyaratan apapun adalah batal.[6]
Pendapat-pendapat ini berlaku pula untuk tanaman lain yang diperjual belikan dalam bentuk ijon, seperti halnya yang biasa terjadi di masyarakat kita yaitu penjualan padi yang belum nyata keras dan dipetik atau tetap dipohon, kiranya sama-sama berpangkal pada prinsip menjauhi kesamaran dengan segala akibat buruknya. Namun analisa hukumnya berbeda.[7]
Menurut hemat penulis, penulis sepakat dengan jual beli sistem ijon, dengan alasan bahwa tidak semua yang masih samar itu terlarang. Sebagian barang ada yang tidak dapat dilepaskan dari kesamaran.
c. Hikmah Larangan Menjual Buah Yang Masih Hijau
Latar belakang timbulnya larangan menjual buah yang belum nyata baiknya adalah adanya hadits yang diriwayatkan dari Zaid bin Tsabil r.a “adalah di masa Rasulullah Saw, manusia menjual beli buah-buahan sebelum tampak kebaikannya. Apabila manusia telah bersungguh-sungguh dan tiba saatnya pemutusan perkara mereka, maka berkatalah si pembeli “masa telah menimpa buah-buahan, telah menimpanya apa yang merusakannya”. Mereka menyebutkan cacat-cacat berupa kotoran dan penyakit ketika mereka semakin banyak bertengkar dihadapan Nabi Saw, maka beliau pun berkata “janganlah kamu menjual kurma sehingga tampak kebaikannya (matang)”.[8]
Apabila kita perhatikan latar belakang larangan tersebut, maka hikmah yang dapat kita ambil adalah :
1. Mencegah timbulnya pertengkaran (mukhashamah) akibat kesamaran.
2. Melindungi pihak pembeli, jangan sampai menderita kerugian akibat pembelian buah-buahan yang rusak sebelum matang.
3. Memelihara pihak penjual jangan sampai memakan harta orang lain dengan cara yang bathil, sehubungan dengan pesan Rasulullah Saw :
لَوْبِعْتَ مِنْ اَحِيْكَ ثَمَرًا فَأَ صَابَتْهُ حَائِجَةٌ, فَلاَ يَحِلُّ لَكَ أَنْ تَأْ خُذَ مِنْهُ شَيْأً, بِمَا تَاءْ خُذُ مَالَ اضَحِيْكَ بِغَيْرِ حَقٍّ ؟ (رواه مسلم)
“Jika engkau jual kepada saudaramu buah lalu ditimpa bahaya, maka tidak boleh engkau ambil daripadanya sesuatu. Dengan jalan apa engkau mengambil harta saudaramu degan tidak benar?”. (HR. Muslim)
4. Menghindarkan penyesalan dan kekecewaan pihak penjual jika ternyata buah muda yang di jual dengan harga murah itu memberikan keuntungan besar kepada pembeli setelah buah itu matang dengan sempurna.[9]
Hukum yang telah ditetapkan oleh fuqaha ini, tidak berlaku untuk buah atau tanaman yang memang bisa dimanfaatkan atau di makan ketika masih hijau seperti misalnya : jagung, mangga, pepaya, dan tanaman lain yag masanya di petik sesudah matang, tetapi bisa juga di petik waktu muda untuk dinikmati dengan cara-cara tertentu. Jika buah ini memang dimaksudkan dengan jelas untuk di makan selagi muda, tidak mengandung kesamaran (gharar) tidak ada unsur penipuan yang mengandung pertengkaran dikemudian hari, serta tidak mengakibatkan resiko, sehingga tidak memakan harta orang lain dengan cara yang bathil, hukumnya sama dengan buah yang sudah nampak baiknya.
III. KESIMPULAN
Pada intinya penjual ijon dalam seluruh madzhab adalah tidak diperbolehkan, karena pada dasarnya permasalahan ini sudah jelas nass hukum yang berupa hadits Rasulullah Saw. Hal ini karena permasalahan jual beli ijon sudah ada sejak zaman Rasulullah dan bukan masalah kontemporer meskipun prakteknya masih terus berlaku sampai sekarang.
Perbedaan pendapat yang terjadi pada para fuqaha, sebenarnya berpangkal pada prinsip yang sama, yaitu sama-sama menjauhi kesamaran dengan segala akibat buruknya. Namun analisa hukumnya yang berbeda.
Abu Hanifah atau Imam hanafiyah membolehkan menjual buah-buahan yang masih hijau dengan syarat dipetik, dan tidak membolehkan yang tetap berada di pohon dengan alasan karena penjualan mengharuskan diserahkan.
Sedang jumhur dan ulama membolehkan dengan syarat dipetik dengan alasan menghilangkan dari adanya kerusakan atau adanya serangan hama yang biasanya terjadi pada buah-buahan sebelum buah bercahaya. Pada intinya pelarangan jual beli ijon yang tetap berada di pohon adalah menghindarkan kesamaran (gharar), menghilangkan penipuan yang mengandung pertengkaran dikemudian hari, serta tidak mengakibatkan resiko sehingga terhindar dari memakan harta orang lain dengan cara bathil.

DAFTAR PUSTAKA
A. Mas’adi Ghufron, Drs. M.Ag., Fiqh Muamalah Kontekstual, Rajawali Pers, Jakarta, 2002.
Ali Hasan M., Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam (Fiqh Muamalah), Rajawali Pres, Jakarta, 2003.
Ibnu Rusyd, Terjemah Bidayatul Mujtahid, CV. As-Sifa, Semarang, 1990.
Ya’qub Hamzah Dr. H; Kode Etik Dagang Menurut Islam (Pola Pembinaan Dalam Hidup Berekonomi), CV. Diponegoro, Bandung, 1992.
Syekh Muhammad Yusuf Qardhawi, Halal dan Haram dalam Islam, Bina Ilmu, Yogyakarta, 1993.
M. Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Madzhab, Lentera, Jakarta, 2001.


[1] M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam (Fiqh Muamalah), Rajawali Pres, Jakarta, 2003, hlm. 115
[2] Hamzah Ya’qub, Kode Etik Dagang Menurut Islam (Pola Pembinaan Dalam Hidup Berekonomi), CV. Diponegoro, Bandung, 1992, hlm. 124
[3] Ibid, hlm. 124
[4] Ghufron A. Mas’adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, Rajawali Pers, Jakarta, 2002, hlm. 139
[5] Ibnu Rusyd, Terjemah Bidayatul Mujtahid, CV. As-Sifa, Semarang, 1990, hlm. 52
[6] Ghufron A. Mas’adi, op. cit, hlm. 140
[7] Hamzah Ya’qub, op. cit, hlm. 126
[8] Ibnu Rusyd, op. cit, hlm. 54
[9] Hamzah Ya’qub, op. cit, hlm. 127

0 comment:

Posting Komentar