Rabu, 01 Juni 2011

Ibnu Rusyd

 
A. Biografi Ibnu Rusyd
Abul Wali Muhammad bin Ahmad bin Rusyd lahir di Cordova tahun 520 H. Ia berasal dari keluarga besar yang terkenal dengan keutamaannya dan mempunyai kedudukan tinggi di Andalusia, Spanyol. Ayahnya adalah seorang hakim dan neneknya yang terkenal dengan sebutan Ibnu Rusyd -Nenek- (ad-Djadd) adalah kepala hakim di Cordova.
Pada mulanya Ibnu Rusyd mendapat kedudukan yang baik dari Khalifah Abu Yusuf al-Mansur (masa kekuasaannya 1184-1194 M), sehingga pada waktu itu Ibnu Rusyd menjadi raja semua pikiran, tidak ada pendapat kecuali pendapatnya, dan tidak ada kata-kata kecuali kata-katanya. Akan tetapi, keadaan tersebut segera berubah karena ia di-persona non grata-kan oleh al-Manshur dan dikurung di suatu kampung Yahudi bersama Alisanah sebagai akibat fitnahan dan tuduhan telah keluar dari Islam yang dilancarkan oleh golongan penentang filsafat, yaitu para fuqaha masanya.
Setelah beberapa orang terkemuka dapat meyakinkan al-Manshur tentang kebersihan diri Ibnu Rusyd dari fitnahan dan tuduhan tersebut, baru ia dibebaskan. Akan tetapi, tidak lama kemudian fitnahan dan tuduhan dilemparkan lagi pada dirinya, dan termakan pula. Sebagai akibatnya, kali ini ia diasingkan ke Negeri Maghribi (Maroko), buku-buku karangannya dibakar dan ilmu filsafat tidak boleh lagi dipelajari. Sejak saat itu murid-muridnya bubar dan tidak berani lagi menyebut-nyebut namanya.[1]
B. Karya-karya Ibnu Rusyd
Karya tulis Ibnu Rusyd yang masih dapat kita temukan adalah sebagai berikut :
1. Fasl al-Maqal fi ma bain al-Hikmat wa al-Syari’ah min al-Ittishal, berisikan korelasi antara agama dan filsafat.
2. Al-Kasyf ‘an Manahij al-Adillat fi ‘Aqa’id al-Millat, berisikan kritik terhadap metode para ahli ilmu kalam dan sufi.
3. Tahafut al-Tahafut, berisikan kritikan terhadap karya al-Ghazali yang berjudul Tahafut al-Falasifat
4. Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid, berisikan uraian-uraian di bidang fiqh.[2]
C. Pemikiran Ibnu Rusyd
1. Faktor Logika
Ibnu Rusyd adalah seorang filsuf yang lebih mementingkan akal daripada perasaan (emosi dan sentimen). Segala persoalan agama Islam baginya harus dipecahkan dengan kekuatan akal pikiran.
Di dalam kitabnya, Fashul Maqal……, Ibnu Ruysd menandaskan bahwa logika harus dipakai sebagai dasar segala penilaian tentang kebenaran. Dalam mempelajari agama, orang harus belajar memikirkannya secara logika. Akan tetapi, di samping mementingkan logika itu, Ibnu Rusyd juga mengkritik pada kelemahan akal manusia sendiri dalam memecahkan masalah yang gaib dan aneh yang berhubungan dengan agama.[3]
Mengenai tujuan agama sendiri, Ibnu Rusyd mengatakan bahwa pokok tujuan syariat Islam yang sebenarnya ialah pengetahuan yang benar dan amal perbuatan yang benar (al-ilmulhaq wal-amalul-haq).
Mengenai pengetahuan, menurut Ibnu Rusyd maksudnya untuk mengetahui dan mengerti tentang adanya Allah Ta’ala serta segala alam maujudat ini pada hakikatnya yang sebenarnya memaklumi dengan sebenarnya apa maksud syariat itu, dan mengerti pula apa sebenarnya yang dihendaki dengan pengertian kebahagiaan di akhirat (surga) dan kecelakaan di akhirat (neraka).
Maksud amal yang benar adalah mengerjakan amal perbuatan yang memberikan faedah kebahagiaan dan menjauhkan pekerjaan-pekerjaan yang akan mengakibatkan penderitaan. Mengetahui tentang amal perbuatan seperti inilah yang dinamakannya ilmu yang praktis (al-ilmul-amaliah).[4]
2. Filsafat Ibnu Rusyd
Filsafat Ibnu Rusyd sangat menggemparkan dan mempengaruhi alam pikiran dunia pada waktu itu. Di dunia Islam hanya berkat kekuatan ahli sunnah yang telah dibentengi oleh al-Asy’ari dan al-Ghazali saja filsafat Ibnu Rusyd tidak dapat mempengaruhi dunia pikiran pada waktu itu. Akan tetapi, di Eropa ternyata pikiran teologi Kristen Ortodoks, Agustinisme, dan ulama-ulama skolastik Latin tidak dapat mempertahankan diri dari pengaruh “Averroisme” ini. Ternyata bagaimana banyaknya bentuk yang timbul dalam periode skolastik tinggi (1200-1300) kelak, setelah pendapat-pendapat Ibnu Rusyd dengan Aristoteles membanjiri alam pikiran Eropa.[5]
Yang terpenting di antara problem-problem filsafat Ibnu Rusyd yang sangat menarik perhatian umum ialah :
a. Tentang pengetahuan Tuhan terhadap soal-soal Juziyat
Ibnu Rusyd mengemukakan pendapat Aristoteles yang sangat disetujuinya. Aristoteles berpendapat bahwa Tuhan tidaklah mengetahui soal-soal juziyat. Halnya sama seperti seorang kepala negara yang tidak mengetahui soal-soal kecil di daerahnya.
Pendapat Aristoteles itu didasarkan atas suatu argumen sebagai berikut: Yang menggerakkan itu, yakni Tuhan al-Mukharrik, merupakan akal yang murni, bahkan merupakan akal yang setinggi-tingginya. Oleh karena itu, pengetahuan dari akal yang tinggi itu haruslah merupakan pengetahuan yang tertinggi pula agar ada persesuaian antara yang mengetahui dan yang diketahui. Dan karena itu pula tidak mungkin Tuhan mengetahui selain zat-Nya sendiri. Sebab tidak ada suatu zat lain yang sama luhurnya dengan zat Tuhan.
Sesuatu yang diketahui Tuhan menjadi sebab untuk adanya pengetahuan Tuhan. Jadi, kalau Tuhan mengetahui pula hal-hal yang kecil-kecil (juziyat), maka itu berarti bahwa pengetahuan Tuhan itu disebabkan oleh hal-hal yang kurang sempurna.[6]
b. Tentang terjadinya alam maujudat dan perbuatannya
Ibnu Rusyd yang menarik perhatian orang ialah : Bagaimanakah terjadinya alam maujudat ini dan amal perbuatannya?
Bagi golongan agama jawabannya sudah jelas. Mereka mengatakan bahwa semua itu adalah ciptaan Tuhan. Semua benda atau peristiwa, baik besar ataupun kecil, Tuhanlah yang menciptakannya dan memeliharanya (rabbil ‘alamin), setiap saat tak pernah lupa dan tak pernah lalai.
Sebaliknya, bagi golongan filsafat menjawab persoalan itu harus ditinjau dari dengan akal pikiran. Di antara mereka ada yang menyimpulkan bahwa materi itu azali, tanpa permulaan terjadinya. Dan perubahan materi itu menjadi benda-benda lain yang beraneka macam terdapat di dalam kekuatan yang ada di dalam maksud itu sendiri secara otomatis. Artinya tidak langsung dari Tuhan.[7]
c. Tentang keazalian dan keabadian alam
Ibnu Rusyd mengemukakan bahwa alam ini azali tanpa permulaan. Dengan demikian berarti bahwa bagi Ibnu Rusyd ada dua hal yang azali, yaitu Tuhan dan alam kita ini. Hanya saja bagi Ibnu Rusyd keazalian Tuhan itu berbeda dari keazalian alam, sebab keazalian Tuhan lebih utama dari keazalian alam.[8]
d. Tentang gerak dan keazalianya
Ibnu Rusyd mengatakan bahwa meskipun Tuhan adalah sebab atau penggerak yang pertama, Dia hanyalah menciptakan gerakan pada akal yang pertama saja, sedangkan gerakan-gerakannya selanjutnya (peristiwa-peristiwa di dunia ini) disebabkan oleh akal-akal selanjutnya. Dengan demikian, menurut Ibnu Rusyd, tidaklah dapat dikatakan adanya pimpinan langsung dari Tuhan terhadap peristiwa-peristiwa di dunia.
e. Tentang akal yang universal dan satu
Menurut Ibnu Rusyd, akal itu (seperti yang dimaksud oleh al-Farabi dan Ibnu Sina) adalah satu dan universal. Maksudnya bukan saja “akal yang aktif” (active intellect, al-aqlul fa’al) adalah esa dan universal, tetapi juga “akal kemungkinan”, yakni akal reseptif (al-qalu bil-quwwah), adalah esa dan universal, sama dan satu bagi semua orang.[9]
D. Tentang Moral
Ibn Rusyd membenarkan teori Plato bahwa manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan kerjasama untuk memenuhi keperluan hidup dan mencapai kebahagiaan. Dalam merealisasikan kebahagiaan yang merupakan tujuan akhir bagi manusia, diperlukan bantuan agama yang akan meletakkan dasar-dasar keutamaan akhlak secara praktis, juga bantuan filsafat yang mengajarkan keutamaan teoritis, untuk itu diperlukan kemampuan berhubungan dengan akal aktif.
KESIMPULAN
Bahwa menurut Ibn Rusyd tentang tujuan agamanya tidak lain hanya untuk tujuan syari’at Islam yang sebenarnya yaitu tentang pengetahuan yang benar dan amal perbuatan yang benar. Sedangkan tentang filsafatnya diantaranya yang terpenting diantara problema-problema filsafat diantaranya: tentang pengetahuan Tuhan terhadap soal-soal juziyat, tentang terjadinya alam maujudat dan perbuatannya, tentang keazalian dan keabadian alam, tentang gerak dan keazaliannya, dan tentang akal yang universal dan satu.
Sedangkan tentang moral yaitu : Dalam merealisasikan kebahagiaan yang merupakan tujuan akhir bagi manusia, diperlukan bantuan agama yang akan meletakkan dasar-dasar keutamaan akhlak secara praktis, juga bantuan filsafat yang mengajarkan keutamaan teoritis, untuk itu diperlukan kemampuan berhubungan dengan akal aktif.
DAFTAR PUSTAKA
Dr. Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, Gaya Media Pratama, Jakarta, 1999.
Dr. Oemar Amin Hoesin Filsafat Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1975.
Drs. Poerwantara, dkk., Seluk Beluk Filsafat Islam, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 1994.
Dr. Sirajuddin Zar, Filsafat Islam (Filosof dan Filsafatnya), PT. Grafindo Persada, Jakarta, 2007.



[1] Drs. Poerwantara, dkk., Seluk Beluk Filsafat Islam, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 1994, hlm. 199.
[2] Dr. Sirajuddin Zar, Filsafat Islam (Filosof dan Filsafatnya), PT. Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hlm. 225.
[3] Poerwantara, dkk., op.cit., hlm. 200.
[4] Ibid., hlm. 201.
[5] Dr. Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, Gaya Media Pratama, Jakarta, 1999, hlm. 115.
[6] Poerwantara, dkk., op.cit., hlm. 202.
[7] Dr. Oemar Amin Hoesin Filsafat Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1975, hlm. 146.
[8] Ibid., hlm. 148.
[9] Poerwantara, dkk., op.cit., hlm. 207.

0 comment:

Posting Komentar