Rabu, 01 Juni 2011

Agama dan Hubungan Antar Agama

Dalam sebuah masyarakat yang dicirikan oleh kemajemukan agama, tidak ada hal yang sedemikian penting dan mendesak seperti hubungan antarumat beragama.
Berbicara tentang hubungan antar agama, wacana pluralisme agama menjadi perbincangan utama. Pluralisme agama sendiri dimaknai secara berbeda-beda di kalangan cendekiawan Muslim Indonesia, baik secara sosiologis, teologis maupun etis.
Secara sosiologis, pluralisme agama adalah suatu kenyataan bahwa kita adalah berbeda-beda, beragam dan plural dalam hal beragama. Ini adalah kenyataan sosial, sesuatu yang niscaya dan tidak dapat dipungkiri lagi. Dalam kenyataan sosial, kita telah memeluk agama yang berbeda-beda. Pengakuan terhadap adanya pluralisme agama secara sosiologis ini merupakan pluralisme yang paling sederhana, karena pengakuan ini tidak berarti mengizinkan pengakuan terhadap kebenaran teologi atau bahkan etika dari agama lain.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh M. Rasjidi bahwa agama adalah masalah yang tidak dapat ditawar-tawar, apalagi berganti.[1] Ia mengibaratkan agama bukan sebagai (seperti) rumah atau pakaian yang kalau perlu dapat diganti. Jika seseorang memeluk keyakinan, maka keyakinan itu tidak dapat pisah darinya.[2] Berdasarkan keyakinan inilah, menurut Rasjidi, umat beragama sulit berbicara objektif dalam soal keagamaan, karena manusia dalam keadaan involved (terlibat). Sebagai seorang muslim misalnya, ia menyadari sepenuhnya bahwa ia involved (terlibat) dengan Islam.[3] Namun, Rasjidi mengakui bahwa dalam kenyataan sejarah masyarakat adalah multi-complex yang mengandung religious pluralism, bermacam-macam agama.
A. Tafsir Ayat-ayat Tentang Agama
1. QS. Ali Imran : 19
إِنَّ الدِّينَ عِندَ اللهِ الإِسْلاَمُ وَمَا اخْتَلَفَ الَّذِينَ أُوْتُواْ الْكِتَابَ إِلاَّ مِن بَعْدِ مَا جَاءهُمُ الْعِلْمُ بَغْياً بَيْنَهُمْ وَمَن يَكْفُرْ بِآيَاتِ اللهِ فَإِنَّ اللهِ سَرِيعُ الْحِسَابِ
“Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barang siapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya”.
Asbabun Nuzul
Tidak ada
Penjelasan
إِنَّ الدِّينَ عِندَ اللهِ الإِسْلاَمُ
Sesungguhnya, semua agama dan syari’at yang didatangkan para Nabi pada intinya adalah Islam (menyerahkan diri), tunduk dan menurut. Meskipun dalam beberapa kewajiban dan bentuk amal agak berbeda. Orang muslim hakiki adalah orang yang bersih dari kotoran syirik, berlaku ikhlas dalam amalnya, dan disertai keimanan, tanpa memandang dari agama mana dan dalam zaman apa ia berada.
وَمَا اخْتَلَفَ الَّذِينَ أُوْتُواْ الْكِتَابَ إِلاَّ مِن بَعْدِ مَا جَاءهُمُ الْعِلْمُ بَغْياً بَيْنَهُمْ
Orang-orang ahli kitab tidak keluar dari Islam yang dibawa oleh para Nabi mereka sebagaimana yang sudah kami rincikan, sehingga mereka terpecah menjadi beberapa sekte yang saling bermusuhan dalam masalah agama, padahal agama adalah satu. Tidak ada persengketaan atau pertengkaran, kecuali karena kelakuan aniaya dan melewati batas yang dilakukan para pemimpin mereka.
Bila saja tidak ada unsur aniaya dan fanatisme terhadap sebagian lainnya dalam masalah-masalah sekte dan upaya mereka menyesatkan orang-orang yang menentangnya dengan cara menafsirkan nash-nash agama berdasarkan pendapat dan hawa nafsu, serta menakwilkan sebagian atau merubahnya, maka tidak akan terjadi perselisihan antar mereka.
بَيْنَهُمْ وَمَن يَكْفُرْ بِآيَاتِ اللهِ فَإِنَّ اللهِ سَرِيعُ الْحِسَابِ
Barang siapa mengingkari ayat-ayat Allah yang menunjukkan kewajiban berpegang teguh pada agama-Nya dan kesatuan serta diharamkannya perselisihan dan perpecahan, juga diharamkan tidak tunduk pada ayat-ayat Allah, maka Allah akan membuka dan menghukum. Sebab Allah Maha Cepat hisabnya. Yang dimaksud ayat-ayat Allah di sini adalah ayat-ayat kebesaran-Nya yang diilustrasikan dengan alam semesta, dalam diri mereka, dan di seluruh penjuru bumi yang luas ini. Termasuk kategori tidak tunduk pada ayat-ayat Allah, yaitu seperti memalingkan arti yang sebenarnya dan menyesuaikan dengan sekte-sekte sesat, bahkan ateis dalam menafsirkan ayat-ayat itu sehingga tidak sesuai lagi dengan ayat-ayat syariat yang diturunkan Allah kepada para Rasul-Nya.
Munasabah
QS. Ali Imran : 19, berhubungan dengan ayat sebelumnya yang menerangkan bahwa Allah menjadikan agama Islam adalah agama yang diridhai-Nya. Sedangkan dalam Islam sendiri mengajarkan tauhid, bahwasanya tiada Tuhan melainkan Dia yang menegakkan keadilan. Dan ayat ini berhubungan dengan ayat sesudahnya yang menerangkan tentang ajaran-ajaran yang terkandung dalam Islam, karena dalam Islam siapa saja yang memeluknya akan mendapatkan petunjuk dan jika mereka berpaling maka berkewajiban kamu (Muhammad) yang menyampaikan ayat-ayat Allah.[4]
2. QS. Al-Baqarah : 133
أَمْ كُنتُمْ شُهَدَاء إِذْ حَضَرَ يَعْقُوبَ الْمَوْتُ إِذْ قَالَ لِبَنِيهِ مَا تَعْبُدُونَ مِن بَعْدِي قَالُواْ نَعْبُدُ إِلَـهَكَ وَإِلَـهَ آبَائِكَ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ إِلَـهاً وَاحِداً وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ
Adakah kamu hadir ketika Ya’kub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya: "Apa yang kamu sembah sepeninggalku?" Mereka menjawab: "Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail dan Ishak, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya."
Asbabun Nuzul
Tidak ada
Penjelasan
أَمْ كُنتُمْ شُهَدَاء إِذْ حَضَرَ يَعْقُوبَ الْمَوْتُ
Apakah kalian (Yahudi dan Nasrani) tidak percaya kepada Muhammad dan yang mengingkari kenabiannya adalah orang-orang yang pernah menghadiri Ya’qub ketika ia menjelang ajal. Kemudian Islam menyangka bahwa Ya’qub adalah Yahudi atau Nasrani.
Ada suatu riwayat yang menceritakan bahwa orang-orang Yahudi pernah mengatakan kepada Nabi saw, “Tidakkah anda mengetahui bahwa Nabi Ya’qub itu mewasiatkan anak-anaknya agama Yahudi?”.
Ringkasnya, kalian menghadiri peristiwa tersebut. Janganlah kalian menuduh dengan masalah-masalah yang bathil dengan menghubungkannya dengan istilah Yahudi atau Nasrani. Allah hanya mengutus Ibrahim dengan membawa agama yang hanif (Islam) yang diwasiatkan kepada anak-anaknya setelah ia mengakhiri masa hidupnya.
إِذْ قَالَ لِبَنِيهِ مَا تَعْبُدُونَ مِن بَعْدِي
Artinya, apakah kalian menyaksikan ketika Nabi Ya’qub berkata kepada anak-anaknya, “Apakah yang akan kalian sembah sesudahku?”. Maksud pertanyaan Ya’qub ini hendak membaiat anak-anaknya agar mereka tetap teguh pada pendiriannya di dalam Islam, ajaran tauhid dan segala perbuatan hanya karena Allah, dan untuk mencari ridlo-Nya. Juga menjauhkan diri dari kemusyrikan, seperti menyembah berhala dan lain-lain selain Tuhan. Hal inilah yang dikehendaki Ya’qub kepada putra-putranya, sebagaimana yang tersebut di dalam ayat berikut ini :
وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَن نَّعْبُدَ الأَصْنَامَ
“…dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku daripada menyembah berhala-berhala”. (QS. Ibrahim, 14:35)
قَالُواْ نَعْبُدُ إِلَـهَكَ وَإِلَـهَ آبَائِكَ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ إِلَـهاً وَاحِداً وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ
Artinya, anak-anak Ya’qub menjawab, “Kami akan menyembah Tuhan yang telah kami ketahui keberadaan-Nya melalui bukti-bukti yang rasional, dan sekali-kali kami tidak akan berbuat musyrik terhadap-Nya. Kami selalu menyembah-Nya dan kami akan taat, merendahkan diri dan berbakti kepada-Nya dan menghadap kepada-Nya dalam keadaan bagaimanapun juga”. Mereka hidup di suatu periode yang masih menyembah berhala, patung, bintang, margasatwa dan lain-lain selain Allah.
Di sini Nabi Ismail disejajar dengan ayahnya, yakni Ya’qub, padahal Ismail adalah pamannya, bukan ayah mereka. Imam al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan sebuah hadits Nabi yang mengatakan :
عَمُّ الرَّجُلِ صِنْوَ أَبِيْهِ
Paman seseorang sama (hukumnya) dengan ayahnya (sendiri)
Ayat ini memberikan petunjuk bahwa agama Allah itu tetap satu. Dan di dalam ajaran Nabi manapun, intinya adalah tauhid atau meng-Esakan Allah, di samping menyerahkan diri kepada-Nya dan taat terhadap petunjuk para Nabi.[5]
Munasabah
QS. Al-Baqarah 133 dengan ayat sebelumnya adalah jika ayat 133 menjelaskan tentang wasiat Nabi Ya’qub kepada anak keturunannya untuk memeluk agama Islam, sedangkan ayat sebelumnya menjelaskan wasiat Nabi Ibrahim kepada anak-anaknya untuk menyembah Tuhan semesta alam. Sedangkan dengan ayat sesudahnya yaitu sunatullah terhadap hamba-hamba-Nya, Ia akan membalas kecuali berdasarkan amal perbuatan mereka sendiri dan tidak akan ditanyakan kecuali amal-amal yang diusahakan oleh mereka sendiri, baik itu pada zaman-zaman nabi yang dahulu ataupun pada zaman Nabi Muhammad sendiri.[6]
3. QS. Al-Hajj : 17
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالصَّابِئِينَ وَالنَّصَارَى وَالْمَجُوسَ وَالَّذِينَ أَشْرَكُوا إِنَّ اللهَ يَفْصِلُ بَيْنَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّ اللهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ
Sesungguhnya orang-orang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Shaabi-iin, orang-orang Nasrani, orang-orang Majusi dan orang-orang musyrik, Allah akan memberi keputusan di antara mereka pada hari kiamat. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu.
Asbabun Nuzul
Adapun asbabun nuzul ayat 17 ini berhubungan dengan al-Hajj ayat 19 yang diriwayatkan oleh banyak riwayat di antaranya berkenaan dengan ahli kitab yang berebut kebenaran dengan kaum mukminin, dengan berkata “Kami lebih utama dari pada kamu di sisi Allah, kitab kami diturunkan lebih dahulu dan Nabi kami diutus sebelum nabimu”. Berkatalah kaum mukminin, “Kami lebih berhak kepada Allah daripada kamu, kami percaya kepada Muhammad dan kepada nabimu dan semua kitab yang diturunkan Allah”.[7]
Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa turunnya ayat ini turun berkenaan dengan orang-orang yang dalam perang badar, antara lain Hamzah, Ali, Ubaidah bin al-Harti (dari pihak Islam) berlawanan bersambung nyawa dengan Utbah bin Rabi’ah, Syaibah bin Rabi’ah dan al-Walid bin Utbah (dari pihak kafir Quraisy).
Penjelasan
الذين هادو : orang-orang Yahudi
الصابئين : suatu kaum yang menyembah malaikat, shalat menghadap kiblat dan membaca kitab Zabur.
المجوس : sebagaimana dikatakan oleh Qatadah, mereka adalah kaum yang menyembah matahari, bulan dan api.
الذين أشركوا : mereka adalah para penyembah patung
يفصل : mengambil keputusan dengan memenangkan yang haq atas yang bathil
شهيد : Maha Tahu dan Maha Mengawasi segala perkata.[8]
Munasabah
Adapun munasabah ayat ini dengan ayat terdahulu, Allah menjelaskan bahwa Dia memberi petunjuk kepada siapapun yang Dia kehendaki, selanjutnya di dalam ayat ini Dia menjelaskan siapa orang yang Dia beri petunjuk dan siapa yang tidak Dia beri petunjuk, dan akan diberi keputusan di antara mereka pada hari Kiamat.
Adapun munasabah dengan ayat sesudahnya bahwa Allah mengambil keputusan di antara golongan-golongan ini, membalas setiap golongan sesuai dengan perbuatannya, dan menempatkannya pada tempat yang patut baginya, karena tidak sedikitpun di antara keadaan mereka yang tidak dia ketahui, tetapi Dia mengetahui segala perkataan dan mengawasi segala perbuatan mereka.[9]
B. Kedudukan Non-Muslim dalam Al-Qur’an
Sesuai dengan firman Allah dalam QS. Al-Mumtahanah : 9
إِنَّمَايَنْهَاكُمُ اللهُ عَنِ الَّذِينَ قَاتَلُوكُمْ فِىالدِّينِ وَأَخْرَجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوا عَلَىإِخْرَاجِكُمْ أَن تَوَلَّوْهُمْ وَمَن يَتَوَلَّهُمْ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barang siapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang lalim
Dari ayat di atas menjelaskan bahwa Tuhan hanya melarang kamu berkawan setia dengan orang-orang yang terang-terang memusuhimu, yang memerangi kamu, yang mengusir kamu atau membantu orang-orang yang mengusirmu seperti yang dilakukan musyrikin Makkah. Sebagian mereka berusaha mengusirmu dan sebagian yang lain menolong orang yang mengusirmu.
Adapun orang-orang yang menjadikan musuh-musuh itu sebagai teman setia, menyampaikan kepada mereka rahasia-rahasia yang penting dan menolong mereka, maka merekalah yang dhalim karena menyalahi perintah Allah.[10]
C. Kedudukan Ahli Kitab dalam al-Qur’an
Sesuai dengan firman Allah dalam QS. Al-Maidah : 51
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَتَّخِذُواْ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاء بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاء بَعْضٍ وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللهَ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang lalim.
Penjelasan ayat di atas adalah : kata Ibnu Jarir “Allah SWT mencegah para mukmin menjadikan orang Yahudi dan orang Nasrani penolong-penolong dan teman-teman setia bagi orang-orang yang beriman. Tuhan menerangkan bahwa mereka yang menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani penolong dan teman setianya, di pandang membuat pertentangan kepada Allah, Rasul, dan para mukmin. Allah dan Rasul terlepas dari padanya.
Dari penjelasan di atas kita mendapat suatu ketentuan bahwa apabila terjadi kerjasama, bantu membantu dan bersahabat setia, antara dua orang yang berlainan agama untuk kemaslahatan-kemaslahatan dunia, tidaklah masuk yang demikian itu ke dalam larangan ayat ini. Apabila para muslim bersahabat setia dengan sesuatu umat yang tidak Islam, terhadap sesuatu umat yang tidak Islam pula, karena persesuaian maslahat, maka yang demikian itu tidak dilarang. Adapun alasan akan melarang orang muslim berhubungan dengan orang Yahudi dan Nasrani karena orang-orang Yahudi pada waktu itu sangat tinggi solidaritasnya antara sesama mereka.[11]
KESIMPULAN
Keterangan-keterangan di atas memberi gambaran bahwa agama adalah masalah yang tidak bisa ditawar-tawar lagi, apalagi berganti. Serta kemajemukan agama tidak menghalangi untuk hidup bersama, berdampingan secara damai dan aman. Adanya saling pengertian dan pemahaman yang dalam akan keberadaan masing-masing menjadi modal dasar yang sangat menentukan. Pengalaman-pengalaman Nabi di atas mengandung dimensi moral dan etis. Di antara dimensi moral dan etis agama-agama adalah saling menghormati dan menghargai agama/pemeluk agama lain. Jika masing-masing pemeluk agama memegang moralitas dan etikanya masing-masing, maka kerukunan, perdamaian dan persaudaraan bisa terwujud.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Musthafa al-Maraghy, Tafsir al-Maraghy Juz 3, Semarang: CV. Toha Putra, 1985.
Majalah Al-Djami’ah, Nomor Khusus, Mei 1968 Tahun ke VIII.
Qomaaruddin Shaleh, dkk., Asbabun Nuzul, Bandung: CV. Diponegoro, 1986.
T.M. Hasbi ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur’anul Majid (An-Nuur) Juz 5, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1995.


[1] Argumen ini dikemukakan oleh Prof. Rasjidi dalam satu tulisannya yang disampaikan dalam Pidato Sambutan Musyawarah Antar Agama, 30 November 1967 di Jakarta. Penulis mendapati tulisan ini dari dua sumber, yakni di dalam Majalah Al-Djami’ah, Nomor Khusus, Mei 1968- Tahun ke VIII dan buku karangan Umar Hasyim Toleransi dan Kemerdekaan Beragama dalam Islam sebagai Dasar Menuju Dialog dan Kerukunan Antar Agama.
[2] M. Rasjidi, Al-Djami’ah, Nomor Khusus, Mei 1968 Tahun ke VIII, hlm.35.
[3]Ibid.
[4] Ahmad Musthafa al-Maraghy, Tafsir al-Maraghy Juz 3, Semarang: CV. Toha Putra, 1985, hlm. 211.
[5] Ibid., juz I, hlm. 388-389.
[6] Ibid., hlm. 390.
[7] Qomaaruddin Shaleh, dkk., Asbabun Nuzul, Bandung: CV. Diponegoro, 1986, hlm. 331.
[8] Ahmad Musthafa al-Maraghy, op.cit., Juz 17, hlm. 161.
[9] Ibid., hlm. 160.
[10] T.M. Hasbi ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur’anul Majid (An-Nuur) Juz 5, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1995, hlm. 4045.
[11] Ibid., hlm. 1057.

0 comment:

Posting Komentar