Jumat, 03 Juni 2011

SIRAH MUHAMMAD SAW


Muhammad Rasulullah: Masa Perbaikan Ka’bah sampai Masa Awal Dakwah

Muhammad cerdas dan bijak
Saat Muhammad SAW berusia 35 tahun—saat itu beliau belum diangkat menjadi Nabi dan Rasul—terjadi peristiwa penting di Makkah, yaitu robohnya Ka’bah disebabkan hantaman air bah. Saat itu orang-orang Quraisy segera bahu membahu melakukan renovasi. Nabi pun turut serta di dalamnya.
Sempat terjadi perselisihan antar suku Quraisy berkenaan dengan peletakkan kembali hajar aswad, masing-masing kabilah merasa paling berhak meletakkannya kembali ke tempat semula. Bagi mereka hal ini menjadi sebuah prestise tersendiri. Guna mencari penyelesaian konflik ini atas usul Huzaifah bin Mughirah ketentuan peletakkan disepakati akan diserahkan kepada orang yang esoknya pertama kali datang melalui pintu Bani Syaibah. Ternyata Muhammad-lah orang yang pertama kali datang, maka beliau kemudian memberikan solusi cerdas, hajar aswad disimpan di atas hamparan kain, kemudian diangkat bersama-sama oleh seluruh kabilah. Mereka semua merasa puas dan memuji kebijaksanaan Muhammad al-Amin.
Muhammad dan Khadijah yang selama ini dikenal oleh masyarakat Makkah sebagai keluarga yang peduli pada sesama; selalu membantu fakir miskin, menolong orang yang kesusahan, dan membela orang yang terzalimi, kini semakin dihormati.

Memikirkan Hakikat Kehidupan
Mendekati usia 40 tahun, Muhammad SAW semakin matang. Beliau kini telah hidup mapan. Hidup bahagia bersama Khadijah dengan dikaruniai 6 orang anak: Al-Qasim (wafat pada usia 2 tahun), Zainab (wafat pada 8 H), Abdullah (wafat ketika masih bayi), Ruqayyah (wafat pada 2 H), Ummu Kalsum (wafat 9 H), dan Fatimah (wafat 11 H). Karena tidak memiliki anak laki-laki, maka Nabi mengangkat anak, yakni Zaid bin Haritsah.
Dalam masa kematangan ini, Nabi mulai banyak memikirkan hakekat kehidupan, beliau mulai memikirkan kondisi masyarakat sekitarnya yang menjadi penyembah berhala dan bergelimang dalam hawa nafsu. Beliau pun mulai memikirkan kepercayaan yang dimiliki Zaid bin Amr bin Nufail, yang tidak mau menyembah berhala dan mengaku sebagai pengikut agama Ibrahim.
Pada masa itu, Zaid bin Amr bin Nufail adalah satu-satunya penduduk Makkah pengikut agama Ibrahim yang asli, sebelumnya dia pernah pergi ke Syam untuk masuk agama Yahudi akan tetapi dicegah oleh orang-orang Yahudi sendiri yang pada saat itu tengah mengalami berbagai tekanan dari musuh-musuh mereka. Begitu pula ketika berkehendak masuk agama Nasrani, ia pun dicegah karena pengikut Nasrani berada dalam perpecahan yang luar biasa.

Wahyu pertama turun
Nabi pada saat itu banyak melakukan tahannuf (memegang teguh agama) atau tahannut (pengabdian) dengan cara menyepi di Gua Hiro (5 km sebelah utara Makkah di ketinggian 200 M, 20 M di bawah puncaknya). Beliau melakukan hal ini kadang-kadang dalam 10 hari 10 malam, 20 hari 20 malam, atau dalam sebulan.
Setelah 6 bulan berlalu, turunlah wahyu yang pertama. Saat itu beliau bermimpi didatangi Jibril dan menyuruhnya membaca firman Allah. Wahyu pertama tersebut adalah:
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya”. (QS. Al-Alaq, 1 – 5).
Setelah itu dalam kondisi schock, Nabi segera pulang menemui Khadijah. Khadijah segera menenangkannya, dan esoknya beliau diajak menemui Waraqah bin Naufal, paman Khadijah yang banyak mempelajari kitab-kitab terdahulu. Waraqah kemudian memastikan bahwa yang datang kepada Muhammad adalah namus yang dulu datang kepada Musa, dia kemudian menyatakan bahwa suatu saat Muhammad akan diusir oleh kaumnya.

Wahyu kedua turun
Beberapa saat kemudian turunlah wahyu yang kedua, yakni QS. Al-Mudatsir 1-5:
”Hai orang yang berkemul (berselimut), Bangunlah, lalu berilah peringatan! Dan Tuhanmu agungkanlah! Dan pakaianmu bersihkanlah, Dan perbuatan dosa tinggalkanlah”.
                Ayat ini merupakan perintah kepada Nabi untuk memulai dakwah: mengagungkan Allah, menyucikan jiwa, dan meninggalkan tradisi penyembahan berhala; turun saat Nabi sedang berjalan dan tiba-tiba melihat Jibril duduk di antara langit dan bumi, karena gentarnya Nabi sampai terjatuh.

Mulai menyiarkan dakwah Islam
            Nabi memulai dakwahnya dengan sembunyi-sembunyi dan memulainya pada rekan-rekan dan teman-teman dekat, diantara assabiqunal awwalun itu adalah: Khadijah, Zaid bin Haritsah, Ali bin Abu Thalib, Abu bakar, Utsman bin Affan, Thalhah bin Ubaidillah, Sa’ad bin Abi Waqqash, Waraqah bin Naufal, Zubair bin Al-Awwam, Abu Dzar Al-Ghifari, Umar bin Anbasah, Sa’id bin Al-Ash, Abdurrahman bin Auf, Ummu Aiman, Arqam bin Abi Arqam, Abdullah bin Mas’ud, Amr bin Yassir, Yassir, Sa’ad bin Zaid, Amir bin Abdullah, Ja’far bin Abu Thalib, Khabbab, Bilal bin Rabah, Ummu Fadhl, Shafiyyah, Asma, Fatimah bin Khattab.
Dakwah secara siriyyah ini dilakukan selama 3 tahun, karena setelah turun QS. Asy-Syu’ara ayat 214: ”Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat”, juga QS. Al-Hijr ayat 94-95, Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik.Sesungguhnya kami memelihara kamu daripada (kejahatan) orang-orang yang memperolok-olokkan (kamu)”. Nabi mulai bergerak terbuka menyeru kepada kaum kerabatnya bangsa Quraisy.

Dakwah kepada kaum kerabat
           Pertemuan pertama antara Nabi dan kaum kerabatnya berlangsung di bukit Shafa, yang kemudian dikacaukan oleh Abdul Uzza (Abu Lahab). Pertemuan kedua pun dikacaukan juga oleh Abu Lahab. Pada saat itu Nabi menyampaikan kepada kerabatnya bahwa beliau tidak mungkin berdusta dan menipu kerabatnya itu, lalu beliau memperkenalkan diri sebagai utusan Allah untuk seluruh umat manusia, beliau mengingatkan tentang kematian dan penghisaban, dan urusan yang dibawanya meliputi urusan dunia dan akhirat.
            Selain itu beliau pun menyeru agar setiap orang menyelamatkan dirinya sendiri dari siksa neraka yakni dengan mau tunduk pada Allah semata. Beliau menegaskan saat itu bahwa beliau menyeru kepada Allah dan bertanya kepada kaum kerabatnya, siapakah diantara mereka yang akan mendukung perjuangn dakwahnya. Saat itu diantara yang hadir adalah Bani Ka’ab bin Luay, Bani Murrah bin Ka’ab, Bani Hasyim, Bani Abdu Manaf, Bani Abdu Syamsin, Bani Zuhro, Bani Abdul Muthallib.
            Abu Lahab mengacaukan pertemuan itu dan memprovokasi semua yang hadir untuk segera menangkap Muhammad dengan alasan: Dakwah Nabi adalah dakwah yang berbahaya yang akan menyebabkan beliau sendiri celaka karena akan dimusuhi manusia, orang-orang yang mendukungnya pun akan celaka karena pasti akan diperangi bangsa-bangsa lain, Muhammad hanyalah pemuda yang sedang mengalami gangguan psikologis, dlsb.
            Saat itu Shafiyyah bibi Rasullah membela dan mengatakan kepada Abu Lahab bahwa bukankah memang ada berita dari orang-orang terdahulu bahwa salah seorang keturunan Abdul Muthallib akan menjadi Nabi? Tapi, pembelaan ini malah semakin membuat Abu Lahab kalap, kata-katanya semakin keji, dia mengatakan bahwa orang Quraisy tidak akan tinggal diam, kepala Muhammad pasti akan dilumat orang Quraisy. Hal ini menyebabkan Abu Thalib tampil dan menegaskan bahwa selama dia masih hidup Muhammad akan selalu dilindunginya.

Hikmah-hikmah:
            Episode sirah nabi ini mengandung pelajaran berharga bagi para pejuang amar ma’ruf nahi munkar, bahwa:
1.      Seorang da’i (penyeru) ke jalan Allah harus hidup berbaur dengan masyarakat. Namun tidak sekedar hadir dan berbaur, ia pun harus menjadi problem solver; memberi solusi atas berbagai persoalan masyarakat. Gerakan Islam saat ini harus mampu mendidik dan menelorkan kader dakwah yang siap berbaur dengan umat dalam rangka menebar kebaikan; pada saatnya nanti kebaikan-kebaikan ini akan menjadi investasi dakwah: melahirkan dukungan pada misi dan ide-ide Islam.
2.      Demikian pentingnya pengokohan ruhani bagi para da’i dan atau calon da’i. Lihatlah bagaimana Allah SWT menyiapkan Muhammad SAW; Sebelum menjadi nabi dijadikan-Nya beliau cenderung pada penguatan ruhani dan kesadaran akan hakikat hidup; Dijadikan-Nya beliau terbiasa bermunajat dan berkhalwat menjernihkan jiwa. Nampaknya, inilah pula yang harus dipersiapkan oleh para da’i, sebelum mereka terjun ke arena perjuangan dakwah yang penuh dengan ujian dan cobaan. Mereka perlu mendidik jiwanya agar cenderung pada kebenaran dan membersihkan diri dari ambisi keduniaan yang fana.
3.      Kesadaran akan sunnatu dakwah—berhadapan dengan ancaman, caci maki, tuduhan, fitnah, tribulasi,dlsb—harus muncul sejak awal. Di masa awal dakwahnya, Muhammad SAW telah memperoleh informasi tentang resiko-resiko yang akan dihadapinya dalam berdakwah dari Waraqah bin Naufal. Kesadaran ini akan membuat para da’i mempersiapkan diri dan waspada.
4.      Demikian pentingnya menyiapkan basis pendukung dakwah. Dan upaya ini dimulai dengan mendekati kalangan terdekat lebih dahulu. Perhatikanlah bagaimana Muhammad SAW merekrut assabiqunal awwalun. Beliau merekrut Khadijah isterinya, Zaid bin Haritsah anak angkatnya, dan Ali bin Abu Thalib sepupunya; dilanjutkan dengan mengajak Abu bakar teman dekatnya, dan seterusnya. Beliau pun merekrut pendukung dakwahnya dari berbagai segmen: wanita, pemuda, kalangan tua, pedagang, rakyat jelata, dlsb. Mereka semua dibina oleh Nabi SAW menjadi pendukung utama dakwah, ditempa selama 3 tahun lamanya secara sembunyi-sembunyi. Hal ini menjadi pelajaran penting bagi gerakan dakwah Islam saat ini, jangan sampai terburu-buru menghadang bahaya sebelum memiliki basis pendukung.
5.      Pada saatnya dakwah harus disampaikan secara terbuka guna meraih dukungan lebih luas. Cermatilah bagaimana Nabi menyampaikan dakwahnya secara terang-terangan kepada berbagai kabilah: Bani Ka’ab bin Luay, Bani Murrah bin Ka’ab, Bani Hasyim, Bani Abdu Manaf, Bani Abdu Syamsin, Bani Zuhro, dan Bani Abdul Muthallib. Mereka semua adalah kerabat dekat Nabi SAW. Hikmah pendekatan awal seperti ini mungkin dilakukan agar penentangan terhadap dakwah yang baru tumbuh ini tidak terlalu besar, bahkan dapat memanfaatkan kekerabatan tersebut untuk melindungi dakwah. Perhatikan sekali lagi kejadian penyampaian dakwah kepada kaum kerabat terdekat ini, Abu Lahab memang menentang, yang lain ragu-ragu, akan tetapi Abu Thalib—meskipun tidak menyatakan masuk Islam—siap menjadi pelindung Nabi.
6.      Adanya mizhalah (payung) pelindung bagi dakwah adalah keniscayaan. Bagaimana mungkin dakwah akan menggapai target-targetnya apabila terus dihambat, diisolasi dan diembargo oleh para penentangnya. Saat ini, langkah-langkah realistis untuk melindungi dakwah harus diambil oleh gerakan dakwah Islam dengan cara-cara yang elegan dan tidak bertentangan dengan idealisme dan misi dakwah itu sendiri.

Wallahu a’lam bishawab…

0 comment:

Posting Komentar