Kamis, 09 Juni 2011

Cinta Berselimutkan Maksiat

Selamat pagi sahabatku semua. Untuk postingan inti pertama saya akan membukanya dengan menuliskan sebuah kisah nyata yang saya beri judul cinta berselimutkan maksiat. Mari kita simak sama-sama dan semoga ada hikmah serta pelajaran yang bisa kita ambil.

"Aku seorang mahasiswi. Sepanjang hidup yang pernah kulalui, aku adalah orang yang memegang teguh moral dan taat beragama. Namun sayang, aku belum memakai jilbab. Kendatipun banyak persoalan dan problema keluarga, namun aku tetap bertekad untuk tekun beribadah dan selalu ada cinta antara aku dan Allah. Tapi, sejak berkumpul dengan orang-orang yang jauh dari Allah, aku mulai hanyut dengan mereka.

Tatkala aku masuk kuliah, persoalannya menjadi semakin sulit, karena suasananya campur aduk tidak karuan. Dengan cara yang biasa, aku mulai berinteraksi dengan para cowok, hingga akhirnya berubah menjadi hubungan khusus dengan salah seorang cowok dan kami pun akhirnya menjalin hubungan yang biasa disebut "teman dekat". Kemudian kami saling mengakui bahwa dalam jalinan ini ada banyak perasaan tertentu yang lebih dari sekedar teman , ataupun teman dekat.

Kami sempat membuat kesepakatan untuk menjauhi perilaku haram dalam hubungan kami dan akan selalu konsisten dengan jalinan cinta suci dan terjaga. Cowok itu mulai menghubungiku melalui telepon dan mengatakan bahwa dirinya tidak dapat jauh dariku. Setelah menolaknya, aku hanya memberikan sedikit kesempatan untuk bersedia bicara dengannya. Aku selalu memanfa'atkan waktu untuk berbicara dengannya ketika keluarga aku sedang keluar rumah.

Jika salah seorang anggota keluargaku masuk rumah, aku langsung berbicara dengannya sambil bergaya seakan-akan aku berbicara dengan teman cewek, sungguh akting yang sempurna. Aku seakan-akan menjadi pencuri atau orang yang melakukan tindak kriminal dan berusaha membuat alibi untuk menyembunyikannya.

Tentu saja, hubungan kami semakin berkembang. Aku menjadi terbiasa pergi keluar (kencan) dengannya ke tempat-tempat umum, dan akhirnya pergi berduaan ke tempat sepi. Pacaran kami ini mulai memasuki area haram dan kami mulai melakukan hal-hal menyimpang, seperti pacaran melampaui batas.

Aku telah tertipu dengan shalatku, tertipu dengan keberagamaanku yang dulu, tertipu dengan pendidikan. Aku mengira bahwa itu semua dapat mencegahku tergelincir ke dalam kubangan dosa dan menyangka setan benar-benar jauh dariku, sehingga tidak mungkin lagi dapat membisiki dan merayuku. Seperti biasa, cowok itu lalu meninggalkanku setelah muncul sejumlah persoalan di antara kami.

Tentu saja, kamus cinta ini menjadi pukulan yang sangat menyakitkan bagi diriku, karena setelah itu ia meninggalkanku, dan aku merasa tak ada cowok lain yang pantas kucintai. Dia selalu mempermainkan dan memperlakukanku tidak adil, seakan-akan aku tidak mencintainya. Kalaupun aku mencintainya, pastilah akan kupenuhi semua keinginannya.

Bagaimana dia suka mengungkapkan perasaan-perasaannya kepadaku dan ungkapan ini dalam benaknya sudah seperti hubungan perkawinan ! Tekanan ini melahirkan sejumlah masalah yang haram. Setiap kali pulang ke rumah, aku merasa takut tidur. Seolah jiwaku telah terambil ketika sedang tidur, bagaimana aku dapat menemui-Nya ? Aku belum siap untuk mati karena aku selalu berada dalam kepalsuan yang tidak semestinya.

Pada suatu hari, aku mengetahui bahwa "mantan" cowokku akan mengikuti kajian keagamaan. Aku pun mengatakan akan pergi. Aku tahu bahwa kajian ini diikuti cowok dan cewek. Aku mengira dapat mengadukannya kepada ustadz pengisi materi. Aku bayangkan bahwa aku berkata kepada ustadz, 'Katakan kepada dia untuk kembali kepadaku, karena aku sama sekali belum pernah mengikuti kajian dan marilah saling berjanji di hadapan ustadz bahwa kita tidak akan melakukan kesalahan untuk kesekian kali.'

Tapi tentu saja aku jadi pergi dan ternyata persoalannya menjadi lain. Ustadz pengisi materi justru membicarakan perasaan-perasaan seorang mukmin kepada Tuhan dan bagaimana sebaiknya perasaan-perasaan itu. Kajian ini sangat agung hingga aku merasa, bahwa dulu diriku kehausan dan kini aku telah minum sepuas-puasnya. Seakan-akan hidupku yang mempunyai lubang yang dalam dan menganga, pada hari ini lubang itu telah penuh.

Sewaktu keluar seakan-akan aku ingin memeluk dan mencium teman-teman perempuan. Seakan-akan aku ingin membelai kepala semua orang di jalanan dan 'bernyanyi' kepada mereka karena aku tidak pernah berpikir bahwa aku telah melakukan kesalahan dan ingin bertaubat. Seolah-olah aku yakin bahwa Allah Swt telah mengampuni kesalahanku itu.

Aku meyakininya karena Allah sangat mulia lagi sangat penyayang. Berkat rahmat-Nyalah, kini aku mulai mengajarkan Al-Quran kepada orang lain, dan kini semua hidupku telah tertata. Aku memohon kepada Allah semoga semua yang kulakukan ini menjadi penyebab turunnya hidayah kepada semua orang. Aku selalu berusaha menggandeng dan menuntun orang lain agar aku pun dapat menuntun hidupku sendiri. Kini, aku telah melakukan banyak hal yang belum pernah terbayangkan sebelumnya.

Alhamdulillaah, segala puji hanya pantas tersanjung kepada Allah, kini aku merasa telah benar-benar siap untuk mati. Kini, aku dapat berlapang dada menghadapi mati dan tidak takut lagi dengan mati. Aku selalu berprasangka baik kepada Allah, karena Allah selalu selaras dengan prasangka baik hamba-Nya kepada diri-Nya."

Cerita sederhana ini telah membuka mata hati dan pikiran saya selama ini, bahwa segala apa yang telah kulakukan dahulu tidak sebanding dengan apa yang kulakukan sekarang, sungguh masih banyak hal yang belum kuketahui demi memperbaiki diri ini.

Sobat, kisah sederhana diatas membuat kita mengerti dan memperlihatkan kepada kita bagaimana proses pergantian cinta yang pernah ia jalani bersama seorang cowok, menjadi cinta kepada Allah Swt.

Sobatku semua, bagaimana pendapatmu jika kita menjalani kehidupan cinta kepada Allah sampai akhirnya kita menikah. Seorang cewek pasti mengatakan bahwa dirinya mencintai seorang cowok bukan dalam kerangka ketaatan kepada Allah. Jika hubungannya dengan Allah seperti yang diharapkan, maka ia harus merasa ada sesuatu yang menguatkannya ke belakang.

Marilah kita mencoba menyerahkan segala macam perasaan kita kepada Allah Swt. Inilah hakekat yang benar-benar dapat dinikmati manusia di dunia, sekaligus yang diungkapkan Hasan bin Tsabit dalam bait-bait syair :

Di Pintu-Mu aku takkan meninggalkannya
Aku pun takkan pernah pergi ke selain-Mu
Dengan ridha-Mu, kan kurajut bajuku
Sunggguh mulia diriku tatkala menjadi hamba-Mu
Aku berbisik di kening Subuh
Ketika ditanya siapa Tuhanmu
Tuhankulah Sang Pencipta alam semesta
Sungguh mulia aku saat menjadi hamba-Mu
Tuhankulah yang menyingsingkan pagi
Aku pun takkan pernah berpaling ke selain-Mu

0 comment:

Posting Komentar