Senin, 16 Mei 2011

GOLD FEVER, GOLD RUSH


GOLD FEVER, GOLD RUSH
Umar Kayam
 
Sekali-sekali di nDalem Keagengan ada rapat pleno komplit-plit. Biasanya diadakan pada hari-hari minggu pertama sesudah tanggak 1 Januari. Acaranya bisa macam-macam. Tapi intinya sedikit mengadakan retrospeksi tahun yang lalu, tapi yang lebih penting tahun baru ini mau diapakan.    Dalam laporan saya minggu yang lalu, saya sudah melaporkan bagaimana Mister Rigen tidak terlalu antusias memandang tahun kerbau ini. Dengan ogah-ogahan dan sedikit loyo beliau mengatakan “sembilan belas sembilan tuju ya sembilan belas sembilan tuju…” Tapi malam Minggu kemarin saya ingin mengetahui bukan hanya pendapat Mister Rigen, tapi juga istri dan anak-anaknya. Kami duduk lesehan di sekitar meja bundar, di atas permadani menghadap tivi yang untuk sementara kami matikan. Di meja hanya ada wedang teh dan sedikit gorengan tempe gembus dan balok, singkong goreng.          “Sembilan belas sembilan tuju ya sembilan belas sembilan tuju ya, Gen.”          “Ha enggih.”          “Tapi terusnya ya bagaimana, Pakne ? Matur, dong, matur.”          “Iya, Pake, matur.”          “Iya, Pake, matur.”    Mata Mister Rigen sedikit melotot kepada keluarganya. Maksudnya supaya aura wibawanya sedikit bersinar.          “Haisy, diem. Wong nggak tahu urusannya kok belum-belum sudah mendresel-dresel. Diem dulu.” kok totaliter begitu kamu! Mbok biar rakyat mendresel-dresel. Wong rakyat itu haknya rak Cuma mendresel-dresel. Kalau hak yang Cuma sedikit itu sudah kamu patahkan, gek punya apa lagi rakyat itu, Gen.”          “Heh, heh, heh, Bapak. Coba kalau saya yang mendresel-dresel, nanti rak Bapak juga meng-heisy-kan saya.”          “Yo wis, yo wis. Sekarang bagaimana kira-kira 1997 di negara kita ini. Kalau kamu menjawab cuma sembilan belas sembilan tuju, ya sembilan belas sembilan tuju, tak gibeng kowe!”          “He, he, he, Bapak. Ternyata tahun 1997 itu kemilau mencorong, Pak.”          “Elho, Pake !”          “Elho, Pake ”          “Elho, Pake ”          “Lha, lha, lha. Terus mau mendresel lagi, to, kalian ?”          “Iyo wis, Mencorong. Ceritakan penglihatanmu Gen.”          “Ha, ya mencorong, Pak. Wong dalam penglihatan saya Indonesia itu bakalnya jadi negara emas.”          “Elho? Negara emas bagaimana ? Mas Rigen apa ?”          “Ayak, Bapak! Ya emas betul, Pak. Apa Bapak tidak membaca koran apa? Kalimantan Timur itu bakalnya jadi negara emas di dunia, Pak! Hebat, nggih, Pak?”          “Wwe-eh, elok! Terus kamu mau apa?”          “Ya, nderek bingah, Pak. Ikut senang, ikut bangga.”          “Sudah cuma itu?”          “Lho, saya itu juga membayangkan kalau saya ikut-ikutan cari emas di sana!”          “Iyo, Pakne?”          “Iyo, Pakne?”          “Iyo, Pakne?”          “Terus nanti saya jadi kaya banget. Dapat emas sak-tekruk, sak-hohah. Kamu mau anting, kalung, gelang emas sak-berapa, Bune? Dan Beni, Tolo-tolo, mau apa kamu? Sepeda Federal baru, sepeda motor seperti punya Mandra?”    Saya diam, ternganga, mendengar Mister Rigen yang tiba-tiba beringas kejangkitan gold fever, demam emas. Lebih dahsyat lagi kedengarannya dia kepingin pergi ke Kalimantan mendulang emas, ikut-ikutan arus gold-rush. Apa dia juga membayangkan itu semua seperti di film-film Holywood itu? Wah, berabe itu!”          “Atau kalau kita sudah kaya betul, kita pindah sekalian ke sana. Tambang emas itu mesti kita tunggui bersama-sama Bune, Tole-tole!”          “Cuma kita Pak, yang nunggu tambang emas kita?”          “Yo ora, too, bego! Bapak mesti punya satpam sak-batalyon yang jaga.”          “Anjing herder, Pak, anjing herder?”          “Ooh, apesnya tujuh ekor, Le.”          “Huk, huk, huk, huk!”          “Heisy, ora usah melo njegog! Nggak usah ikutan menyalak, kamu!”    Saya masih terkesima melihat dan mendengar Mister Rigen & Family pada kerasukan demit emas Kalimantan.          “Lha, terus simbah-simbah di Pracimantoro dan Jatisrono, priye, Pak? Masak ya ditinggal?”          “Iyo, lho, Pak  Terus bagaimana mereka? Apa di Kalimantan itu ada juga sawah dan tegalan seperti di Jawa?” “Ada kerbau, sapi dan kambing, Pak?”    Mereka tiba-tiba semua terdiam. Mungkin membayangkan desa kedua orang-tuanya beserta tegalan dan ternak mereka. Mungkin tiba-tiba mereka sadar akan jauhnya Kalimantan dan belum menentunya tambang emas itu.    Akan saya sendiri, tiba-tiba membayangkan bule-bule Kanada yang pada ikut punya konsesi tambang emas itu. Dan juga para pemilik-pemilik konglomerat Indonesia yang ikut petentengan bersama mereka. Pada wira-wiri, pake topi-topi lebar, dan menenteng  ganco, sekop dan entah apa lagi.          “Wah, Pak, Bune, tole kabeh. Yen tak pikir-pikir, kita sak-gotrah itu sudah kejauhan mimpi. Jebulnya, yang paling baik itu ya di sini saja. Nderek Pak Ageng. Nggih Pak, nggih?”    Saya cuma mantuk-mantuk lega sembari bilang.          “Ha iyo begitu, too. Iyo, iyo, iyoo..”    Malam itu kami rame-rame makan bakmi godog Jumpa Pers…   7 Januari 1997 Umar Kayam SATRIO PININGIT ING KAMPUNG PINGIT Mangan Ora Mangan Kumpul-4 (Kumpulan kolom harian Kedaulatan Rakyat,Yogyakarta, 7 Januari 1997 s.d. 28 Oktober 1999)

0 comment:

Posting Komentar