Sabtu, 21 Mei 2011

Memburu Salju Musim Gugur


Oleh Sigit Adinugroho

Untuk membaca bagian pertama, silakan klik di sini. Bagian kedua, silakan klik di sini.
Malam itu juga saya harus berangkat meninggalkan Östersund untuk mengejar tujuan utama saya: melintasi garis Lingkar Arktik (Arctic Circle). Ini sebuah garis semu di atas permukaan bumi yang menandakan batas antara daerah Arktik dan subtropis.

Saya mempersiapkan ransel dan isinya dengan diawali kepanikan: tas ransel yang saya titipkan seharian di resepsionis hotel masih terkunci di ruang penyimpanan barang. Dua puluh menit  sebelum kereta berangkat, akhirnya saya mendapatkan ransel itu dan langsung berangkat ke stasiun kereta api.

Saya berangkat dari stasiun kereta api Östersund yang mungil itu sekitar pukul 21.00, menumpang kereta jarak dekat menuju kota Bräcke di tenggara. Perjalanan ini memakan waktu satu jam. Tiba di Bräcke, saya menunggu satu jam lebih untuk rangkaian gerbong yang akan membawa saya ke Narvik, Norwegia. Suhu malam hari itu mendekati 0°C dan tak berangin.



Kereta api datang tepat pada waktunya sekitar pukul 23.00. Gerbong dan tempat tidurnya mirip dengan kereta yang saya tumpangi dari Stockholm ke Östersund. Setelah memasang seprai dan meletakkan bantal, saya lalu merebahkan diri.

Perjalanan ini membelah sisi timur laut Swedia sebelum berbelok ke arah barat di Boden, lalu berlanjut ke Gällivare, menembus perbatasan melalui Riksgränsen. Setengah perjalanan ini akan dilalui pada malam hari sampai matahari terbit.

Pemandangan antara Boden dan Narvik adalah salah satu pemandangan kereta api terindah yang pernah saya lihat. Ke mana pun mata memandang, semuanya serba putih tertutup salju. Saya senang, inilah pertama kali saya melihat salju.

Kontur lanskap cenderung datar dengan sedikit bukit di sana-sini berselimutkan salju. Sinar matahari yang masih jingga berpadu dengan langit yang sungguh biru jernih. Sesekali, kereta melewati sungai yang membeku. Kami juga melintasi Lingkar Arktik di pertengahan jalan antara Boden dan Gällivare. Tanpa penanda apa pun, kejadian itu berlangsung cepat. Tiba-tiba saya mampir ke pekarangan Kutub Utara!



Di dalam gerbong, penumpang lain sudah mulai bangun dari tidurnya dan bergegas ke kereta makan untuk membeli makanan dan minumannya sendiri. Paket sarapan senilai hampir Rp 100 ribu berisikan roti isi dan secangkir kopi, teh, atau susu.

(Tidak ada nasi goreng atau “zuppa soup” ala kereta api Parahyangan di sini).

Kereta berhenti di hampir setiap stasiun, walau hanya sepuluh menit. Di satu stasiun, terdengar suara para anggota keluarga yang berpelukan dan melepas rindu, di tengah hamparan salju tebal yang menutupi peron.

Di stasiun lain, terlihat petugas membersihkan tumpukan salju yang sangat tebal. Ada juga yang tampak membawa anjingnya berkeliling. Kebanyakan stasiun kereta api di sini tak punya pagar dan hanya berupa peron sederhana.

Guna menghindari penumpukan salju pada beberapa bagian, pemerintah membangun beberapa kanopi kayu berbentuk segitiga yang sayangnya, agak mengganggu kegiatan menikmati pemandangan.



Ketika kereta berhenti, saya menyempatkan membuka jendela untuk memotret, walau saya tahu di luar angin menerjang dan suhu di bawah nol. Semakin mendekati perbatasan Swedia-Norwegia, jumlah penumpang gerbong semakin berkurang. Rasanya mereka yang ikut sampai Narvik adalah warga negara Norwegia sendiri.

Ketika melalui perbatasan, masinis mengumumkan dan memberi ucapan selamat datang ke Norwegia.

Seketika, lanskap berubah drastis! Kontur datar di Swedia tiba-tiba berganti ekstrem: perbukitan dengan tebing curam, disambung dengan aliran air dari hulu dengan bebatuan yang berserak.

Pohon-pohon ramping yang tumbuh di tebing securam itu membuat saya ternganga. Pemandangan berubah menjadi fjord (semacam teluk yang tercipta dari lelehan gletser) bertabur salju, lalu berliuk-liuk, kemudian memberi jalan pada sekumpulan rumah mungil bercat warna-warni yang ada di tebing seberang.

Peralihan yang begitu drastis, namun magis dan penuh pesona. Lanskap Norwegia adalah karya Tuhan yang termasyhur. Komposisinya mencengangkan.

Satu jam kemudian, kota Narvik terlihat dari atas bukit di kejauhan. Terletak di pinggiran fjord, kota ini sangat cantik. Tak terbayang oleh saya, bagaimana kota ini sempat jadi saksi pertempuran antara koalisi Jerman-Austria yang hendak menduduki Norwegia yang dibantu Inggris.



Narvik, bagi saya, menjadi “negeri antah-berantah” tempat saya berlabuh untuk saat ini. Pukul satu siang, saya menjejakkan kaki pertama kali di atas salju kota ini. Suhu waktu itu masih 0-2 °C. Perjalanan 15 jam ini saya akhiri dengan rasa puas, namun penasaran.

Apakah saya masih bisa lebih ke arah utara lagi? Ah, saya biarkan saja rasa penasaran itu tersimpan untuk edisi perjalanan berikutnya. Bis yang membawa saya ke tujuan berikutnya melaju kencang melewati tatanan fjord yang spektakuler, menembus kabut dan sinar matahari di atas jalan yang berkelok tajam. Sempurna.

Saya merasa berkunjung sendiri ke negeri Santa Klaus untuk menjemput sebuah bingkisan. Lalu, memikirkan bagaimana cara membawanya pulang ke selatan melalui pesisir Norwegia. Barangkali inilah The Polar Express sesungguhnya! 

Total biaya yang dikeluarkan


Stockholm - Östersund (7 jam): Sleeper train, 565 krona (sekitar Rp 750 ribu)
Östersund - Bräcke (1 jam): Seat, 63 krona (sekitar Rp 85 ribu)
Bräcke - Narvik (13 jam): Sleeper train, 529 krona (sekitar Rp 708 ribu)
(Di luar makanan dan minuman)

Tips: Semua tiket kereta api dapat dibeli online (dengan kartu kredit) melalui website Statens Järnvägar (SJ) di http://www.sj.se.

Bukti reservasi dicetak sendiri untuk ditukarkan dengan tiket sebenarnya di stasiun. Semua bahasa dalam tiket adalah bahasa Swedia, jadi pastikan Anda bertanya kepada petugas peron tentang gerbong dan kompartemen yang benar. Siapkan makanan sendiri supaya hemat. Pilihlah penginapan di dekat stasiun.

Sigit Adinugroho bisa dikunjungi di blog perjalanannya, www.ranselkecil.com.

0 comment:

Posting Komentar