Banyak orang mengenal rukun iman tanpa mengetahui makna dan hikmah  yang terkandung dalam keenam rukun iman tersebut. Salah satunya adalah  iman kepada takdir. Tidak semua orang yang mengenal iman kepada takdir,  mengetahui hikmah dibalik beriman kepada takdir dan bagaimana mengimani  takdir. Berikut sedikit ulasan mengenai iman kepada takdir Allah yang  baik dan yang buruk.
 Takdir (qadar) adalah perkara yang telah diketahui  dan ditentukan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan telah dituliskan oleh  al-qalam (pena) dari segala sesuatu yang akan terjadi hingga akhir  zaman. (Terj. Al Wajiiz fii ‘Aqidatis Salafish Shalih Ahlis Sunnah wal Jama’ah, hal. 95)
 Allah telah menentukan segala perkara untuk makhluk-Nya sesuai dengan ilmu-Nya yang terdahulu (azali) dan ditentukan oleh hikmah-Nya. Tidak ada sesuatupun yang terjadi melainkan atas kehendak-Nya dan tidak ada sesuatupun yang keluar dari kehendak-Nya. Maka, semua yang terjadi dalam kehidupan seorang hamba adalah berasal dari ilmu, kekuasaan dan kehendak Allah, namun tidak terlepas dari kehendak dan usaha hamba-Nya.
Allah Ta’ala berfirman,
 إنا كل شىء خلقنه بقدر
 “Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.” (Qs. Al-Qamar: 49)
 وخلق كـل شىء فقدره, تقديرا
 “Dan Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya.” (Qs. Al-Furqan: 2)
 وإن من شىء إلا عنده بمقدار
 “Dan tidak ada sesuatupun melainkan pada sisi Kami-lah  khazanahnya, dan Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran  tertentu.” (Qs. Al-Hijr: 21)
 Mengimani takdir baik dan takdir buruk, merupakan salah satu rukun  iman dan prinsip ‘aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Tidak akan sempurna  keimanan seseorang sehingga dia beriman kepada takdir, yaitu dia  mengikrarkan dan meyakini dengan keyakinan yang dalam bahwa segala  sesuatu berlaku atas ketentuan (qadha’) dan takdir (qadar) Allah.
 Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
 لا يؤمن عبد حتى يؤمن بالقدر خبره وشره حتى بعلم أن ما أصابه لم يكن ليخطئه وأن ما أخطأه لم يكن ليصيبه
 “Tidak beriman salah seorang dari kalian hingga dia beriman  kepada qadar baik dan buruknya dari Allah, dan hingga yakin bahwa apa  yang menimpanya tidak akan luput darinya, serta apa yang luput darinya  tidak akan menimpanya.” (Shahih, riwayat Tirmidzi dalam Sunan-nya (IV/451) dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu,  dan diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya (no. 6985) dari  ‘Abdullah bin ‘Amr. Syaikh Ahmad Syakir berkata: ‘Sanad hadits ini  shahih.’ Lihat juga Silsilah al-Ahaadits ash-Shahihah (no. 2439), karya  Syaikh Albani rahimahullah)
 Jibril ‘alaihis salam pernah bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai iman, maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
 الإيمان أن تؤ من با لله وملا ئكته وكتبه ورسله واليوم الا خر وتؤ من بالقدرخيره وشره
 “Engkau beriman kepada Allah, Malaikat-Malaikat-Nya,  Kitab-Kitab-Nya, Rasul-Rasul-Nya, hari akhir serta qadha’ dan qadar,  yang baik maupun yang buruk.”
(Shahih, riwayat Muslim dalam Shahih-nya di kitab al-Iman wal Islam wal Ihsan (VIII/1, IX/5))
 (Shahih, riwayat Muslim dalam Shahih-nya di kitab al-Iman wal Islam wal Ihsan (VIII/1, IX/5))
Dan Shahabat ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma juga pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
 كل شيء بقدر حتى العجز والكيسز
 “Segala sesuatu telah ditakdirkan, sampai-sampai kelemahan dan kepintaran.”
(Shahih, riwayat Muslim dalam Shahih-nya (IV/2045), Tirmidzi dalam Sunan-nya (IV/452), Ibnu Majah dalam Sunan-nya (I/32), dan al-Hakim dalam al-Mustadrak (I/23))
 (Shahih, riwayat Muslim dalam Shahih-nya (IV/2045), Tirmidzi dalam Sunan-nya (IV/452), Ibnu Majah dalam Sunan-nya (I/32), dan al-Hakim dalam al-Mustadrak (I/23))
Tingkatan Takdir 
 Beriman kepada takdir tidak akan sempurna kecuali dengan empat  perkara yang disebut tingkatan takdir atau rukun-rukun takdir. Keempat  perkara ini adalah pengantar untuk memahami masalah takdir. Barang siapa  yang mengaku beriman kepada takdir, maka dia harus merealisasikan semua  rukun-rukunnya, karena yang sebagian akan bertalian dengan sebagian  yang lain. Barang siapa yang mengakui semuanya, baik dengan lisan,  keyakinan dan amal perbuatan, maka keimanannya kepada takdir telah  sempurna. Namun, barang siapa yang mengurangi salah satunya atau lebih,  maka keimanannya kepada takdir telah rusak.
 Tingkatan Pertama: al-’Ilmu (Ilmu)
 Yaitu, beriman bahwa Allah mengetahui dengan ilmu-Nya yang azali  mengenai apa-apa yang telah terjadi, yang akan terjadi, dan apa yang  tidak terjadi, baik secara global maupun terperinci, di seluruh penjuru  langit dan bumi serta di antara keduanya. Allah Maha Mengetahui semua  yang diperbuat makhluk-Nya sebelum mereka diciptakan, mengetahui rizki,  ajal, amal, gerak, dan diam mereka, serta mengetahui siapa di antara  mereka yang sengsara dan bahagia.
 Allah Ta’ala telah berfirman,
 ألم تعلم أن الله يعلم ما فى السـماء والأرض ۗإن ذلك فى كتـب ۚإن ذلك على الله يسر
 “Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui  apa saja yang ada di langit dan di bumi? Bahwasanya yang demikian itu  terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian  itu amat mudah bagi Allah.” (Qs. Al-Hajj: 70)
 وعنده, مفاتح الغيب لا يعلمها إلا هو ۚ ويعلم ما فى البر  والبحر ۚوما تسقـط من ورقة إلا يعلمها ولا حبة فى ظلمت الأرض ولا رطب ولا  يا بس إلا فى كتب مبين
 “Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua perkara yang ghaib,  tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia Maha  Mengetahui apa yang ada di daratan dan di lautan, dan tidak ada sehelai  daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh  sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak juga sesuatu yang basah  atau yang kering, melainkan telah tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh  Mahfuzh).” (Qs. Al-An’aam: 59)
 إن الله بكل شيء عليم
 “Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui atas segala sesuatu.” (Qs. At-Taubah: 115)
 Tingkatan Kedua: al-Kitaabah (Penulisan)
 Yaitu, mengimani bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menuliskan apa  yang telah diketahui-Nya berupa ketentuan-ketentuan seluruh makhluk  hidup di dalam al-Lauhul Mahfuzh. Suatu kitab yang tidak meninggalkan  sedikit pun di dalamnya, semua yang terjadi, apa yang akan terjadi, dan  segala yang telah terjadi hingga hari Kiamat, ditulis di sisi Allah  Ta’ala dalam Ummul Kitab.
 Allah Ta’ala berfirman,
 و كل شيء أحصينه فى إمام مبـين
 “Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam kitab induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (Qs. Yaasiin: 12)
 ما أصاب من مصيبة فى الأرض ولا فى أنفسكم إلا فى كـتب من قبل أن نبرأهاۚۚإن ذلك على الله يسر
 “Tidak ada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak  pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh  Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya.” (Qs. Al-Hadiid: 22)
 Dan  Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
 كتب الله مقادير الخلا ئق قبل أن يخلق السماوات زالأرض بخمسبن ألف سنة
 “Allah telah menulis seluruh takdir seluruh makhluk sejak lima puluh ribu tahun sebelum Allah menciptakan langit dan bumi.”
(Shahih, riwayat Muslim dalam Shahih-nya, kitab al-Qadar (no. 2653), dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-’Ash radhiyallahu ‘anhuma, diriwayatkan pula oleh Tirmidzi (no. 2156), Imam Ahmad (II/169), Abu Dawud ath-Thayalisi (no. 557))
 (Shahih, riwayat Muslim dalam Shahih-nya, kitab al-Qadar (no. 2653), dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-’Ash radhiyallahu ‘anhuma, diriwayatkan pula oleh Tirmidzi (no. 2156), Imam Ahmad (II/169), Abu Dawud ath-Thayalisi (no. 557))
Dalam sabdanya yang lain,
 إن أول ما حلق الله القلم, قل له: أكتب! قل: رب وماذا أكتب؟ قل: أكتب مقادير كل شيء حتى تقوم الساعة
 “Yang pertama kali Allah ciptakan adalah al-qalam (pena), lalu Allah  berfirman, ‘Tulislah!’ Ia bertanya, ‘Wahai Rabb-ku apa yang harus aku  tulis?’ Allah berfirman, ‘Tulislah takdir segala sesuatu sampai  terjadinya Kiamat.’”(Shahih, riwayat Abu Dawud (no. 4700), dalam Shahiih  Abu Dawud (no. 3933), Tirmidzi (no. 2155, 3319), Ibnu Abi ‘Ashim dalam  as-Sunnah (no. 102), al-Ajurry dalam asy-Syari’ah (no.180), Ahmad  (V/317), dari Shahabat ‘Ubadah bin ash-Shamit radhiyallahu ‘anhu)
 Oleh karena itu, apa yang telah ditakdirkan menimpa manusia tidak  akan meleset darinya, dan apa yang ditakdirkan tidak akan mengenainya,  maka tidak akan mengenainya, sekalipun seluruh manusia dan golongan jin  mencoba mencelakainya.
 Tingkatan Ketiga: al-Iraadah dan Al Masyii-ah (Keinginan dan Kehendak)
 Yaitu, bahwa segala sesuatu yang terjadi di langit dan di bumi adalah sesuai dengan keinginan dan kehendak (iraadah dan masyii-ah)  Allah yang berputar di antara rahmat dan hikmah. Allah memberi petunjuk  kepada siapa yang dikehendaki-Nya dengan rahmat-Nya, dan menyesatkan  siapa yang dikehendaki-Nya dengan hikmah-Nya. Dia tidak boleh ditanya  mengenai apa yang diperbuat-Nya karena kesempurnaan hikmah dan  kekuasaan-Nya, tetapi kita, sebagai makhluk-Nya yang akan ditanya  tentang apa yang terjadi pada kita, sesuai dengan firman-Nya,
 لايسئل عما يفعل وهم يسئلون
 “Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya, dan merekalah yang akan ditanyai.” (Qs. Al-Anbiyaa’: 23)
 Kehendak  Allah itu pasti terlaksana, juga kekuasaan-Nya sempurna  meliputi segala sesuatu. Apa yang Allah kehendaki pasti akan terjadi,  meskipun manusia berupaya untuk menghindarinya, dan apa yang tidak  dikehendaki-Nya, maka tidak akan terjadi, meskipun seluruh makhluk  berupaya untuk mewujudkannya
.
Allah Ta’ala berfirman,
 .
Allah Ta’ala berfirman,
فمن يردالله أن يهديه يشرح صدره للإسلام ۚومن يرد أن يضله يجعل صدره ضيقاحرجا
 “Barang siapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya  petunjuk, niscaya Dia akan melapangkan dadanya untuk (memeluk agama)  Islam. Dan barang siapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya  Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit.” (Qs. Al-An’aam: 125)
 وَمَا تَشَاؤُونَ إِلَّا أَن يَشَاءَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ
 “Dan kamu tidak dapat menhendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Rabb semesta alam.” (Qs. At-Takwir: 29)
 Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
 إن قلوب بني أدم كلها بين إصبعـين من أصا بع الرحمن, كـقلب وا حد, يصرفه حيث يشاء
 “Sesungguhnya hati-hati manusia seluruhnya di antara dua jari  dari jari jemari Ar-Rahmaan seperti satu hati; Dia memalingkannya kemana  saja yang dikehendaki-Nya.”
(Shahih, riwayat Muslim dalam Shahih-nya (no. 2654). Lihat juga Silsilah al-Ahaadits ash-Shahihah (no. 1689))
 (Shahih, riwayat Muslim dalam Shahih-nya (no. 2654). Lihat juga Silsilah al-Ahaadits ash-Shahihah (no. 1689))
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “Para Imam Salaf dari  kalangan umat Islam telah ijma’ (sepakat) bahwa wajib beriman kepada  qadha’ dan qadar Allah yang baik maupun yang buruk, yang manis maupun  yang pahit, yang sedikit maupun yang banyak. Tidak ada sesuatu pun  terjadi kecuali atas kehendak Allah dan tidak terwujud segala kebaikan  dan keburukan kecuali atas kehendak-Nya. Dia menciptakan siapa saja  dalam keadaan sejahtera (baca: menjadi penghuni surga) dan ini merupakan  anugrah yang Allah berikan kepadanya dan menjadikan siapa saja yang Dia  kehendaki dalam keadaan sengsara (baca: menjadi penghuni neraka). Ini  merupakan keadilan dari-Nya serta hak absolut-Nya dan ini merupakan ilmu  yang disembunyikan-Nya dari seluruh makhluk-Nya.” (al-Iqtishaad fil I’tiqaad, hal. 15)
 Tingkatan Keempat: al-Khalq (Penciptaan)
 Yaitu, bahwa Allah adalah Pencipta (Khaliq) segala sesuatu yang tidak  ada pencipta selain-Nya, dan tidak ada rabb selain-Nya, dan segala  sesuatu selain Allah adalah makhluk. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,
 الله خـلق كل شىء  ۖوهو على كل شىء وكيل
 “Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu.” (Qs. Az-Zumar: 62)
 Meskipun Allah telah menentukan takdir atas seluruh hamba-Nya, bukan  berarti bahwa hamba-Nya dibolehkan untuk meninggalkan usaha. Karena  Allah telah memberikan qudrah (kemampuan) dan masyii-ah (keinginan)  kepada hamba-hamba-Nya untuk mengusahakan takdirnya. Allah juga  memberikan akal kepada manusia, sebagai tanda kesempurnaan manusia  dibandingkan dengan makhluk-Nya yang lain, agar manusia dapat membedakan  antara kebaikan dan keburukan. Allah tidak menghisab hamba-Nya kecuali  terhadap perbuatan-perbuatan yang dilakukannya dengan kehendak dan  usahanya sendiri. Manusialah yang benar-benar melakukan suatu amal  perbuatan, yang baik dan yang buruk tanpa paksaan, sedangkan Allah-lah  yang menciptakan perbuatan tersebut. Hal ini berdasarkan firman-Nya,
 والله حلقكم وما تعملون
 “Padahal Allah-lah yang menciptakanmu dan apa yang kamu perbuat itu.” (Qs. Ash-Shaaffaat: 96)
Dan Allah Ta’ala juga berfirman, yang artinya,
 Dan Allah Ta’ala juga berfirman, yang artinya,
لا يكلف الله نفسا إلا وسعها
 “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kemampuannya.” (Qs. Al-Baqarah: 286)
 Hikmah Beriman Kepada Takdir
 Beriman kepada takdir akan mengantarkan kita kepada sebuah hikmah  penciptaan yang mendalam, yaitu bahwasanya segala sesuatu telah  ditentukan. Sesuatu tidak akan menimpa kita kecuali telah Allah tentukan  kejadiannya, demikian pula sebaliknya. Apabila kita telah faham dengan  hikmah penciptaan ini, maka kita akan mengetahui dengan keyakinan yang  dalam bahwa segala sesuatu yang datang dalam kehidupan kita tidak lain  merupakan ketentuan Allah atas diri kita. Sehingga ketika musibah datang  menerpa perjalanan hidup kita, kita akan lebih bijak dalam memandang  dan menyikapinya. Demikian pula ketika kita mendapat giliran memperoleh  kebahagiaan, kita tidak akan lupa untuk mensyukuri nikmat Allah yang  tiada henti.
 Manusia memiliki keinginan dan kehendak, tetapi keinginan dan  kehendaknya mengikuti keinginan dan kehendak Rabbnya. Golongan Ahlus  Sunnah menetapkan dan meyakini bahwa segala yang telah ditentukan,  ditetapkan dan diperbuat oleh Allah memiliki hikmah dan segala usaha  yang dilakukan manusia akan membawa hasil atas kehendak Allah.
 Ingatlah saudariku, tidak setiap hal akan berjalan sesuai dengan apa  yang kita harapkan, maka hendaklah kita menyerahkan semuanya dan beriman  kepada apa yang telah Allah tentukan. Jangan sampai hati kita menjadi  goncang karena sedikit ’sentilan’, sehingga muncullah bisikan-bisikan  dan pikiran-pikiran yang akan mengurangi nikmat iman kita. Dengarlah  sabda Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam,
 إحرص على ما ينفعك, واستعن بالله ولا تعجز, فإن أصا بك شيء  فلا تقل: لو أني فعلت كذا وكذا لكن كذا وكذا, ولكن قل: قدر الله وما شاء  فعل, فإن (لو) تفتح عمل الشيطان
 “Berusahalah untuk mendapatkan apa yang bermanfaat bagimu, dan  mintalah pertolongan Allah dan janganlah sampai kamu lemah (semangat). Jika sesuatu menimpamu, janganlah engkau berkata ’seandainya aku melakukan ini dan itu, niscaya akan begini dan begitu.’ Akan tetapi katakanlah ‘Qodarullah wa maa-syaa-a fa’ala  (Allah telah mentakdirkan segalanya dan apa yang dikehendaki-Nya pasti  dilakukan-Nya).’ Karena sesungguhnya (kata) ’seandainya’ itu akan  mengawali perbuatan syaithan.”
(Shahih, riwayat Muslim dalam Shahih-nya (no. 2664))
 (Shahih, riwayat Muslim dalam Shahih-nya (no. 2664))
Tidak ada seorang pun yang dapat bertindak untuk merubah apa yang  telah Allah tetapkan untuknya. Maka tidak ada seorang pun juga yang  dapat mengurangi sesuatu dari ketentuan-Nya, juga tidak bisa  menambahnya, untuk selamanya. Ini adalah perkara yang telah  ditetapkan-Nya dan telah selesai penentuannya. Pena telah terangkat dan  lembaran telah kering.
 Berdalih dengan takdir diperbolehkan ketika mendapati musibah dan  cobaan, namun jangan sekali-kali berdalih dengan takdir dalam hal  perbuatan dosa dan kesalahan. Setiap manusia tidak boleh memasrahkan  diri kepada takdir tanpa melakukan usaha apa pun, karena hal ini akan  menyelisihi sunnatullah. Oleh karena itu berusahalah semampunya,  kemudian bertawakkallah.
 Sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya,
 وتوكل على الله ۚ إنه هو السميع العليم
 “Dan bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Qs. Al-Anfaal: 61)
 ومن يتو كل على الله فهو حسبه
 “Barang siapa bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupi (keperluan)nya.” (Qs. Ath-Thalaq: 3)
 Dan jika kita mendapatkan musibah atau cobaan, janganlah berputus asa  dari rahmat Allah dan janganlah bersungut-sungut, tetapi bersabarlah.  Karena sabar adalah perisai seorang mukmin yang dia bersaudara kandung  dengan kemenangan. Ingatlah bahwa musibah atau cobaan yang menimpa kita  hanyalah musibah kecil, karena musibah dan cobaan terbesar adalah  wafatnya  Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana disebutkan dalam sabdanya,
 إذا أصاب أحدكم مصيبة فليذكر مصيبة بى, فإنها من أعظم المصائب
 “Jika salah seorang diantara kalian tertimpa musibah, maka  ingatlah musibah yang menimpaku, sungguh ia merupakan musibah yang  paling besar.”
(Shahih li ghairih, riwayat Ibnu Sa’ad dalam Ath-Thabaqat (II/375), Ad-Darimi (I/40))
 (Shahih li ghairih, riwayat Ibnu Sa’ad dalam Ath-Thabaqat (II/375), Ad-Darimi (I/40))
Apabila hati kita telah yakin dengan setiap ketentuan Allah, maka  segala urusan akan menjadi lebih ringan, dan tidak akan ada kegundahan  maupun kegelisahan yang muncul dalam diri kita, sehingga kita akan lebih  semangat lagi dalam melakukan segala urusan tanpa merasa khawatir  mengenai apa yang akan terjadi kemudian. Karena kita akan menggenggam  tawakkal sebagai perbekalan ketika menjalani urusan dan kita akan  menghunus kesabaran kala ujian datang menghadang.
Wallahu Ta’ala a’lam wal musta’an.
 Wallahu Ta’ala a’lam wal musta’an.
Penulis: Ummu Sufyan Rahmawaty Woly
Muraja’ah: Ust. Aris Munandar
 Muraja’ah: Ust. Aris Munandar
Maraji’:
Al-Iqtishaad fil I’tiqaad, karya Imam Ibnu Qudamah, cetakan Maktabah Al-’Uluum wal Hikam.
Al-Wajiz fii ‘Aqidatis Salafish Shalih Ahlis Sunnah wal Jama’ah (Edisi Indonesia: Panduan ‘Aqidah Lengkap), karya Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdul Hamid Al-Atsari, cetakan Pustaka Ibnu Katsir.
‘Aqidatus Salaf Ash-habul Hadiits (Edisi Indonesia: ‘Aqidah Salaf Ash-habul Hadits), karya Syaikh Abu Isma’il Ash-Shabuni, cetakan Pustaka At-Tibyan.
‘Aqidah Salaf Ahlus Sunnah wal Jama’ah, karya Abdul Hakim bin Amir Abdat, cetakan Maktabah Mu’awiyah bin Abi Sufyan.
At-Ta’liqat Al-Mukhtasharah ‘Ala Matni Al-’Aqidah Ath-Thahawiyah (Edisi Indonesia: Penjelasan Ringkas Matan Al-’Aqidah Ath-Thahawiyah), karya Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, cetakan Pustaka Sahifa.
At-Tawakkul ‘alallaahi Ta’aalaa (Edisi Indonesia: Hidup Tentram dengan Tawakkal), karya Dr. ‘Abdullah bin ‘Umar Ad-Duwaiji, cetakan Pustaka Ibnu Katsir.
Fathul Baari Syarah Shahih Bukhari, karya Imam Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani, cetakan Darul Hadits.
Fathul Majid Syarah Kitaabut Tauhid (Edisi Indonesia: Fathul Majid), karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, cetakan Pustaka Sahifa.
Meniru Sabarnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (Edisi Terjemah), karya Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali, cetakan Pustaka Darul Ilmi.
Syarah ‘Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, karya Yazid bin Abdul Qadir Jawas, cetakan Pustaka Imam Asy-Syafi’i.
Syarah Lum’atul I’tiqad (Edisi Indonesia: Wahai Saudaraku, Inilah ‘Aqidahmu), karya Syaikh Muhammad bin Utsaimin, cetakan Pustaka Ibnu Katsir.
Syarah Ushulil I’tiqad Ahlis Sunnah wal Jama’ah, karya Imam Al-Hafizh Al-Laalikai, cetakan Darul Hadits.
Ushulus Sunnah (Edisi Indonesia: ‘Aqidah Shahih Penyebab Selamatnya Seorang Muslim), karya Al-Hafizh Abu Bakar Al-Humaidi, cetakan Pustaka Imam Asy-Syafi’i.
Ushulus Sunnah (Edisi Indonesia: Ushulus Sunnah), karya Imam Ahmad bin Hambal, cetakan Pustaka Darul Ilmi.
 Al-Iqtishaad fil I’tiqaad, karya Imam Ibnu Qudamah, cetakan Maktabah Al-’Uluum wal Hikam.
Al-Wajiz fii ‘Aqidatis Salafish Shalih Ahlis Sunnah wal Jama’ah (Edisi Indonesia: Panduan ‘Aqidah Lengkap), karya Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdul Hamid Al-Atsari, cetakan Pustaka Ibnu Katsir.
‘Aqidatus Salaf Ash-habul Hadiits (Edisi Indonesia: ‘Aqidah Salaf Ash-habul Hadits), karya Syaikh Abu Isma’il Ash-Shabuni, cetakan Pustaka At-Tibyan.
‘Aqidah Salaf Ahlus Sunnah wal Jama’ah, karya Abdul Hakim bin Amir Abdat, cetakan Maktabah Mu’awiyah bin Abi Sufyan.
At-Ta’liqat Al-Mukhtasharah ‘Ala Matni Al-’Aqidah Ath-Thahawiyah (Edisi Indonesia: Penjelasan Ringkas Matan Al-’Aqidah Ath-Thahawiyah), karya Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, cetakan Pustaka Sahifa.
At-Tawakkul ‘alallaahi Ta’aalaa (Edisi Indonesia: Hidup Tentram dengan Tawakkal), karya Dr. ‘Abdullah bin ‘Umar Ad-Duwaiji, cetakan Pustaka Ibnu Katsir.
Fathul Baari Syarah Shahih Bukhari, karya Imam Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani, cetakan Darul Hadits.
Fathul Majid Syarah Kitaabut Tauhid (Edisi Indonesia: Fathul Majid), karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, cetakan Pustaka Sahifa.
Meniru Sabarnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (Edisi Terjemah), karya Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali, cetakan Pustaka Darul Ilmi.
Syarah ‘Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, karya Yazid bin Abdul Qadir Jawas, cetakan Pustaka Imam Asy-Syafi’i.
Syarah Lum’atul I’tiqad (Edisi Indonesia: Wahai Saudaraku, Inilah ‘Aqidahmu), karya Syaikh Muhammad bin Utsaimin, cetakan Pustaka Ibnu Katsir.
Syarah Ushulil I’tiqad Ahlis Sunnah wal Jama’ah, karya Imam Al-Hafizh Al-Laalikai, cetakan Darul Hadits.
Ushulus Sunnah (Edisi Indonesia: ‘Aqidah Shahih Penyebab Selamatnya Seorang Muslim), karya Al-Hafizh Abu Bakar Al-Humaidi, cetakan Pustaka Imam Asy-Syafi’i.
Ushulus Sunnah (Edisi Indonesia: Ushulus Sunnah), karya Imam Ahmad bin Hambal, cetakan Pustaka Darul Ilmi.
***
Artikel muslimah.or.id
Artikel muslimah.or.id







0 comment:
Posting Komentar