Kapan pertama kali kamu bisa melihat dunia dengan pandangan yang berbeda? Kapan pertama kali kamu menyadari bahwa kamu memiliki pemikiran yang salah tentang sesuatu, bahkan tentang dirimu sendiri. Dan kapan pertama kali kamu mengambil jalan yang salah dan kamu menyadari resikonya, tapi tetap kamu ambil. Begitulah, akan tiba satu masa untuk aku berubah menjadi orang yang dewasa. Dan sayang, sampai detik ini masa itu belum juga tiba. Lalu untuk apa aku menanyakan hal tersebut? Aku menemukan dan melihat saat-saat itu terjadi pada seseorang. Seseorang yang begitu dekat.
Sepertinya terjadi di awal tahun 2010. Tepat ketika aku baru saja 2 bulan menginjakkan kaki di kursi kelas X Sekolah Menengah Atas. Mungkin cerita ini akan terasa sama membosankannya dengan ke-4 cerita sebelumnya. Masih tentang kesialan menjalani kisah asmara.
Namanya Gina. Dia adalah teman satu ekskul, tepatnya klub yang berhubungan erat dengan angka dan kata, matematika. Dan satu-satunya alasan aku masuk ke klub tersebut adalah Gina. Iya, sudah terlalu banyak aktifitas lain yang menghabiskan waktu diluar jam pelajaran.
Sepertinya terjadi di awal tahun 2010. Tepat ketika aku baru saja 2 bulan menginjakkan kaki di kursi kelas X Sekolah Menengah Atas. Mungkin cerita ini akan terasa sama membosankannya dengan ke-4 cerita sebelumnya. Masih tentang kesialan menjalani kisah asmara.
Namanya Gina. Dia adalah teman satu ekskul, tepatnya klub yang berhubungan erat dengan angka dan kata, matematika. Dan satu-satunya alasan aku masuk ke klub tersebut adalah Gina. Iya, sudah terlalu banyak aktifitas lain yang menghabiskan waktu diluar jam pelajaran.
Pertemuanku dengan Gina dimulai sebelum aku menjadi Siswa Menengah Atas. Tepatnya di liburan panjang pasca kelulusan SMP. Dan aku menghabiskan waktu untuk berwisata ke sebuah perbukitan yang memiliki objek wisata yang beragam. Dimulai dari kaki pendakian, ada sebuah tempat pemandian dengan terapi ikan Hiu. Ikan Hiu itu bisa menghilangkan kejombloan seseorang. Jadi, ketika ada seorang jomvlo mencemplungkan diri kedalam kolam, tak perlu menghitung waktu lama sampai si jomblo itu hilang dimakan Hiu.
Di kaki bukit ada objek wisata yang cocok untuk wisata bersama keluarga besar. Dataran luas yang rindang dengan pohon-pohon yang rimbun, rumput hijau bak karpet besar yang menutupi taman. Juga dilengkapi dengan gubuk-gubuk yang bisa digunakan untuk tiduran, makan-makan atau sekedar tempat merenung untuk mereka meratapi kejombloan. Dan yang paling penting, ada wahana seperti banci jumping wkakak, flying fox dan air terjun. Nah, di air terjun tersebut lah aku bertemu dengan Gina yang sedang sama-sama berwisata.
Pertemuannya terasa seperti rindu, rasanya hambar. Dia duduk di tepian sungai yang air begitu jernih mengalir dari air terjun yang tingginya 1/120nya Burj Khalifa, bersama seorang lelaki tampan yang sebaya denganya. Sedang aku duduk tak jauh dari mereka, cukup untuk mendengar suara mereka di kisaran 20 desibel.
Sekilas obrolan mereka terdengar sadis. Mereka bercakap dengan panggilan darling. Cukup mengerikan untuk seumuran anak SMP, meski ada yang lebih buruk. Apa? Panggilan ayah-bunda. Tapi yang sadisnya adalah, obrolan mereka seolah-olah bermuara pada putusnya sebuah hubungan berpacaran.
Dua sampai tiga menit berlalu, terdengar suara tangisan yang yang terasa berat dari Gadis berambut panjang itu. Rambut gina terurai panjang dan basah namun tak sebasah pipinya. Airmatanya mengalir cukup deras hingga terjatuh dari dagunya lalu ikut terbawa arus sungai. Tangisannya pecah tak terlalu lama sampai dengan tetiba lelaki disampingnya berjanjak pergi.
Aku tak begitu mengerti tentang bagaimana menjadi lelaki yang baik. Namun, dia yang meninggalkan seroang wanita dalam keadaan menangis sudahlah pasti brengsek. Dan karena tak begitu mengerti itulah, aku tak tahu apakah yang harus aku lakukan saat itu. Tetap bermain-main dengan air seolah tak tahu apa yang barusan terjadi. Ataukah bersikap seperti hansaplast, mengahapuskan luka seseorang.
Tetapi muncul sesuatu yang lebih tak aku mengerti. Aku beranjak dari tempatku, berjalan tanpa ku sadari dan singgah di samping wanita yang sedang menangis itu. Kemudian duduk tepat di sampingnya hingga bahukami saling beradu. Dia langsung terkaget, wajahnya menatap ke arahku. Matanya mencari-cari lelaki yang barusan pergi namun mendapati aku yang menatapnya dengan wajah penuh pertanyaan 'kamu kenapa? apa yang barusan terjadi? apa yang bisa kulakukan untuk membuatmu berhenti menangis?'. Responnya tidak biasa, tatapannya seolah mengganggapku bukan orang yang baru dia lihat. Wajahnya tak menunjukkan sedikitpun rasa malu atas tangisannya. Padahal air matanya masih mengalir, pipinya masih basah, mukanya memerah dan sembap. Namun tak sepatah katapun terucap di momen itu. Hingga akhirnya aku yang membuka percakapan diantara kami.
"Biru.." Kataku singkat
"Hah? Apa yang biru? " Dia kembali menolehkan wajahnya kearahku, namun giliran dia yang menunjukkan wajah penuh tanya. Mungkin di benaknya, kenapa tidak ia bertanya kenapa atau setidaknya ia berkata cukup, jangan menangis lagi.
"Tali, di belakang.. " Jawabku dengan nada datar. Entah apa yang ada di fikiranku saat itu, tapi terlintas begitu saja. Dan tentu saja, aku terlalu frontal untuk mengungkapkan kecabulanku pada pertemuan pertama.
"Ehhh.. Haha Basah ya baju aku.. " Dia seketika tertawa, tapi tanganya menghapus sesuatu dari matanya. Dan di sela tawanya itu, aku melepaskan hoodie yang aku pakai lalu mengenakannya pada Gina.
"Sorry yaa.. Aku gatau harus ngomong apa biar gak jatuh lagi itu air mata... " seruku pelan. Aku menghembuskan nafas lebih kencang namun dengan ritme yang pelan. Bermaksud menuntun Gina untuk menggunakan ritme bernafas yang sama.
"Ayo ke curug.. Kayaknya rame.. " Dia tetiba beranjak dari tempat duduknya. Menggenggam tangaku lalu menyeretku ke arah air terjun.
Kemudian aku dan dia berkenalan, bercerita tentang banyak hal namun tidak tentang kejadian mengerikan tadi. Saling bertukar nama, nomor telepon dan akun facebook. Dan disitulah aku tahu bahwa dia dan aku berniat melanjutkan sekolah di SMA yang sama. Disitu pula kami berjanji, apabila kami berdua bisa masuk ke SMA tersebut, kami akan pacaran.
Kembali ke paragraf tiga...
Singkat cerita kami berpacaran, namun kami berada di kelas yang berbeda. Padahal, ceritanya akan lebih menyenangkan kalau kami berada di satu kelas yang sama. Tentu! Siapa yang pernah bilang memiliki kekasih di satu kelas, satu sekolah atau satu kerjaan yang sama itu membosankan? Bohong!
Hari demi hari kami jalani dengan bahagia. Tentu, memiliki pacar yang perhatian, cantik, baik, pintar sangatlah menyenangkan bagiku. Setidaknya menyenangkan pada bulan-bulan pertama.
Aku memanggil dia 'darling' dan begitupun demikian. Bisa dibilang, dia adalah pacar resmi pertamaku. Tentu, sebelumnya aku hanya terjerat di hubungan tanpa status yang sah. Tidak jauh dari Friendzone dan ojekzone.
Setiap jam istirahat kami selalu pergi ke kantin bersama. Ikut ekskul bersama. Pulangpun bersama, tentu karena rumah kost aku dan dia berada pada satu jalan yang sama. Terkadang dalam satu minggu, dua atau tiga hari aku main ke kostnya setelah pulang sekolah. Tentunya untuk belajar bersama.
Semuanya berawal baik-baik saja, namun tidak sampai semester 3 dimulai. Apa yang terjadi? Kami berada di kelas yang sama, kelas XI IPA 2. Awalnya kufikir, dengan begitu hubungan kami akan lebih baik. Ternyata sebaliknya. Entah teori apa yang berlaku saat itu, hanya saja muncul masalah demi masalah yang memicu keretakan hubungan kami.
Kami mulai bertengkar mengenai hal-hal kecil. Sikap Gina-pun mulai berubah, dari perhatian menjadi cuek, dari sering mandi jadi jarang mandi sampai-sampai aku yang maksa mandiin dia. Sampai di suatu hari, terdengar sebuah berita dari beberapa tetangga tentang kedekatan Gina dengan kaka kelas. Ardian, dia bintang Basket sekolah.
Awalnya kufikir hanyalah berita palsu belaka. Namun tidak sampai dengan tetiba, Gina memberitahuku bahwa dia telah bergabung dengan klub Basket. Mungkin begitu, perasaanku menjadi buta karena terlalu sayang. Sampai tak menyadari apa yang sedang terjadi. Perasaan Gina padaku perlahan memudar. Kami tak lagi bertukar kabar setiap pagi. Kemudian tiba di satu musim hujan di Awal September. Dia meminta hubungan kami berakhir. Dan dia tak mau menjelaskan alasannya. Akupun tentu tak mau mendengar alasannya langsung dari mulut Gina.
Yang ada di benakku saat itu. Mungkin tak seharusnya kami bertemu. Tak seharusnya aku mengalami luka cinta menyesakkan ini. Dan sialnya lagi, kami masih berada di semester tiga. Tentunya masih ada setengah semester lagi aku menjalani hari-hari berada di kelas yang sama dengan mantan pacar.
Aku bahkan tak mampu mengingat dimana aku dan gina memutuskan untuk berpisah. Hari apa, atau jam berapa. Yang aku tahu hanyalah Awal september. Kenapa? Karena setelah peristiwa itu, aku mendengarkan 'September Ends' setiap menjelang tidur. Kudengarkan sampai September benar-benar berakhir.
Tapi patut bersyukur, dari luka itulah aku tahu rasanya bangkit. Tentunya, aku bangkit untuk merasakan jatuh yang lain. Yang mungkin lebih sakit, lebih lama, lebih membuat bekas luka yang lebih lebar dan dalam.
Akupun paham mengapa orang yang bilang bahwa memiliki kekasih di satu kelas, satu sekolah atau satu kerjaan yang sama itu membosankan. Mungkin ia relatif, tergantung pada dua hal. Pertama, apabila hubungan itu dapat bertahan setidaknya sampai lulus sekolah, mungkin tak akan jadi membosankan. Tapi opsi yang kedua, jika hubungan itu berakhir ketika kalian masih berada di tempat yang sama seperti halnya yang terjadi denganku. Bukan hanya bosan, tapi sakit.
Aku tak begitu mengerti tentang bagaimana menjadi lelaki yang baik. Namun, dia yang meninggalkan seroang wanita dalam keadaan menangis sudahlah pasti brengsek. Dan karena tak begitu mengerti itulah, aku tak tahu apakah yang harus aku lakukan saat itu. Tetap bermain-main dengan air seolah tak tahu apa yang barusan terjadi. Ataukah bersikap seperti hansaplast, mengahapuskan luka seseorang.
Tetapi muncul sesuatu yang lebih tak aku mengerti. Aku beranjak dari tempatku, berjalan tanpa ku sadari dan singgah di samping wanita yang sedang menangis itu. Kemudian duduk tepat di sampingnya hingga bahukami saling beradu. Dia langsung terkaget, wajahnya menatap ke arahku. Matanya mencari-cari lelaki yang barusan pergi namun mendapati aku yang menatapnya dengan wajah penuh pertanyaan 'kamu kenapa? apa yang barusan terjadi? apa yang bisa kulakukan untuk membuatmu berhenti menangis?'. Responnya tidak biasa, tatapannya seolah mengganggapku bukan orang yang baru dia lihat. Wajahnya tak menunjukkan sedikitpun rasa malu atas tangisannya. Padahal air matanya masih mengalir, pipinya masih basah, mukanya memerah dan sembap. Namun tak sepatah katapun terucap di momen itu. Hingga akhirnya aku yang membuka percakapan diantara kami.
"Biru.." Kataku singkat
"Hah? Apa yang biru? " Dia kembali menolehkan wajahnya kearahku, namun giliran dia yang menunjukkan wajah penuh tanya. Mungkin di benaknya, kenapa tidak ia bertanya kenapa atau setidaknya ia berkata cukup, jangan menangis lagi.
"Tali, di belakang.. " Jawabku dengan nada datar. Entah apa yang ada di fikiranku saat itu, tapi terlintas begitu saja. Dan tentu saja, aku terlalu frontal untuk mengungkapkan kecabulanku pada pertemuan pertama.
"Ehhh.. Haha Basah ya baju aku.. " Dia seketika tertawa, tapi tanganya menghapus sesuatu dari matanya. Dan di sela tawanya itu, aku melepaskan hoodie yang aku pakai lalu mengenakannya pada Gina.
"Sorry yaa.. Aku gatau harus ngomong apa biar gak jatuh lagi itu air mata... " seruku pelan. Aku menghembuskan nafas lebih kencang namun dengan ritme yang pelan. Bermaksud menuntun Gina untuk menggunakan ritme bernafas yang sama.
"Ayo ke curug.. Kayaknya rame.. " Dia tetiba beranjak dari tempat duduknya. Menggenggam tangaku lalu menyeretku ke arah air terjun.
Kemudian aku dan dia berkenalan, bercerita tentang banyak hal namun tidak tentang kejadian mengerikan tadi. Saling bertukar nama, nomor telepon dan akun facebook. Dan disitulah aku tahu bahwa dia dan aku berniat melanjutkan sekolah di SMA yang sama. Disitu pula kami berjanji, apabila kami berdua bisa masuk ke SMA tersebut, kami akan pacaran.
Kembali ke paragraf tiga...
Singkat cerita kami berpacaran, namun kami berada di kelas yang berbeda. Padahal, ceritanya akan lebih menyenangkan kalau kami berada di satu kelas yang sama. Tentu! Siapa yang pernah bilang memiliki kekasih di satu kelas, satu sekolah atau satu kerjaan yang sama itu membosankan? Bohong!
Hari demi hari kami jalani dengan bahagia. Tentu, memiliki pacar yang perhatian, cantik, baik, pintar sangatlah menyenangkan bagiku. Setidaknya menyenangkan pada bulan-bulan pertama.
Aku memanggil dia 'darling' dan begitupun demikian. Bisa dibilang, dia adalah pacar resmi pertamaku. Tentu, sebelumnya aku hanya terjerat di hubungan tanpa status yang sah. Tidak jauh dari Friendzone dan ojekzone.
Setiap jam istirahat kami selalu pergi ke kantin bersama. Ikut ekskul bersama. Pulangpun bersama, tentu karena rumah kost aku dan dia berada pada satu jalan yang sama. Terkadang dalam satu minggu, dua atau tiga hari aku main ke kostnya setelah pulang sekolah. Tentunya untuk belajar bersama.
Semuanya berawal baik-baik saja, namun tidak sampai semester 3 dimulai. Apa yang terjadi? Kami berada di kelas yang sama, kelas XI IPA 2. Awalnya kufikir, dengan begitu hubungan kami akan lebih baik. Ternyata sebaliknya. Entah teori apa yang berlaku saat itu, hanya saja muncul masalah demi masalah yang memicu keretakan hubungan kami.
Kami mulai bertengkar mengenai hal-hal kecil. Sikap Gina-pun mulai berubah, dari perhatian menjadi cuek, dari sering mandi jadi jarang mandi sampai-sampai aku yang maksa mandiin dia. Sampai di suatu hari, terdengar sebuah berita dari beberapa tetangga tentang kedekatan Gina dengan kaka kelas. Ardian, dia bintang Basket sekolah.
Awalnya kufikir hanyalah berita palsu belaka. Namun tidak sampai dengan tetiba, Gina memberitahuku bahwa dia telah bergabung dengan klub Basket. Mungkin begitu, perasaanku menjadi buta karena terlalu sayang. Sampai tak menyadari apa yang sedang terjadi. Perasaan Gina padaku perlahan memudar. Kami tak lagi bertukar kabar setiap pagi. Kemudian tiba di satu musim hujan di Awal September. Dia meminta hubungan kami berakhir. Dan dia tak mau menjelaskan alasannya. Akupun tentu tak mau mendengar alasannya langsung dari mulut Gina.
Yang ada di benakku saat itu. Mungkin tak seharusnya kami bertemu. Tak seharusnya aku mengalami luka cinta menyesakkan ini. Dan sialnya lagi, kami masih berada di semester tiga. Tentunya masih ada setengah semester lagi aku menjalani hari-hari berada di kelas yang sama dengan mantan pacar.
Aku bahkan tak mampu mengingat dimana aku dan gina memutuskan untuk berpisah. Hari apa, atau jam berapa. Yang aku tahu hanyalah Awal september. Kenapa? Karena setelah peristiwa itu, aku mendengarkan 'September Ends' setiap menjelang tidur. Kudengarkan sampai September benar-benar berakhir.
Tapi patut bersyukur, dari luka itulah aku tahu rasanya bangkit. Tentunya, aku bangkit untuk merasakan jatuh yang lain. Yang mungkin lebih sakit, lebih lama, lebih membuat bekas luka yang lebih lebar dan dalam.
Akupun paham mengapa orang yang bilang bahwa memiliki kekasih di satu kelas, satu sekolah atau satu kerjaan yang sama itu membosankan. Mungkin ia relatif, tergantung pada dua hal. Pertama, apabila hubungan itu dapat bertahan setidaknya sampai lulus sekolah, mungkin tak akan jadi membosankan. Tapi opsi yang kedua, jika hubungan itu berakhir ketika kalian masih berada di tempat yang sama seperti halnya yang terjadi denganku. Bukan hanya bosan, tapi sakit.
-Mudzavv
0 comment:
Posting Komentar