Senin, 19 Oktober 2015

NYERItain mantan #Part 4

Setelah adegan yang agak kurang mendidik di postingan ke-3. Tibalah aku di satu masa dimana aku diharuskan menjadi orang yang lebih baik. Ceileh bahasanya make 'aku'. Jadi dikarenakan pada siang hari tadi ada sebuah complain dari beberapa reader mengenai bahasa yang kurang 'merenah' di postingan pertama, maka aku akan mencoba menggunakan bahasa aku-kamu pada postingan kali ini. Jadi apakah gw sanggup? Tuh kan gagal.


Ceritanya terjadi di pertengahan tahun 2010, tepat di semester terakhir pada masa pembelajaran Siswa Menengah Pertama. Di masa-masa itu, tentunya aku diharuskan untuk fokus pada sebuah event yang sangat sakral. UN (Uduk Nasi) Tapi sayangnya, aku malah mendapatkan banyak sekali cobaan. Dimulai dari Game Online, Gebetan Online, dan Mantan Online. Tapi yang paling sulit adalah adanya seorang gadis pindahan dalam satu kelas. Namanya Ayu. Ayu Ratna Azalia Nabilah. Anjiiir Ngidol lu nov.

Usianya tidak beda jauh denganku. Dia 14 tahun sedang aku 14. Sama aja kampret! Hubungan kami pada awalnya bisa disebut sebatas teman, biasa-biasa saja. Namun karena aku menjabat sebagai ketua kelas dan kelas kami sepakat untuk memposisikan dia sebagai sekretaris, hubungan kami menjadi semakin dekat. Dari sebatas teman menjadi TTM (Teman Tapi Menyusui

Dua sampai tiga minggu berlalu. Muncul-lah sebuah pertanyaan dari bibir ayu. Bentar, aku sepertinya melupakan bagian yang penting dari kisah ini. Oia, perawakan Ayu. Dia memiliki tinggi yang sama denganku. Bibirnya merah merona sekalipun tak mengenakan gincu. Matanya bulat warnanya kecoklatan.Kulitnya putih. Rambutnya sebahu. Apa yang paling kuingat dari dia adalah cara bicaranya, entah mungkin sulit untuk dijelaskan dengan kata-kata.

Sepertinya misalnya ketika dia mengatakan 'eh' pada dialog "eh, kamu udah ngerjain Tugas Matematika?" Mendengarnya seperti ada yang berdebar-debar di dada. 

Kembali pada topik sebelumnya di paragraf ke-5, muncul sebuah pertanyaan dari Ayu. Padahal sebelumnya kami belum pernah masuk dalam percakapan ini. Biasanya hanya membahas tentang agenda kelas, tugas-tugas yang menumpuk atau saling sharing rencana di masa depan. Dan disaat itu, dia yang memulai menanyakan tentang pacar mempacari.

"Em, Nov. Kamu kok ngga punya pacar?" Tanya ayu sambil mengerjakan tugas MTK. Sebelumnya memang belum ada topik untuk ngobrol. Tentu karena sedang membahas rumus-rumus, tapi aku tak menyangka bahwa tiba-tiba dia menanyakan hal tersebut.

"Ngga, emang aneh kalo ngga punya?" Jawabku dengan singkat.

Matanya tetiba melarikan diri dari buku atau pandanganku, dia memandang keluar jendela. Tepat ke lebatnya daun mangga yang sedang berbuah. 

"Ngga, aku pernah punya pacar. Dia brengsek" Jeda lebih dari 10 detik, dia melanjutkan percakapannya. Dan ternyata itu lebih mengagetkanku. Sejak pertama kali bertemu, aku tak pernah melihat wajahnya menampakkan mimik sedih atau kecewa. Seringkali tentang kegembiraan, mimik marah karena tugas, atau malu karena di taksir oleh ketua OSIS. Tapi tidak seperti wajahnya yang kulihat saat itu.

Saat itu aku berfikir, apakah ada sikapku yang membuatnya bertanya sehingga memunculkan pernyataan yang sangat krusial. Aku bahkan tidak menanyakan dan belum ada niat untuk menanyakan siapa lelaki yang dia suka. Tapi tentu, aku menyadari bahwa perasaan wanita memang sulit untuk di tebak. Dan apa yang ada dalam benakku saat itu adalah bertanya kenapa.

---- Lima persekian detik sebelum mulutku melontarkan pertanyaan 'kenapa', tetiba sesuatu muncul pertanyaan lagi di fikiranku yang ditujukkan untukku sendiri. Apa pertanyaan yang ia butuhkan saat ini?
Mungkin terlihat dibuat buat, tapi sungguh. Dalam detik-detik yang sangat sempit itu, terjadi banyak perdebatan hebat dibenak. Puluhan pertanyaan dengan beragam jawaban tentang kenapa dia bisa dengan tiba-tiba murung. Jawaban tentang se-brengsek apa bekas pacarnya itu. Termasuk jawaban tentang apa yang lebih baik aku lakukan di momen tersebut. Sialnya dari puluhan jawaban itu, muncul satu yang tak akan bisa dijelaskan dengan akal sehat. 

Apa?

Dengan tak aku sadari, tanganku meraih pundaknya. Lalu mendekatkan kepalanya di bahuku. Sedang mulutku tak berkata satu kalimatpun. 

Hembusan nafasnya dengan jelas bisa aku rasakan di dada. Hangat tangannya, wangi shampo rejoice di rambutnya, parfum violet di seragamnya, tak bisa aku lupakan sampai sekarang. Isak tangisnya mulai pecah.
Aku memeluknya lebih erat, hingga erat hingga dia kehilangan nafasnya. Kemudian dia mati.  

"Jangan takut Yu, aku ada disini" Akhirnya muncul kalimat yang bisa aku ucapkan. Dan entah harus bersyukur atau tidak, dia melepaskan pelukanku. Kedua bola matanya yang masih basah dengan air matanya mencoba mencari-cari wajahku.

"Nov, kamu mau bantuin aku?" seru Ayu dengan nada parau. Suaranya terdengar berat di tenggorokannya. Telingaku nyaris tak mampu menangkap apa maksud perkataannya. Namun gerakan bibir tipisnya menyampaikannya langsung ke otak-ku.


"Maksudnya apa Yu? Kalo bisa ya aku bantuin" Aku menanyakan kembali maksud permintaan Ayu untuk aku bantu dengan tanpa menerka-nerka maksudnya.

Seketika itu Ayu mengambil tanganku dari bahunya, kemudian mengarahkannya tepat di dadanya. Aku tersentak, tubuhku gemetaran dan tak bisa aku gerakkan. Aku ingin bertanya kembali 'apa maksudmu yu? ada apa dengan semua ini?'

"Hapusin bekas dia nov... Semuanya.. Aku ngga ingin bawa beban ini terlalu lama.." Permintaannya membuncah bersama dengan dua tiga bulir airmata yang jatuh dari pipinya. Aku hanya menatap kaku pada wajah sedihnya. Lidahku tak mampu berkata apa-apa. Tanganku masih menetap di dadanya.

Namun tetiba pandangan dan kesadaranku dibawa kabur oleh aku yang lain. Apa yang kulihat hanyalah gelap, namun semakin hangat. Aku tak lagi merasakan gemetar hebat di tubuhku. Aku tak dapat mengingat apa yang terjadi waktu itu. Yang kutahu hanyalah, aku terbangun di ruangan kelas di tengah malam. Terbangun tapi tak sendirian.  

0 comment:

Posting Komentar