Pernah suatu ketika, aku merindukan rembulan yang hanya bersinar seperempatnya. Namun permukaannya masih mampu memantulkan cahaya mentari untuk menyinari seisi bekasi. Dengan ditemani segelas kopi yang sudah tak lagi hangat (dibaca: geus tiis) dan sebatang rokok yang terbakar setengahnya, aku melantukan sebuah lagu untuk menuntun fikiranku agar dapat kembali memvisualkan ruang dan waktu di malam itu.
Pada suatu malam di pertengahan bulan Juli tahun lalu.Angin yang berhembus, dengan pelan menghempas tubuhku yang berdiri diatas balkon. Mataku menatap sayu pada sang rembulan. Mencoba mencari-cari wajah seseorang yang aku rindukan. Tubuhku berbalut sarung tipis yang kuharap bisa menahan dingin supaya tak merasuk. Jemariku menuliskan satu nama wanita, wanita yang dalam fikiranku, aku mencintai dia. Sekalipun dalam pandangan khalayak umum, aku sama sekali tak benar-benar mencintai dia.
Aku coba bertanya pada rembulan, namun suaraku sama-sekali tak dapat menggapai cahayanya. Tentang apa yang membelenggu fikiranku, aku ingin tahu. Aku tak ingin terus menerus terjerat masalah yang kubuat-buat sendiri.
"Hey, siapa saja.. Beri aku jawaban atas kegundahanku ini... Bulaaan, Maalaaam, angiiin,, lautaaan, ahhhh siapa saja tolong aku...." Teriakku lantang memecah malam yang sunyi..
Mencintai bukan seperti ini, noV!" teriak sebetang pensil yang ujung nya sudah mulai tumpul.
Aku tersentak, sesuatu yang ku pegang berbicara dengan nada nyaring. Dengan nada heran aku bertanya.. "Apa maksudmu sil?"
Mencintai, artinya membahagiakan. Bukan hanya membahagiakan orang yang kamu cintai, tapi juga membahagiakan diri sendiri. Coba tanyakan diri sendiri? Sudahkah kamu bahagia dengan cara yang kamu sebut dengan mencintai?" Timpal si pensil dengan nada mengajari.
Aku tak mengerti sil" Aku mencoba menerka apa yang si pensil katakan.
Maksudku, orang yang mencintai Tuhan, akan merasa bahagia pada hatinya. Ia tentram sekalipun banyak ujian yang ia terima. Terluka, tersakiti, atau teraniaya sekalipun bukan berarti tidak bahagia. Ingat, bahagia itu hanyalah sebuah rasa. Rasa yang diberikan syaraf sebagai hasil dari rasa yang diterima. Dan rasa yang diterima hanyalah satu, untuk bahagia kamu hanya perlu bersyukur. Dan bersyukur juga bukan berarti kamu diam dan berterima kasih kepada Tuhan. Tidak, tidak sama sekali." Si Pensi ngomongnya makin panjang.
Lalu bagaimana aku bisa bersyukur dengan perihal mencintai seseorang?" Aku kembali melontarkan pertanyaan.
Itu adalah hal yang haruslah kamu temukan sendiri. Dan aku bisa memberitahukan caranya." Seru si pensil
Apa sil?" Tanyaku
Kamu perlu belajar mencintai dari Dia yang Maha Mencintai. Cobalah, mungkin kamu bisa mengerti. Bahagia yang kamu cari, bukanlah bahagia yang kamu perlu noV.." jawab si pensil sebelum ia kembali membisu.
Seketika itu malam meneteskan air mata. Dan sang rembulan pun menangis syahdu.
"Bukan wajahku yang perlu kau tatap, anak muda. Bila kamu merindukan cintamu, Tataplah Tuhanmu"
Pada suatu malam di pertengahan bulan Juli tahun lalu.Angin yang berhembus, dengan pelan menghempas tubuhku yang berdiri diatas balkon. Mataku menatap sayu pada sang rembulan. Mencoba mencari-cari wajah seseorang yang aku rindukan. Tubuhku berbalut sarung tipis yang kuharap bisa menahan dingin supaya tak merasuk. Jemariku menuliskan satu nama wanita, wanita yang dalam fikiranku, aku mencintai dia. Sekalipun dalam pandangan khalayak umum, aku sama sekali tak benar-benar mencintai dia.
Aku coba bertanya pada rembulan, namun suaraku sama-sekali tak dapat menggapai cahayanya. Tentang apa yang membelenggu fikiranku, aku ingin tahu. Aku tak ingin terus menerus terjerat masalah yang kubuat-buat sendiri.
"Hey, siapa saja.. Beri aku jawaban atas kegundahanku ini... Bulaaan, Maalaaam, angiiin,, lautaaan, ahhhh siapa saja tolong aku...." Teriakku lantang memecah malam yang sunyi..
Mencintai bukan seperti ini, noV!" teriak sebetang pensil yang ujung nya sudah mulai tumpul.
Aku tersentak, sesuatu yang ku pegang berbicara dengan nada nyaring. Dengan nada heran aku bertanya.. "Apa maksudmu sil?"
Mencintai, artinya membahagiakan. Bukan hanya membahagiakan orang yang kamu cintai, tapi juga membahagiakan diri sendiri. Coba tanyakan diri sendiri? Sudahkah kamu bahagia dengan cara yang kamu sebut dengan mencintai?" Timpal si pensil dengan nada mengajari.
Aku tak mengerti sil" Aku mencoba menerka apa yang si pensil katakan.
Maksudku, orang yang mencintai Tuhan, akan merasa bahagia pada hatinya. Ia tentram sekalipun banyak ujian yang ia terima. Terluka, tersakiti, atau teraniaya sekalipun bukan berarti tidak bahagia. Ingat, bahagia itu hanyalah sebuah rasa. Rasa yang diberikan syaraf sebagai hasil dari rasa yang diterima. Dan rasa yang diterima hanyalah satu, untuk bahagia kamu hanya perlu bersyukur. Dan bersyukur juga bukan berarti kamu diam dan berterima kasih kepada Tuhan. Tidak, tidak sama sekali." Si Pensi ngomongnya makin panjang.
Lalu bagaimana aku bisa bersyukur dengan perihal mencintai seseorang?" Aku kembali melontarkan pertanyaan.
Itu adalah hal yang haruslah kamu temukan sendiri. Dan aku bisa memberitahukan caranya." Seru si pensil
Apa sil?" Tanyaku
Kamu perlu belajar mencintai dari Dia yang Maha Mencintai. Cobalah, mungkin kamu bisa mengerti. Bahagia yang kamu cari, bukanlah bahagia yang kamu perlu noV.." jawab si pensil sebelum ia kembali membisu.
Seketika itu malam meneteskan air mata. Dan sang rembulan pun menangis syahdu.
"Bukan wajahku yang perlu kau tatap, anak muda. Bila kamu merindukan cintamu, Tataplah Tuhanmu"
0 comment:
Posting Komentar