Kamis, 10 November 2011

Maukah kau menghapus bekas bibirnya dibibirku dengan bibirmu?



       Kuremas secarik kertas kusam ditangan kananku dengan mata nanar dan langkah tak menjejak. Sebuah puisi cinta terukir disana. Lebih tepatnya penghapusan pahit dengan manis. Kertas itu setahun lebih tua dari anak tunggalku yang mati 40 hari yang lalu. ”Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya Di Bibirku Dengan Bibirmu” kalimat itu berderet dengan angkuh di deret paling atas lembar itu sebagai judul dan juga bertindak sebagai ringkasan puisi ini. Istriku yang membuatnya untukku 9 tahun yang lalu.
Setapak demi setapak ku berjalan dalam remang duka dan kesunyian. ”Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya Di Bibirku Dengan Bibirmu” deret kata itu berseliweran dikepalaku. Kubayangkan bibirku. Kuraba bibirku perlahan. Kubayangkan bibir orang terakhir mengecup bibirku. Ku terbawa perasaanku saat itu. Aku terhempas pada lembah kenangan. Membuang sampah sejarah memang tidak mudah. Sejarah memang untuk dikenang tapi aku ingin pulang dan membuang kenangan. Aku pernah mendengar tentang lubang hitam. Aku ingin pergi kesana dan membuang semua kenanganku kedalamnya.
Perlahan aku duduk terdiam. Sama perlahanya dengan jatuhnya satu persatu butir air dari mataku. Aku tak sadar. Semua terjadi diluar kendali. Kadang emosi merasuki tanpa permisi hingga tak sadar ia telah mengambil alih kendali atas bahagia, haru bahkan kesedihan yang membuatku kebingungan dan tak sadar.
Apa-apaan ini. Tak sepatutnya aku memikirkan bibir. Semua orang punya bibir. Aku juga punya bibirku sendiri. Tapi aku tak bisa menghapus bekas bibirnya dibibirku dengan bibirku sendiri. Semua menjadi semakin rumit. Apa rasa cuma ada dan dirasa oleh bibir? Tidak, tidak mungkin cuma bibir yang mengambil kendali rasa.
Energi perlahan datang dari libur panjang. Aku berlari. Langit menyerap kelebihan energiku dengan gelegar guruh lalu menangis menatapku yang dengan kegilaan dan kebingunganku dengan otak masih berbentuk bibir. Sesaat kakiku kaku. Aku terjatuh. Lumpur menyambut sekujur tubuhku. Aku ingin menangis tapi syarafku mengisyaratkan aku tertawa dan itulah yang aku lakukan, tertawa. ”Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya Di Bibirku Dengan Bibirmu” kalimat itu hadir dan tawaku terhenti seiring langit menyeka air matanya untukku. Otakku bekerja,kurasakan itu. Ya, jawaban dari semua kegilaanku adalah bibir. Bibir yang dengan suka rela mengecup bibirku dengan semua rasa yang ada di alam. Bukan bibir yang mempunyai penyaring buatan. Yang hanya bisa menghisap rasa manis sedangkan rasa yang lain disingkirkan, diendapkan dan ditinggalkan sebagai sisa pembakaran nafsu. Yang sengaja dibuang hingga menjadi racun pahit memori yang getirnya tak dapat terhapus hingga kedalam jiwa.
Aku tertawa sejadi-jadinya. Kegilaanku membuncah. Aku berdiri, berlari, melompat kesana-kemari. Mencari bibir. Dengan kesadaran penuh kuciumi satu persatu bibir yang aku temui. Tak peduli laki-laki atau perempuan, tua atau muda. Yang kutahu, aku cuma mencari bibir. Cuma bibir. Bibir yang dapat menyerap semua rasa yang ada di alam. Tak kutemukan. Yang kudapat, rasa pedas dan anyir darah yang keluar deras dari bibirku. Ini menambah getir yang berjelaga dijiwaku. Apakah kau, darah, yang dengan lancang menampakan diri mencoba menghapus bekas bibirnya dibibirku dengan bibirmu. Sayang, kau tak punya harapan karena kau tidak punya bibir. Mana ada bibir darah. Kalau bibir sumur aku pernah dengar.
Kegilaan dan anyir darah membuka kalbuku. Mengingatkanku pada bibir terakhir yang bisa ku kecup malam ini. Dirumahku. Kuseret kakiku yang kembali ditinggal energi berlibur panjang. Mataku berbinar menyusuri jalan-jalan bau debu dan malam tanpa angin apalagi bintang hanya ada bulan yang sinarnya berpendar dibalik awan hitam.
Kucium bibir terakhirku sekehendaknya, sepuasnya, selama dan sedalam yang kumau. Sampai aku tak merasakan apa-apa. Bibirku kelu. Ia telah menyerapnya. Menyerap semua rasa yang ada di alam. “Sayang, aku kira ada bibir yang lebih bermakna dari bibirmu. Tapi aku salah. Bibirmu jauh lebih bermakna dari bibir semua orang di luar sana. Aku tak akan pernah ragu lagi. Aku janji. Aku tak kan pernah mencari bibir untuk menghapus bekas bibirmu di bibirku. Sampai aku terbujur kaku, seperti kau saat ini. Dihadapanku. Dan bibirmu yang sedang kukecup berada dibawah bibirku saat ini”, tetesan air mata mengiringiku berkata-kata pada istriku.
Kuseka air mata terakhirku malam ini. Kuciumi kembali bibir itu. Kuterlelap dalam alunan rasa alam yang telah hilang. Dan aku tak pernah terbangun.
inspired by: puisi karya hamsad rangkuti

0 comment:

Posting Komentar