Kerajaan Ottoman atau Kesultanan Turki Utsmani didirikan oleh Bani Utsman, yang selama 2 abad kekuasaannya, telah dipimpin 8 sultan, sebelum akhirnya berekspansi ke sebagian negeri Arab. Turki Utsmani sama dengan pendahulunya, seperti Turki Seljuk dan kabilah Hun. Mereka berasal dari keturunan Mongol atau Thurani, yang merambah ke Eropa di abad ke-5 Masehi. Mereka lahir dan dibesarkan di Asia Tengah dan Utara. Etnis yang sama juga dimiliki bangsa Bulgaria, yang merambah ke Eropa Timur, dan menetap di sana pada abad ke-7 dan 9 Masehi. Turki Utsmani adalah etnis Asia terakhir yang merambah dan mendiami Eropa, bahkan merupakan negara Mongol terpenting dan terkuat dalam sejarah.
Sejarah Awal dan Masa Kejayaan
Pada pertengahan abad ke-13, Turki Utsmani merupakan salah satu kabilah kecil di Asia Tengah di bawah pimpinan Ertoghul, kepala suku Turki Utsmani - menyusuri Asia Tengah, dekat Ankara. Pimpinan kabilah kecil ini berpartisipasi dalam perang antara kekaisaran Romawi dan Dinasti Seljuk Rum yang berpusat di Iconium dipimpin Sultan 'Alauddin, dan akhirnya Ertoghul dan sekutunya menang perang. Kabilah kecil dan Ertoghul inilah yang menjadi cikal bakal Turki Utsmani. Ialah bapak Utsman, yang namanya dipakai sebagai nama negara yang dibangunnya (dalam tulisan Arab ʿUthmān, عُثمَان).
Setelah Ertoghul meninggal 1288, putranya Utsmanlah yang menggantikannya. Ia dikenal sebagai pemimpin yang berani mengalahkan kabilah dan trah yang berdekatan. Inilah yang mendorong Sultan 'Alauddin mengangkatnya sebagai pemimpin dan membuatnya jadi penguasa berdiri sendiri di wilayah yang ditaklukkannya.
Tahun 1300 Mongol menyerang dan menghancurkan Kesultanan Seljuk di Asia Kecil. Sultan 'Alauddinpun meninggal dan setiap etnis bercerai berai, termasuk Utsman. Dari sanalah kekuasaannya berkembang sampai ia mendengar penaklukan Bursa, saat hendak meninggal. Utsman memberi perhatian besar pada strukturisasi tentara dan pemerintahan dan namanya dijadikan nama negara yang didirikannya.
Tahun 1326 Utsman meninggal dan digantikan putranya Ourkhan, yang berhasil mengambil alih Bursa, dan menjadikannya ibukota negara baru ini. Dengan ini ia telah mendekati ambisinya untuk menduduki Konstantinopel, ibukota Bizantium.
Sebelum perang antarpemerintahan berlangsung — yang satu negara muda, kuat dan berambisi mengembangkan kekuasaannya, yang satunya lagi negara tua yang merosot — Ourkhan menduduki Izmir lebih dulu. Ia melihat pentingnya pembenahan, yang kelak berpengaruh bagi kemenangan Turki Utsmani, pertama di Asia Kecil lalu Eropa. Ia menyerang dan merampas Nicomedia dan Nicea serta negeri Asia dan Bizantium lainnya. Selama 20 tahun, ia mengokohkan pilar pemerintahannya, memperbaiki urusan dalam negara dan membentuk angkatan bersenjata baru, yang disebut Yennisari, yang dalam waktu lama menjadi penopang kekuatan kesultanan, dalam perang dan penaklukan.
Sultan berikutnya adalah Murad I (1359-1389), ia merebut Adranah (1361), Sofia (1383), dan pada perang Kosovo 1389 mengalahkan Serbia. Ia diganti Bajazet I (1389-1403) yang menaklukkan Bulgaria, Perancis dan Jerman (1393). Tahun 1402, Timur Lenk dari Mongolia menaklukkan Ankara dan Bajazet I tertawan, namun akhirnya ia dibebaskan. Bajazet I digantikan berturut-turut oleh Suleiman I (1403-1411), Musa (1411-1413), dan Mehmed Halabi/Mehmed I (1413-1421). Mehmed I digantikan Murad II. Ia menaklukkan kembali kawasan yang ditaklukkan Timur Lenk (1422-1428) dan Albania (1431).
Setelah naik tahta tahun 1451, Mehmed II bin Murad II menaklukkan Konstantinopel (1453) dan menjadikannya negara Islam. Karena itu ia dikenal sebagai Mehmed sang Penakluk. Kota Konstantinopel dijadikan ibukota kesultanan serta jadi titik tolak rencana penaklukan Eropa, setelah terhenti akibat meninggalnya Abdurrohmanul Ghofiqi di selatan Perancis. Mehmed sang Penaklukpun menundukkan Murrah, Serbia (1458-1460) dan Bosnia (1462). Ia juga menyerang Italia, Hongaria, dan Jerman. Akhirnya Thorabzun dan Krim di Asia ditundukkannya. Ia juga menaklukkan sebagian kepulauan Yunani (1480). Iapun kembali menaklukkan Jerman dan beberapa wilayah Italia, namun akhirnya mangkat sebelum berhasil menaklukkan Rhodesia.
Ia digantikan putranya Bajazet II (1481) yang berhasil mengalahkan armada laut Bunduqiyah. Kekuasaannya diserahkan pada putranya Selim I (1512) yang oleh sebagian kalangan dipandang sebagai sultan terbesar, mendapat kemenangan dan penaklukan yang banyak. Ia menyerang kesultanan Safavid yang dipimpin Shah Ismail I (1502-1524) yang berusaha menyebarkan mazhab Syi'ah dan mengembangkan kekuasaan Persia sampai Irak. Shah Ismail dikalahkan di Galadiran, dekat Tibriz (1514). Sultan Selim I lalu menduduki Diyarbakir dan Kurdistan yang merupakan langkah awal menaklukkan Suriah dan Mesir, seiring dengan kemenangan di Maraj Dabiq (1516) dan Roidaniyah. Saat itu khilafah Islam telah berpindah ke tangannya sesuai hukum Islam setelah Kholifah al-Mutawakkil 'Alalloh III (1508-1517) menyerahkan tampuk kekhilafahan kepadanya. Sultan Salim I resmi jadi kholifah Muslimin sejak 1517. Ia meninggal setelah 8 tahun berkuasa. Syarif Makkah juga menyerahkan kunci Makkah dan Madinah kepadanya.
Setelah itu ia digantikan Kholifah Suleiman II (1520-1566). Masa kepemimpinannya dianggap sebagai era terjaya khilafah berkat kebangkitan sains yang diikuti penemuan ilmiah dan geografis Eropa, sementara khilafah ini meninggalkan negara-negara Eropa di bidang militer, sains, dan politik. Ia menaklukkan Belgrado dan Gereja terbesar di sana dialihfungsikan menjadi Masjid di mana sang kholifah mendirikan sholat Jum'at (1521). Dengan alasan untuk membebaskan diri dari pasukan Ksatria Santo Yohanes (1521) ia menaklukan Rhodesia. Buda dibuka dan Raja Louis dibunuh dalam pertempuran Mouckhaz (1526). Ia menaklukkan juga Armenia dan Irak hingga armada laut kekholifahan di seluru peraran laut mulai Laut Putih, Laut Merah hingga Samudra Hindia—meski kekuatannya belum bisa mengalahkan pasukan Ksatria St. Yohanes, penguasa Malta. Kepulauan ini adalah pemberian Charles V saat diusir tentara khilafah Turki Utsmani dari Rhodesia (1522).
Tahun 1527 Austria mengakuisisi Buda, namun akhirnya Buda ditaklukkan lagi dan Austria mundur, lalu Wina dikepung tanpa berhasil ditaklukkan (1529). Tahun 1534 Tabriz ditaklukkan lagi. Tunisia dirampas dari Spanyol dan Pulau Kreta ditaklukkan (1535). Khilafahpun berdamai dengan Austria yang setuju membayar jizyah (1539). Pest (1541), Niche (1543), Spanyol (1560), Malta (1565) dan Szeged (1566) adalah sejumlah daerah yang berhasil dirampas oleh khilafah Turki Utsmani.
Para sejarawan sepakat, zaman Suleiman II ialah zaman kebesaran dan kejayaan khilafah Turki Utsmani. Hanya dalam 3 abad, kabilah kecil ini berhasil melebarkan sayapnya dari Laut Merah, Laut Tengah dan Laut Hitam. Penaklukannya terbentang dari Mekkah hingga Buda dan Pest di satu sisi dan dari Baghdad (1534) hingga al-Jazair (1532) di sisi lain. Dua pantai, utara dan selatan, Laut Hitam berada di dalam kekuasannya. Sebagian besar kerajaan Austria dan Hongaria juga termasuk wilayah kekuasaannya. Kekuasaannya sampai di Afrika Utara dari negeri Suriah sampai Maroko. Setelah Suleiman II meninggal 1566, khilafahpun terus-menerus merosot.
Keadaan Politik Menjelang Keruntuhan
Politik di sini dibagi jadi 2. Pertama politik dalam negeri, yang maksudnya ialah penerapan hukum Islam di wilayahnya; mengatur mu'amalat, menegakkan hudud dan sanksi hukum, menjaga akhlak, mengurus urusan rakyat sesuai hukum Islam, menjamin pelaksanaan syi'ar dan ibadah. Semua ini dilaksanakan dengan tatacara Islam.
Ada 2 faktor yang membuat khilafah Turki Utsmani mundur. Pertama, buruknya pemahaman Islam. Kedua, salah menerapkan Islam. Sebetulnya, kedua hal di atas bisa diatasi saat kekholifahan dipegang orang kuat dan keimanannya tinggi, tapi kesempatan ini tak dimanfaatkan dengan baik. Suleiman II-yang dijuluki al-Qonun, karena jasanya mengadopsi UU sebagai sistem khilafah, yang saat itu merupakan khilafah terkuat-malah menyusun UU menurut mazhab tertentu, yakni mazhab Hanafi, dengan kitab Pertemuan Berbagai Lautan-nya yang ditulis Ibrohimul Halabi (1549). Padahal khilafah Islam bukan negara mazhab, jadi semua mazhab Islam memiliki tempat dalam 1 negara dan bukan hanya 1 mazhab. Dengan tak dimanfaatkannya kesempatan emas ini untuk perbaikan, 2 hal tadi tak diperbaiki. Contoh: dengan diambilnya UU oleh Suleiman II, seharusnya penyimpangan dalam pengangkatan kholifah bisa dihindari, tapi ini tak tersentuh UU. Dampaknya, setelah berakhirnya kekuasaan Suleimanul Qonun, yang jadi kholifah malah orang lemah, seperti Sultan Mustafa I (1617), Osman II (1617-1621), Murad IV (1622-1640), Ibrohim bin Ahmed (1639-1648), Mehmed IV (1648-1687), Suleiman III (1687-1690), Ahmed II (1690-1694), Mustafa II (1694-1703), Ahmed III (1703-1730), Mahmud I (1730-1754), Osman III (1754-1787), Mustafa III (1757-1773), dan Abdul Hamid I (1773-1788). Inilah yang membuat militer, Yennisari-yang dibentuk Sultan Ourkhan-saat itu memberontak (1525, 1632, 1727, dan 1826), sehingga mereka dibubarkan (1785). Selain itu, majemuknya rakyat dari segi agama, etnik dan mazhab perlu penguasa berintelektual kuat. Sehingga, para pemimpin lemah ini memicu pemberontakan kaum Druz yang dipimpin Fakhruddin bin al-Ma'ni.
Ini yang membuat politik luar negeri khilafah-dakwah dan jihad-berhenti sejak abad ke-17, sehingga Yennisari membesar, lebih dari pasukan dan peawai pemerintah biasa, sementara pemasukan negara merosot. Ini membuat khilafah terpuruk karena suap dan korupsi. Para wali dan pegawai tinggi memanfaatkan jabatannya untuk jadi penjilat dan penumpuk harta. Ditambah dengan menurunnya pajak dari Timur Jauh yang melintasi wilayah khilafah, setelah ditemukannya jalur utama yang aman, sehingga bisa langsung ke Eropa. Ini membuat mata uang khilafah tertekan, sementara sumber pendapatan negara seperti tambang, tak bisa menutupi kebutuhan uang yang terus meningkat.
Paruh kedua abad ke-16, terjadilah krisis moneter saat emas dan perak diusung ke negeri Laut Putih Tengah dari Dunia Baru lewat kolonial Spanyol. Mata uang khilafah saat itu terpuruk; infasi hebat. Mata uang Baroh diluncurkan khilafah tahun 1620 tetap gagal mengatasi inflasi. Lalu keluarlah mata uang Qisry di abad ke-17. Inilah yang membuat pasukan Utsmaniah di Yaman memberontak pada paruh kedua abad ke-16. Akibat adanya korupsi negara harus menanggung utang 300 juta lira.
Dengan tak dijalankannya politik luar negeri yang Islami-dakwah dan jihad-pemahaman jihad sebagai cara mengemban ideologi Islam ke luar negeri hilang dari benak muslimin dan kholifah. Ini terlihat saat Sultan Abdul Hamid I/Sultan Abdul Hamid Khan meminta Syekh al-Azhar membaca Shohihul Bukhori di al-Azhar agar Allah SWT memenangkannya atas Rusia (1788). Sultanpun meminta Gubernur Mesir saat itu agar memilih 10 ulama dari seluruh mazhab membaca kitab itu tiap hari.
Sejak jatuhnya Konstantinopel di abad 15, Eropa-Kristen melihatnya sebagai awal Masalah Ketimuran, sampai abad 16 saat penaklukan Balkan, seperti Bosnia, Albania, Yunani dan kepulauan Ionia. Ini membuat Paus Paulus V (1566-1572) menyatukan Eropa yang dilanda perang antar agama-sesama Kristen, yakni Protestan dan Katolik. Konflik ini berakhir setelah adanya Konferensi Westafalia (1667). Saat itu, penaklukan khilafah terhenti. Memang setelah kalahnya khilafah atas Eropa dalam perang Lepanto (1571), khilafah hanya mempertahankan wilayahnya. Ini dimanfaatkan Austria dan Venezia untuk memukul khilafah. Pada Perjanjian Carlowitz (1699), wilayah Hongaria, Slovenia, Kroasia, Hemenietz, Padolia, Ukraina, Morea, dan sebagian Dalmatia lepas; masing-masing ke tangan Venezia dan Habsburg. Malah khilafah harus kehilangan wilayahnya di Eropa pada Perang Krim (abad ke-19), dan tambah tragis setelah Perjanjian San Stefano (1878) dan Berlin (1887).
Menghadapi kemerosotan itu, khilafah telah melakukan reformasi (abad ke-17, dst). Namun lemahnya pemahaman Islam membuat reformasi gagal. Sebab saat itu khilafah tak bisa membedakan IPTek dengan peradaban dan pemikiran. Ini membuat munculnya struktur baru dalam negara, yakni perdana menteri, yang tak dikenal sejarah Islam kecuali setelah terpengaruh demokrasi Barat yang mulai merasuk ke tubuh khilafah. Saat itu, penguasa dan syaikhul Islam mulai terbuka terhadap demokrasi lewat fatwa syaikhul Islam yang kontroversi. Malah, setelah terbentuk Dewan Tanzimat (1839 M) semakin kokohlah pemikiran Barat, setelah disusunnya beberapa UU, seperti UU Acara Pidana (1840), dan UU Dagang (1850), tambah rumusan Konstitusi 1876 oleh Gerakan Turki Muda, yang berusaha membatasi fungsi dan kewenangan kholifah.
Konspirasi Menghancurkan Khilafah
Di dalam negara, ahlu dzimmah-khususnya orang Kristen-yang mendapat hak istimewa zaman Suleiman II, akhirnya menuntut persamaan hak dengan muslimin. Malahan hak istimewa ini dimanfaatkan untuk melindungi provokator dan intel asing dengan jaminan perjanjian antara khilafah dengan Bizantium (1521), Prancis (1535), dan Inggris (1580). Dengan hak istimewa ini, jumlah orang Kristen dan Yahudi meningkat di dalam negeri. Ini dimanfaatkan misionaris-yang mulai menjalankan gerakan sejak abad ke-16. Malta dipilih sebagai pusat gerakannya. Dari sana mereka menyusup ke Suriah(1620) dan tinggal di sana sampai 1773. Di tengah mundurnya intelektualitas Dunia Islam, mereka mendirikan pusat kajian sebagai kedok gerakannya. Pusat kajian ini kebanyakan milik Inggris, Prancis, dan Amerika Serikat, yang digunakan Barat untuk mengemban kepemimpinan intelektualnya di Dunia Islam, disertai serangan mereka terhadap pemikiran Islam. Serangan ini sudah lama dipersiapkan orientalis Barat, yang mendirikan Pusat Kajian Ketimuran sejak abad ke-14.
Gerakan misionaris dan orientalis itu merupakan bagian tak terpisahkan dari imperialisme Barat di Dunia Islam. Untuk menguasainya - meminjam istilah Imam al-Ghozali - Islam sebagai asas harus hancur, dan khilafah Islam harus runtuh. Untuk meraih tujuan pertama, serangan misionaris dan orientalis diarahkan untuk menyerang pemikiran Islam; sedangkan untuk meraih tujuan kedua, mereka hembuskan nasionalisme dan memberi stigma pada khilafah sebagai Orang Sakit. Agar kekuatan khilafah lumpuh, sehingga agar bisa sekali pukul jatuh, maka dilakukanlah upaya intensif untuk memisahkan Arab dengan lainnya dari khilafah. Dari sinilah, lahir gerakan patriotisme dan nasionalisme di Dunia Islam. Malah, gerakan keagamaan tak luput dari serangan, seperti Gerakan Wahabi di Hijaz. Sejak pertengahan abad ke-18 gerakan ini dimanfaatkan Inggris - melalui agennya Ibn Sa'ud - untuk menyulut pemberontakan di beberapa wilayah Hijaz dsk, yang sebelumnya gagal dilakukan Inggris lewat gerakan kesukuan. Walau begitu, akhirnya gerakan ini bisa dibendung di beberapa wilayah oleh khilafah lewat Mehmed Ali Pasha, Gubernur Mesir yang-ternyata agen Prancis-didukung Prancis. Di Eropa, wilayah yang dikuasai khilafah diprovokasi agar memberontak (abad 19-20), seperti kasus Serbia, Yunani, Bulgaria, Armenia dan terakhir Krisis Balkan, sehingga khilafah Turki Utsmani kehilangan banyak wilayahnya, dan yang tersisa hanya Turki.
Nasionalisme dan separatisme telah dipropagandakan negara-negara Eropa seperti Inggris, Prancis, dan Rusia. Itu bertujuan untuk menghancurkan khilafah Islam. Keberhasilannya memakai sentimen kebangsaan dan separatisme di Serbia, Hongaria, Bulgaria, dan Yunani mendorongnya memakai cara sama di seluruh wilayah khilafah. Hanya saja, usaha ini lebih difokuskan di Arab dan Turki. Sementara itu, KeduBes Inggris dan Prancis di Istambul dan daerah-daerah basis khilafah-seperti Baghdad, Damsyik, Beirut, Kairo, dan Jeddah-telah menjadi pengendalinya. Untuk menyukseskan misinya, dibangunlah 2 markas. Pertama, Markas Beirut, yang bertugas memainkan peranan jangka panjang, yakni mengubah putra-putri umat Islam menjadi kafir dan mengubah sistem Islam jadi sistem kufur. Kedua, Markas Istambul, bertugas memainkan peranan jangka pendek, yaitu memukul telak khilafah.
KeduBes negara Eropapun mulai aktif menjalin hubungan dengan orang Arab. Di Kairo dibentuk Partai Desentralisasi yang diketuai Rofiqul 'Adzim. Di Beirut, Komite Reformasi dan Forum Literal dibentuk. Inggris dan Prancis mulai menyusup ke tengah orang Arab yang memperjuangkan nasionalisme. Pada 8 Juni 1913, para pemuda Arab berkongres di Paris dan mengumumkan nasionalisme Arab. Dokumen yang ditemukan di Konsulat Prancis Damsyik telah membongkar rencana pengkhianatan kepada khilafah yang didukung Inggris dan Prancis.
Di Markas Istambul, negara-negara Eropa tak hanya puas merusak putra-putri umat Islam di sekolah dan universitas lewat propaganda. Mereka ingin memukul khilafah dari dekat secara telak. Caranya ialah mengubah sistem pemerintahan dan hukum Islam dengan sistem pemerintahan Barat dan hukum kufur. Kampanye mulai dilakukan Rasyid Pasha, MenLu zaman Sultan Abdul Mejid II (1839). Tahun itu juga, Naskah Terhormat(Kholkhonah)-yang dijiplak dari UU di Eropa-diperkenalkan. Tahun 1855, negara-negara Eropa-khususnya Inggris-memaksa khilafah Utsmani mengamandemen UUD, sehingga dikeluarkanlah Naskah Hemayun (11 Februari 1855). Midhat Pasha, salah satu anggota Kebatinan Bebas diangkat jadi perdana menteri (1 September 1876). Ia membentuk panitia Ad Hoc menyusun UUD menurut Konstitusi Belgia. Inilah yang dikenal dengan Konstitusi 1876. Namun, konstitusi ini ditolak Sultan Abdul Hamid II dan Sublime Port-pun enggan melaksanakannya karena dinilai bertentangan dengan syari'at. Midhat Pashapun dipecat dari kedudukan perdana menteri. Turki Muda yang berpusat di Salonika-pusat komunitas Yahudi Dunamah-memberontak (1908). Kholifah dipaksanya-yang menjalankan keputusan Konferensi Berlin-mengumumkan UUD yang diumumkan Turki Muda di Salonika, lalu dibukukanlah parlemen yang pertama dalam khilafah Turki Utsmani (17 November 1908). Bekerja sama dengan syaikhul Islam, Sultan Abdul Hamid II dipecat dari jabatannya, dan dibuang ke Salonika. Sejak itu sistem pemerintahan Islam berakhir.
Tampaknya Inggris belum puas menghancurkan khilafah Turki Utsmani secara total. Perang Dunia I (1914) dimanfaatkan Inggris menyerang Istambul dan menduduki Gallipoli. Dari sinilah kampanye Dardanella yang terkenal itu mulai dilancarkan. Pendudukan Inggris di kawasan ini juga dimanfaatkan untuk mendongkrak popularitas Mustafa Kemal Pasha-yang sengaja dimunculkan sebagai pahlawan pada Perang Ana Forta (1915). Ia-agen Inggris, keturunan Yahudi Dunamah dari Salonika-melakukan agenda Inggris, yakni melakukan revolusi kufur untuk menghancurkan khilafah Islam. Ia menyelenggarakan Kongres Nasional di Sivas dan menelurkan Deklarasi Sivas (1919 M), yang mencetuskan Turki merdeka dan negeri Islam lainnya dari penjajah, sekaligus melepaskannya dari wilayah Turki Utsmani. Irak, Suriah, Palestina, Mesir, dll mendeklarasikan konsensus kebangsaan sehingga merdeka. Saat itu sentimen kebangsaan tambah kental dengan lahirnya Pan-Turkisme dan Pan Arabisme; masing-masing menuntut kemerdekaan dan hak menentukan nasib sendiri atas nama bangsanya, bukan atas nama umat Islam.
Runtuhnya Khilafah Turki Utsmani
Sejak tahun 1920, Mustafa Kemal Pasha menjadikan Ankara sebagai pusat aktivitas politiknya. Setelah menguasai Istambul, Inggris menciptakan kevakuman politik, dengan menawan banyak pejabat negara dan menutup kantor-kantor dengan paksa sehingga bantuan kholifah dan pemerintahannya mandeg. Instabilitas terjadi di dalam negeri, sementara opini umum menyudutkan kholifah dan memihak kaum nasionalis. Situasi ini dimanfaatkan Mustafa Kemal Pasha untuk membentuk Dewan Perwakilan Nasional - dan ia menobatkan diri sebagai ketuanya - sehingga ada 2 pemerintahan; pemerintahan khilafah di Istambul dan pemerintahan Dewan Perwakilan Nasional di Ankara. Walau kedudukannya tambah kuat, Mustafa Kemal Pasha tetap tak berani membubarkan khilafah. Dewan Perwakilan Nasional hanya mengusulkan konsep yang memisahkan khilafah dengan pemerintahan. Namun, setelah perdebatan panjang di Dewan Perwakilan Nasional, konsep ini ditolak. Pengusulnyapun mencari alasan membubarkan Dewan Perwakilan Nasional dengan melibatkannya dalam berbagai kasus pertumpahan darah. Setelah memuncaknya krisis, Dewan Perwakilan Nasional ini diusulkan agar mengangkat Mustafa Kemal Pasha sebagai ketua parlemen, yang diharap bisa menyelesaikan kondisi kritis ini.
Setelah resmi dipilih jadi ketua parlemen, Pasha mengumumkan kebijakannya, yaitu mengubah sistem khilafah dengan republik yang dipimpin seorang presiden yang dipilih lewat Pemilu. Tanggal 29 November 1923, ia dipilih parlemen sebagai presiden pertama Turki. Namun ambisinya untuk membubarkan khilafah yang telah terkorupsi terintangi. Ia dianggap murtad, dan rakyat mendukung Sultan Abdul Mejid II, serta berusaha mengembalikan kekuasaannya. Ancaman ini tak menyurutkan langkah Mustafa Kemal Pasha. Malahan, ia menyerang balik dengan taktik politik dan pemikirannya yang menyebut bahwa penentang sistem republik ialah pengkhianat bangsa dan ia melakukan teror untuk mempertahankan sistem pemerintahannya. Kholifah digambarkan sebagai sekutu asing yang harus dienyahkan.
Setelah suasana negara kondusif, Mustafa Kemal Pasha mengadakan sidang Dewan Perwakilan Nasional. Tepat 3 Maret 1924 M, ia memecat kholifah, membubarkan sistem khilafah, dan menghapuskan sistem Islam dari negara. Hal ini dianggap sebagai titik klimaks revolusi Mustafa Kemal Pasha.
* Osman I (1281-1326; bey)
* Orhan I (1326-1359; bey)
* Murad I (1359-1389; sultan sejak 1383)
* Beyazid I (1389-1402)
* Interregnum (1402-1413)
* Mehmed I (1413-1421)
* Murad II (1421-1444) (1445-1451)
* Mehmed II (sang Penguasa) (1444-1445) (1451-1481)
* Beyazid II (1481-1512)
* Selim I (1512-1520)
* Suleiman I (yang Agung) (1520-1566)
* Selim II (1566-1574)
* Murad III (1574-1595)
* Mehmed III (1595-1603)
* Ahmed I (1603-1617)
* Mustafa I (1617-1618)
* Osman II (1618-1622)
* Mustafa I (1622-1623)
* Murad IV (1623-1640)
* Ibrahim I (1640-1648)
* Mehmed IV (1648-1687)
* Suleiman II (1687-1691)
* Ahmed II (1691-1695)
* Mustafa II (1695-1703)
* Ahmed III (1703-1730)
* Mahmud I (1730-1754)
* Osman III (1754-1757)
* Mustafa III (1757-1774)
* Abd-ul-Hamid I (1774-1789)
* Selim III (1789-1807)
* Mustafa IV (1807-1808)
* Mahmud II (1808-1839)
* Abd-ul-Mejid (1839-1861)
* Abd-ul-Aziz (1861-1876)
* Murad V (1876)
* Abd-ul-Hamid II (1876-1909)
* Mehmed V (Reşad) (1909-1918)
* Mehmed VI (Vahideddin) (1918-1922)
* Abdul Mejid II, (1922-1924; hanya sebagai Kalifah)
Sejarah Awal dan Masa Kejayaan
Pada pertengahan abad ke-13, Turki Utsmani merupakan salah satu kabilah kecil di Asia Tengah di bawah pimpinan Ertoghul, kepala suku Turki Utsmani - menyusuri Asia Tengah, dekat Ankara. Pimpinan kabilah kecil ini berpartisipasi dalam perang antara kekaisaran Romawi dan Dinasti Seljuk Rum yang berpusat di Iconium dipimpin Sultan 'Alauddin, dan akhirnya Ertoghul dan sekutunya menang perang. Kabilah kecil dan Ertoghul inilah yang menjadi cikal bakal Turki Utsmani. Ialah bapak Utsman, yang namanya dipakai sebagai nama negara yang dibangunnya (dalam tulisan Arab ʿUthmān, عُثمَان).
Setelah Ertoghul meninggal 1288, putranya Utsmanlah yang menggantikannya. Ia dikenal sebagai pemimpin yang berani mengalahkan kabilah dan trah yang berdekatan. Inilah yang mendorong Sultan 'Alauddin mengangkatnya sebagai pemimpin dan membuatnya jadi penguasa berdiri sendiri di wilayah yang ditaklukkannya.
Tahun 1300 Mongol menyerang dan menghancurkan Kesultanan Seljuk di Asia Kecil. Sultan 'Alauddinpun meninggal dan setiap etnis bercerai berai, termasuk Utsman. Dari sanalah kekuasaannya berkembang sampai ia mendengar penaklukan Bursa, saat hendak meninggal. Utsman memberi perhatian besar pada strukturisasi tentara dan pemerintahan dan namanya dijadikan nama negara yang didirikannya.
Tahun 1326 Utsman meninggal dan digantikan putranya Ourkhan, yang berhasil mengambil alih Bursa, dan menjadikannya ibukota negara baru ini. Dengan ini ia telah mendekati ambisinya untuk menduduki Konstantinopel, ibukota Bizantium.
Sebelum perang antarpemerintahan berlangsung — yang satu negara muda, kuat dan berambisi mengembangkan kekuasaannya, yang satunya lagi negara tua yang merosot — Ourkhan menduduki Izmir lebih dulu. Ia melihat pentingnya pembenahan, yang kelak berpengaruh bagi kemenangan Turki Utsmani, pertama di Asia Kecil lalu Eropa. Ia menyerang dan merampas Nicomedia dan Nicea serta negeri Asia dan Bizantium lainnya. Selama 20 tahun, ia mengokohkan pilar pemerintahannya, memperbaiki urusan dalam negara dan membentuk angkatan bersenjata baru, yang disebut Yennisari, yang dalam waktu lama menjadi penopang kekuatan kesultanan, dalam perang dan penaklukan.
Sultan berikutnya adalah Murad I (1359-1389), ia merebut Adranah (1361), Sofia (1383), dan pada perang Kosovo 1389 mengalahkan Serbia. Ia diganti Bajazet I (1389-1403) yang menaklukkan Bulgaria, Perancis dan Jerman (1393). Tahun 1402, Timur Lenk dari Mongolia menaklukkan Ankara dan Bajazet I tertawan, namun akhirnya ia dibebaskan. Bajazet I digantikan berturut-turut oleh Suleiman I (1403-1411), Musa (1411-1413), dan Mehmed Halabi/Mehmed I (1413-1421). Mehmed I digantikan Murad II. Ia menaklukkan kembali kawasan yang ditaklukkan Timur Lenk (1422-1428) dan Albania (1431).
Setelah naik tahta tahun 1451, Mehmed II bin Murad II menaklukkan Konstantinopel (1453) dan menjadikannya negara Islam. Karena itu ia dikenal sebagai Mehmed sang Penakluk. Kota Konstantinopel dijadikan ibukota kesultanan serta jadi titik tolak rencana penaklukan Eropa, setelah terhenti akibat meninggalnya Abdurrohmanul Ghofiqi di selatan Perancis. Mehmed sang Penaklukpun menundukkan Murrah, Serbia (1458-1460) dan Bosnia (1462). Ia juga menyerang Italia, Hongaria, dan Jerman. Akhirnya Thorabzun dan Krim di Asia ditundukkannya. Ia juga menaklukkan sebagian kepulauan Yunani (1480). Iapun kembali menaklukkan Jerman dan beberapa wilayah Italia, namun akhirnya mangkat sebelum berhasil menaklukkan Rhodesia.
Ia digantikan putranya Bajazet II (1481) yang berhasil mengalahkan armada laut Bunduqiyah. Kekuasaannya diserahkan pada putranya Selim I (1512) yang oleh sebagian kalangan dipandang sebagai sultan terbesar, mendapat kemenangan dan penaklukan yang banyak. Ia menyerang kesultanan Safavid yang dipimpin Shah Ismail I (1502-1524) yang berusaha menyebarkan mazhab Syi'ah dan mengembangkan kekuasaan Persia sampai Irak. Shah Ismail dikalahkan di Galadiran, dekat Tibriz (1514). Sultan Selim I lalu menduduki Diyarbakir dan Kurdistan yang merupakan langkah awal menaklukkan Suriah dan Mesir, seiring dengan kemenangan di Maraj Dabiq (1516) dan Roidaniyah. Saat itu khilafah Islam telah berpindah ke tangannya sesuai hukum Islam setelah Kholifah al-Mutawakkil 'Alalloh III (1508-1517) menyerahkan tampuk kekhilafahan kepadanya. Sultan Salim I resmi jadi kholifah Muslimin sejak 1517. Ia meninggal setelah 8 tahun berkuasa. Syarif Makkah juga menyerahkan kunci Makkah dan Madinah kepadanya.
Setelah itu ia digantikan Kholifah Suleiman II (1520-1566). Masa kepemimpinannya dianggap sebagai era terjaya khilafah berkat kebangkitan sains yang diikuti penemuan ilmiah dan geografis Eropa, sementara khilafah ini meninggalkan negara-negara Eropa di bidang militer, sains, dan politik. Ia menaklukkan Belgrado dan Gereja terbesar di sana dialihfungsikan menjadi Masjid di mana sang kholifah mendirikan sholat Jum'at (1521). Dengan alasan untuk membebaskan diri dari pasukan Ksatria Santo Yohanes (1521) ia menaklukan Rhodesia. Buda dibuka dan Raja Louis dibunuh dalam pertempuran Mouckhaz (1526). Ia menaklukkan juga Armenia dan Irak hingga armada laut kekholifahan di seluru peraran laut mulai Laut Putih, Laut Merah hingga Samudra Hindia—meski kekuatannya belum bisa mengalahkan pasukan Ksatria St. Yohanes, penguasa Malta. Kepulauan ini adalah pemberian Charles V saat diusir tentara khilafah Turki Utsmani dari Rhodesia (1522).
Tahun 1527 Austria mengakuisisi Buda, namun akhirnya Buda ditaklukkan lagi dan Austria mundur, lalu Wina dikepung tanpa berhasil ditaklukkan (1529). Tahun 1534 Tabriz ditaklukkan lagi. Tunisia dirampas dari Spanyol dan Pulau Kreta ditaklukkan (1535). Khilafahpun berdamai dengan Austria yang setuju membayar jizyah (1539). Pest (1541), Niche (1543), Spanyol (1560), Malta (1565) dan Szeged (1566) adalah sejumlah daerah yang berhasil dirampas oleh khilafah Turki Utsmani.
Para sejarawan sepakat, zaman Suleiman II ialah zaman kebesaran dan kejayaan khilafah Turki Utsmani. Hanya dalam 3 abad, kabilah kecil ini berhasil melebarkan sayapnya dari Laut Merah, Laut Tengah dan Laut Hitam. Penaklukannya terbentang dari Mekkah hingga Buda dan Pest di satu sisi dan dari Baghdad (1534) hingga al-Jazair (1532) di sisi lain. Dua pantai, utara dan selatan, Laut Hitam berada di dalam kekuasannya. Sebagian besar kerajaan Austria dan Hongaria juga termasuk wilayah kekuasaannya. Kekuasaannya sampai di Afrika Utara dari negeri Suriah sampai Maroko. Setelah Suleiman II meninggal 1566, khilafahpun terus-menerus merosot.
Keadaan Politik Menjelang Keruntuhan
Politik di sini dibagi jadi 2. Pertama politik dalam negeri, yang maksudnya ialah penerapan hukum Islam di wilayahnya; mengatur mu'amalat, menegakkan hudud dan sanksi hukum, menjaga akhlak, mengurus urusan rakyat sesuai hukum Islam, menjamin pelaksanaan syi'ar dan ibadah. Semua ini dilaksanakan dengan tatacara Islam.
Ada 2 faktor yang membuat khilafah Turki Utsmani mundur. Pertama, buruknya pemahaman Islam. Kedua, salah menerapkan Islam. Sebetulnya, kedua hal di atas bisa diatasi saat kekholifahan dipegang orang kuat dan keimanannya tinggi, tapi kesempatan ini tak dimanfaatkan dengan baik. Suleiman II-yang dijuluki al-Qonun, karena jasanya mengadopsi UU sebagai sistem khilafah, yang saat itu merupakan khilafah terkuat-malah menyusun UU menurut mazhab tertentu, yakni mazhab Hanafi, dengan kitab Pertemuan Berbagai Lautan-nya yang ditulis Ibrohimul Halabi (1549). Padahal khilafah Islam bukan negara mazhab, jadi semua mazhab Islam memiliki tempat dalam 1 negara dan bukan hanya 1 mazhab. Dengan tak dimanfaatkannya kesempatan emas ini untuk perbaikan, 2 hal tadi tak diperbaiki. Contoh: dengan diambilnya UU oleh Suleiman II, seharusnya penyimpangan dalam pengangkatan kholifah bisa dihindari, tapi ini tak tersentuh UU. Dampaknya, setelah berakhirnya kekuasaan Suleimanul Qonun, yang jadi kholifah malah orang lemah, seperti Sultan Mustafa I (1617), Osman II (1617-1621), Murad IV (1622-1640), Ibrohim bin Ahmed (1639-1648), Mehmed IV (1648-1687), Suleiman III (1687-1690), Ahmed II (1690-1694), Mustafa II (1694-1703), Ahmed III (1703-1730), Mahmud I (1730-1754), Osman III (1754-1787), Mustafa III (1757-1773), dan Abdul Hamid I (1773-1788). Inilah yang membuat militer, Yennisari-yang dibentuk Sultan Ourkhan-saat itu memberontak (1525, 1632, 1727, dan 1826), sehingga mereka dibubarkan (1785). Selain itu, majemuknya rakyat dari segi agama, etnik dan mazhab perlu penguasa berintelektual kuat. Sehingga, para pemimpin lemah ini memicu pemberontakan kaum Druz yang dipimpin Fakhruddin bin al-Ma'ni.
Ini yang membuat politik luar negeri khilafah-dakwah dan jihad-berhenti sejak abad ke-17, sehingga Yennisari membesar, lebih dari pasukan dan peawai pemerintah biasa, sementara pemasukan negara merosot. Ini membuat khilafah terpuruk karena suap dan korupsi. Para wali dan pegawai tinggi memanfaatkan jabatannya untuk jadi penjilat dan penumpuk harta. Ditambah dengan menurunnya pajak dari Timur Jauh yang melintasi wilayah khilafah, setelah ditemukannya jalur utama yang aman, sehingga bisa langsung ke Eropa. Ini membuat mata uang khilafah tertekan, sementara sumber pendapatan negara seperti tambang, tak bisa menutupi kebutuhan uang yang terus meningkat.
Paruh kedua abad ke-16, terjadilah krisis moneter saat emas dan perak diusung ke negeri Laut Putih Tengah dari Dunia Baru lewat kolonial Spanyol. Mata uang khilafah saat itu terpuruk; infasi hebat. Mata uang Baroh diluncurkan khilafah tahun 1620 tetap gagal mengatasi inflasi. Lalu keluarlah mata uang Qisry di abad ke-17. Inilah yang membuat pasukan Utsmaniah di Yaman memberontak pada paruh kedua abad ke-16. Akibat adanya korupsi negara harus menanggung utang 300 juta lira.
Dengan tak dijalankannya politik luar negeri yang Islami-dakwah dan jihad-pemahaman jihad sebagai cara mengemban ideologi Islam ke luar negeri hilang dari benak muslimin dan kholifah. Ini terlihat saat Sultan Abdul Hamid I/Sultan Abdul Hamid Khan meminta Syekh al-Azhar membaca Shohihul Bukhori di al-Azhar agar Allah SWT memenangkannya atas Rusia (1788). Sultanpun meminta Gubernur Mesir saat itu agar memilih 10 ulama dari seluruh mazhab membaca kitab itu tiap hari.
Sejak jatuhnya Konstantinopel di abad 15, Eropa-Kristen melihatnya sebagai awal Masalah Ketimuran, sampai abad 16 saat penaklukan Balkan, seperti Bosnia, Albania, Yunani dan kepulauan Ionia. Ini membuat Paus Paulus V (1566-1572) menyatukan Eropa yang dilanda perang antar agama-sesama Kristen, yakni Protestan dan Katolik. Konflik ini berakhir setelah adanya Konferensi Westafalia (1667). Saat itu, penaklukan khilafah terhenti. Memang setelah kalahnya khilafah atas Eropa dalam perang Lepanto (1571), khilafah hanya mempertahankan wilayahnya. Ini dimanfaatkan Austria dan Venezia untuk memukul khilafah. Pada Perjanjian Carlowitz (1699), wilayah Hongaria, Slovenia, Kroasia, Hemenietz, Padolia, Ukraina, Morea, dan sebagian Dalmatia lepas; masing-masing ke tangan Venezia dan Habsburg. Malah khilafah harus kehilangan wilayahnya di Eropa pada Perang Krim (abad ke-19), dan tambah tragis setelah Perjanjian San Stefano (1878) dan Berlin (1887).
Menghadapi kemerosotan itu, khilafah telah melakukan reformasi (abad ke-17, dst). Namun lemahnya pemahaman Islam membuat reformasi gagal. Sebab saat itu khilafah tak bisa membedakan IPTek dengan peradaban dan pemikiran. Ini membuat munculnya struktur baru dalam negara, yakni perdana menteri, yang tak dikenal sejarah Islam kecuali setelah terpengaruh demokrasi Barat yang mulai merasuk ke tubuh khilafah. Saat itu, penguasa dan syaikhul Islam mulai terbuka terhadap demokrasi lewat fatwa syaikhul Islam yang kontroversi. Malah, setelah terbentuk Dewan Tanzimat (1839 M) semakin kokohlah pemikiran Barat, setelah disusunnya beberapa UU, seperti UU Acara Pidana (1840), dan UU Dagang (1850), tambah rumusan Konstitusi 1876 oleh Gerakan Turki Muda, yang berusaha membatasi fungsi dan kewenangan kholifah.
Konspirasi Menghancurkan Khilafah
Di dalam negara, ahlu dzimmah-khususnya orang Kristen-yang mendapat hak istimewa zaman Suleiman II, akhirnya menuntut persamaan hak dengan muslimin. Malahan hak istimewa ini dimanfaatkan untuk melindungi provokator dan intel asing dengan jaminan perjanjian antara khilafah dengan Bizantium (1521), Prancis (1535), dan Inggris (1580). Dengan hak istimewa ini, jumlah orang Kristen dan Yahudi meningkat di dalam negeri. Ini dimanfaatkan misionaris-yang mulai menjalankan gerakan sejak abad ke-16. Malta dipilih sebagai pusat gerakannya. Dari sana mereka menyusup ke Suriah(1620) dan tinggal di sana sampai 1773. Di tengah mundurnya intelektualitas Dunia Islam, mereka mendirikan pusat kajian sebagai kedok gerakannya. Pusat kajian ini kebanyakan milik Inggris, Prancis, dan Amerika Serikat, yang digunakan Barat untuk mengemban kepemimpinan intelektualnya di Dunia Islam, disertai serangan mereka terhadap pemikiran Islam. Serangan ini sudah lama dipersiapkan orientalis Barat, yang mendirikan Pusat Kajian Ketimuran sejak abad ke-14.
Gerakan misionaris dan orientalis itu merupakan bagian tak terpisahkan dari imperialisme Barat di Dunia Islam. Untuk menguasainya - meminjam istilah Imam al-Ghozali - Islam sebagai asas harus hancur, dan khilafah Islam harus runtuh. Untuk meraih tujuan pertama, serangan misionaris dan orientalis diarahkan untuk menyerang pemikiran Islam; sedangkan untuk meraih tujuan kedua, mereka hembuskan nasionalisme dan memberi stigma pada khilafah sebagai Orang Sakit. Agar kekuatan khilafah lumpuh, sehingga agar bisa sekali pukul jatuh, maka dilakukanlah upaya intensif untuk memisahkan Arab dengan lainnya dari khilafah. Dari sinilah, lahir gerakan patriotisme dan nasionalisme di Dunia Islam. Malah, gerakan keagamaan tak luput dari serangan, seperti Gerakan Wahabi di Hijaz. Sejak pertengahan abad ke-18 gerakan ini dimanfaatkan Inggris - melalui agennya Ibn Sa'ud - untuk menyulut pemberontakan di beberapa wilayah Hijaz dsk, yang sebelumnya gagal dilakukan Inggris lewat gerakan kesukuan. Walau begitu, akhirnya gerakan ini bisa dibendung di beberapa wilayah oleh khilafah lewat Mehmed Ali Pasha, Gubernur Mesir yang-ternyata agen Prancis-didukung Prancis. Di Eropa, wilayah yang dikuasai khilafah diprovokasi agar memberontak (abad 19-20), seperti kasus Serbia, Yunani, Bulgaria, Armenia dan terakhir Krisis Balkan, sehingga khilafah Turki Utsmani kehilangan banyak wilayahnya, dan yang tersisa hanya Turki.
Nasionalisme dan separatisme telah dipropagandakan negara-negara Eropa seperti Inggris, Prancis, dan Rusia. Itu bertujuan untuk menghancurkan khilafah Islam. Keberhasilannya memakai sentimen kebangsaan dan separatisme di Serbia, Hongaria, Bulgaria, dan Yunani mendorongnya memakai cara sama di seluruh wilayah khilafah. Hanya saja, usaha ini lebih difokuskan di Arab dan Turki. Sementara itu, KeduBes Inggris dan Prancis di Istambul dan daerah-daerah basis khilafah-seperti Baghdad, Damsyik, Beirut, Kairo, dan Jeddah-telah menjadi pengendalinya. Untuk menyukseskan misinya, dibangunlah 2 markas. Pertama, Markas Beirut, yang bertugas memainkan peranan jangka panjang, yakni mengubah putra-putri umat Islam menjadi kafir dan mengubah sistem Islam jadi sistem kufur. Kedua, Markas Istambul, bertugas memainkan peranan jangka pendek, yaitu memukul telak khilafah.
KeduBes negara Eropapun mulai aktif menjalin hubungan dengan orang Arab. Di Kairo dibentuk Partai Desentralisasi yang diketuai Rofiqul 'Adzim. Di Beirut, Komite Reformasi dan Forum Literal dibentuk. Inggris dan Prancis mulai menyusup ke tengah orang Arab yang memperjuangkan nasionalisme. Pada 8 Juni 1913, para pemuda Arab berkongres di Paris dan mengumumkan nasionalisme Arab. Dokumen yang ditemukan di Konsulat Prancis Damsyik telah membongkar rencana pengkhianatan kepada khilafah yang didukung Inggris dan Prancis.
Di Markas Istambul, negara-negara Eropa tak hanya puas merusak putra-putri umat Islam di sekolah dan universitas lewat propaganda. Mereka ingin memukul khilafah dari dekat secara telak. Caranya ialah mengubah sistem pemerintahan dan hukum Islam dengan sistem pemerintahan Barat dan hukum kufur. Kampanye mulai dilakukan Rasyid Pasha, MenLu zaman Sultan Abdul Mejid II (1839). Tahun itu juga, Naskah Terhormat(Kholkhonah)-yang dijiplak dari UU di Eropa-diperkenalkan. Tahun 1855, negara-negara Eropa-khususnya Inggris-memaksa khilafah Utsmani mengamandemen UUD, sehingga dikeluarkanlah Naskah Hemayun (11 Februari 1855). Midhat Pasha, salah satu anggota Kebatinan Bebas diangkat jadi perdana menteri (1 September 1876). Ia membentuk panitia Ad Hoc menyusun UUD menurut Konstitusi Belgia. Inilah yang dikenal dengan Konstitusi 1876. Namun, konstitusi ini ditolak Sultan Abdul Hamid II dan Sublime Port-pun enggan melaksanakannya karena dinilai bertentangan dengan syari'at. Midhat Pashapun dipecat dari kedudukan perdana menteri. Turki Muda yang berpusat di Salonika-pusat komunitas Yahudi Dunamah-memberontak (1908). Kholifah dipaksanya-yang menjalankan keputusan Konferensi Berlin-mengumumkan UUD yang diumumkan Turki Muda di Salonika, lalu dibukukanlah parlemen yang pertama dalam khilafah Turki Utsmani (17 November 1908). Bekerja sama dengan syaikhul Islam, Sultan Abdul Hamid II dipecat dari jabatannya, dan dibuang ke Salonika. Sejak itu sistem pemerintahan Islam berakhir.
Tampaknya Inggris belum puas menghancurkan khilafah Turki Utsmani secara total. Perang Dunia I (1914) dimanfaatkan Inggris menyerang Istambul dan menduduki Gallipoli. Dari sinilah kampanye Dardanella yang terkenal itu mulai dilancarkan. Pendudukan Inggris di kawasan ini juga dimanfaatkan untuk mendongkrak popularitas Mustafa Kemal Pasha-yang sengaja dimunculkan sebagai pahlawan pada Perang Ana Forta (1915). Ia-agen Inggris, keturunan Yahudi Dunamah dari Salonika-melakukan agenda Inggris, yakni melakukan revolusi kufur untuk menghancurkan khilafah Islam. Ia menyelenggarakan Kongres Nasional di Sivas dan menelurkan Deklarasi Sivas (1919 M), yang mencetuskan Turki merdeka dan negeri Islam lainnya dari penjajah, sekaligus melepaskannya dari wilayah Turki Utsmani. Irak, Suriah, Palestina, Mesir, dll mendeklarasikan konsensus kebangsaan sehingga merdeka. Saat itu sentimen kebangsaan tambah kental dengan lahirnya Pan-Turkisme dan Pan Arabisme; masing-masing menuntut kemerdekaan dan hak menentukan nasib sendiri atas nama bangsanya, bukan atas nama umat Islam.
Runtuhnya Khilafah Turki Utsmani
Sejak tahun 1920, Mustafa Kemal Pasha menjadikan Ankara sebagai pusat aktivitas politiknya. Setelah menguasai Istambul, Inggris menciptakan kevakuman politik, dengan menawan banyak pejabat negara dan menutup kantor-kantor dengan paksa sehingga bantuan kholifah dan pemerintahannya mandeg. Instabilitas terjadi di dalam negeri, sementara opini umum menyudutkan kholifah dan memihak kaum nasionalis. Situasi ini dimanfaatkan Mustafa Kemal Pasha untuk membentuk Dewan Perwakilan Nasional - dan ia menobatkan diri sebagai ketuanya - sehingga ada 2 pemerintahan; pemerintahan khilafah di Istambul dan pemerintahan Dewan Perwakilan Nasional di Ankara. Walau kedudukannya tambah kuat, Mustafa Kemal Pasha tetap tak berani membubarkan khilafah. Dewan Perwakilan Nasional hanya mengusulkan konsep yang memisahkan khilafah dengan pemerintahan. Namun, setelah perdebatan panjang di Dewan Perwakilan Nasional, konsep ini ditolak. Pengusulnyapun mencari alasan membubarkan Dewan Perwakilan Nasional dengan melibatkannya dalam berbagai kasus pertumpahan darah. Setelah memuncaknya krisis, Dewan Perwakilan Nasional ini diusulkan agar mengangkat Mustafa Kemal Pasha sebagai ketua parlemen, yang diharap bisa menyelesaikan kondisi kritis ini.
Setelah resmi dipilih jadi ketua parlemen, Pasha mengumumkan kebijakannya, yaitu mengubah sistem khilafah dengan republik yang dipimpin seorang presiden yang dipilih lewat Pemilu. Tanggal 29 November 1923, ia dipilih parlemen sebagai presiden pertama Turki. Namun ambisinya untuk membubarkan khilafah yang telah terkorupsi terintangi. Ia dianggap murtad, dan rakyat mendukung Sultan Abdul Mejid II, serta berusaha mengembalikan kekuasaannya. Ancaman ini tak menyurutkan langkah Mustafa Kemal Pasha. Malahan, ia menyerang balik dengan taktik politik dan pemikirannya yang menyebut bahwa penentang sistem republik ialah pengkhianat bangsa dan ia melakukan teror untuk mempertahankan sistem pemerintahannya. Kholifah digambarkan sebagai sekutu asing yang harus dienyahkan.
Setelah suasana negara kondusif, Mustafa Kemal Pasha mengadakan sidang Dewan Perwakilan Nasional. Tepat 3 Maret 1924 M, ia memecat kholifah, membubarkan sistem khilafah, dan menghapuskan sistem Islam dari negara. Hal ini dianggap sebagai titik klimaks revolusi Mustafa Kemal Pasha.
* Osman I (1281-1326; bey)
* Orhan I (1326-1359; bey)
* Murad I (1359-1389; sultan sejak 1383)
* Beyazid I (1389-1402)
* Interregnum (1402-1413)
* Mehmed I (1413-1421)
* Murad II (1421-1444) (1445-1451)
* Mehmed II (sang Penguasa) (1444-1445) (1451-1481)
* Beyazid II (1481-1512)
* Selim I (1512-1520)
* Suleiman I (yang Agung) (1520-1566)
* Selim II (1566-1574)
* Murad III (1574-1595)
* Mehmed III (1595-1603)
* Ahmed I (1603-1617)
* Mustafa I (1617-1618)
* Osman II (1618-1622)
* Mustafa I (1622-1623)
* Murad IV (1623-1640)
* Ibrahim I (1640-1648)
* Mehmed IV (1648-1687)
* Suleiman II (1687-1691)
* Ahmed II (1691-1695)
* Mustafa II (1695-1703)
* Ahmed III (1703-1730)
* Mahmud I (1730-1754)
* Osman III (1754-1757)
* Mustafa III (1757-1774)
* Abd-ul-Hamid I (1774-1789)
* Selim III (1789-1807)
* Mustafa IV (1807-1808)
* Mahmud II (1808-1839)
* Abd-ul-Mejid (1839-1861)
* Abd-ul-Aziz (1861-1876)
* Murad V (1876)
* Abd-ul-Hamid II (1876-1909)
* Mehmed V (Reşad) (1909-1918)
* Mehmed VI (Vahideddin) (1918-1922)
* Abdul Mejid II, (1922-1924; hanya sebagai Kalifah)
0 comment:
Posting Komentar