Pada masa itu, masa dimana rakyat masih menggunakan tempurung kepala untuk meminum air yang didapat dari mata air, rakyat biasa hidup menderita. Mereka miskin makanan, miskin pendidikan (rakyat miskin tidak dapat bersekolah), miskin baju, serta miskin akan hak-hak sebagai manusia. Bahkan, ketika ekspor panen getah naik 40% pun, rakyat masih memakan umbi batang pisang. Bisa dikatakan bahwa martabat manusia saat itu tidaklah lebih penting dari hasil panen kopi. Bahkan, anak-anak dari kalangan rakyat miskin pun diharuskan untuk bekerja (misalnya dengan menjual rumput liar) agar dapat bertahan hidup. Mereka hidup terjajah dan terbelakang.
Hidup terlihat sangatlah tidak adil bagi kaum rakyat biasa tersebut. Merekalah yang menanam dan memanen hasil-hasil ekspor tersebut namun bukannya menikmati keuntungan dari apa yang mereka lakukan, mereka malah mendapatkan penderitaan dan keuntungan yang didapat diambil oleh kaum penjajah. Meskipun tidak adil dan mereka hidup dengan sangat menderita, mereka mau tidak mau harus tetap mengikuti hal-hal yang sudah berlaku dan hanya bisa pasrah agar tetap dapat melangsungkan hidup mereka. Yang terasa berlebihan yaitu anak-anak kecil diharuskan untuk bekerja, padahal mereka seharusnya memiliki hak untuk menikmati masa-masa indah sebagai anak-anak, bukanlah merupakan kewajiban mereka untuk bekerja, kewajiban untuk bekerja sudah selayaknyalah berada pada pundak orang tua mereka.
Di zaman tersebut, gelar tertinggi (terutama untuk wanita) yaitu gelar ‘Raden Ayu’. Gelar tersebut bisa didapat dengan menjadi istri utama dari seorang bupati. Seorang bupati bisa menikahi sebanyak mungkin wanita yang ia inginkan, namun hanya seorang dari merekalah yang bisa diangkat menjadi istri utama. Istri utama akan tinggal di rumah utama dan istri lain tinggal di rumah lain meskipun masih berada dalam satu kompleks.
Hal tersebut menunjukkan bahwa kaum wanita pada zaman tersebut dianggap tidaklah lebih tinggi daripada kaum pria, terjadi diskriminasi terhadap perempuan dan kaum wanita pun tidak mampu melakukan hal apapun selain pasrah karena hal tersebut sudah mendarah daging dalam kehidupan mereka. Kaum wanita dianggap sebagai barang yang bisa dipilih, dinikahi, dan diperlakukan secara sewenang-wenang oleh seorang pria. Poligami tersebut menjadi contoh atas poligami yang terjadi sekarang, serta memperjelas ketidak adilan terhadap kaum wanita yang terjadi sejak dulu hingga sekarang, yang jelaslah merendahkan martabat kaum wanita. Terlebih lagi, ketika kaum pria membandingkan derajat wanita yang satu dengan wanita yang lainnya, hal tersebut dapat dipastikan sangat menyinggung martabat seorang wanita.
Anak-anak dari tiap istri akan dibawa ke rumah utama. Dan anak-anak tersebut tidak akan memanggil ibu kandungnya dengan sebutan ‘ibu’ namun sebutan lain (‘yuk’) karena dianggap bahwa ibu lain selain istri utama memiliki pangkat lebih rendah daripada anak itu sendiri.
Terdapat stratifikasi, bahkan dalam kaum wanita itu sendiri. Mereka yang berpangkat lebih tinggi bisa menikmati hidup lebih layak daripada mereka yang berpangkat lebih rendah. Yang menyakitkan adalah bila mereka yang berpangkat lebih rendah dipisahkan dari anak mereka dan bahkan tidak diijinkan untuk dipanggil dengan sebutan ‘ibu’ oleh anak yang mereka lahirkan sendiri dan memanggil dengan sebutan ‘anak’ kepada anak kandung mereka sendiri. Apalagi ketika mengingat bahwa anak mereka tersebut bahkan dianggap memiliki pangkat yang lebih tinggi dari pada ibu mereka sendiri. Seorang ibu tidaklah dianggap seorang ibu lagi ketika sang ibu bukanlah ‘Raden Ayu’.
Anak yang sudah dapat berjalan akan menjalani upacara tedak siten. Upacara tersebut dilakukan untuk memperingati seorang anak yang mulai mampu berjalan di tanah Jawa untuk pertama kalinya.
Upacara tedak siten tersebut menunjukkan bahwa masyarakat Jawa masih mementingkan tradisi yang diwariskan turun temurun dari generasi yang satu ke generasi yang lainnya. Mereka menjaga tradisi yang ada dengan baik agar tradisi tersebut tidaklah hilang dimakan waktu. Selain itu, memperlihatkan bagaimana mereka ingin mengingatkan kepada masyarakat setempat bahwa anak mereka ‘ada’ dan sudah mampu berjalan, yang menandakan bahwa hal itu adalah langkah pertama mereka menuju sesuatu yang lebih berarti lagi nantinya.
Sekolah menggunakan sistem sekolah orang Belanda (Eropa) yang sudah menggunakan meja. Seorang bupati akan memanggil guru ke rumah agar anaknya bisa belajar dan mendapatkan pendidikan yang layak. Ketika sedang belajar, seorang murid menggunakan sabak (terbuat dari batu) sebagai tempat menulis. Bila seseorang ingin menempuh sekolah lebih lanjut lagi (terutama ke Belanda), seseorang tersebut haruslah menguasai beberapa bahasa selain bahasa Belanda (bahasa yang dianggap sebagai bahasa pengetahuan di Indonesia saat itu), misalnya bahasa Perancis.
Mempelajari banyak bahasa merupakan hal yang baik karena itu berarti bahwa pendidikan telah diberikan secara matang dan pada kemudian hari akan berguna bagi mereka, sekalipun hanya didapatkan oleh kalangan atas. Penguasaan banyak bahasa oleh seseorang memungkinkan mereka untuk mendapatkan pengetahuan yang lebih luas (baik dalam bidang pengetahuan maupun kebudayaan) sehingga bisa memperoleh cara pandang yang lebih luas serta terbuka dan diharapkan bahwa mereka akan membawa pengetahuan tersebut untuk kebaikan bangsanya sendiri. Dengan diadaptasinya pendidikan dengan sistem bangsa Belanda, pendidikan bukan lagi hanya tertuju pada pembelajaran agama seperti yang terjadi pada masa sebelumnya (misalnya pesantren).
Buku-buku yang ada merupakan buatan orang-orang Belanda, sangatlah terbatas dan tidak boleh dibaca sembarangan.
Itu merupakan hal yang tidak adil karena buku yang ada hanya dibuat oleh orang Belanda. Namun, hal itu mendorong kaum pribumi yang bisa mendapatkan pendidikan secara layak untuk menguasai bahasa Belanda dan berjuang lebih keras untuk mendapatkan pendidikan yang lebih dalam dan memanfaatkan kesempatan yang mereka miliki dengan lebih baik lagi.
Bagi masyarakat setempat, kaum pria yang menikah lagi merupakan hal yang biasa. Kaum pria golongan atas, diajarkan cara mengeluarkan pendapat mereka di depan orang lain atau publik dan memiliki hak untuk memilih suatu hal.
Merupakan hal yang tidak adil terhadap kaum lawan jenisnya. Anggapan kaum pria lebih tinggi daripada kaum wanita sudah tertanam sejak dulu, sehingga mendorong masyarakat untuk berpendapat, bahkan hingga saat ini, bahwa pria lebih unggul daripada wanita dan mendorong kaum pria untuk memandang rendah terhadap kaum wanita yang ada.
Hal tersebut bertolak belakang dengan kehidupan kaum wanita. Kaum wanita tidaklah mempunyai pilihan dan hanya akan mendapatkan apa yang diperbolehkan untuk dirinya. Ketika seorang wanita sudah mengalami menstruasi, berarti mereka telah diperbolehkan untuk menikah dan ketika seorang wanita sudah menikah, hal tersebut dianggap mengurangi beban orang tuanya. Kaum wanita tidak memiliki banyak kesempatan seperti layaknya kaum pria, bisa dikatakan bahwa kaum wanita hanya bisa menangisi suatu hal.
Bila seorang anak perempuan dinikahkan, mereka memang akan mengurangi beban keluarga, namun, hal tersebut tidaklah adil bagi anak perempuan yang dinikahkan tersebut. Pada dasarnya, setiap manusia memiliki keinginan untuk menentukan (memilih) suatu hal berdasarkan apa yang diinginkan oleh diri sendiri dan bila hal tersebut direbut (ditentukan) oleh orang lain, pastilah terasa berat untuk menjalaninya, sekalipun hal itu sudah merupakan tradisi dari generasi yang satu ke generasi yang lainnya. Kesempatan yang tidak diberikan kepada kaum wanita mendorong kaum wanita untuk hanya bersikap pasrah terhadap apapun yang terjadi pada dirinya, padahal pasrah dan hanya menangis bukanlah cara untuk menyelesaikan masalah yang ada. Tradisi tersebut membuat kaum wanita bersikap pasif, yang bahkan masih bisa terlihat hingga masa ini.
Terdapat tradisi pingitan. Tradisi tersebut mengharuskan seorang anak perempuan yang sudah siap dinikahkan (sudah menstruasi) tinggal di dalam suatu ruangan dan hanya diperbolehkan untuk menemui kerabat dekatnya. Kemudian, dia akan tinggal disana hingga orang tuanya mendatangkan calon suami untuknya. Anak perempuan tersebut pada akhirnya akan menikahi orang yang dibawa oleh orang tuanya tersebut.
Tradisi ini merupakan tradisi yang bisa dikatakan konyol karena bertujuan agar tidak mengenal pria lain dan tidak adil (apalagi bila dipadankan dengan pria yang berumur jauh diatas anak perempuan yang dipingit). Perempuan tidak diberikan kesempatan untuk memilih, bahkan memilih untuk dirinya sendiri. Wanita dianggap tidak mampu dan diperlakukan sesuai dengan kehendak yang berada diatasnya (orang tuanya), padahal mereka bahkan belum memberikan kesempatan bagi anak perempuan tersebut untuk melakukan hal yang diinginkannya.
Rakyat yang banyak tertekan dan terbelakang tersebut serta situasi pada saat itu meragukan bahwa bisa bebas dari tekanan-tekanan yang ada. Sedangkan orang Belanda, mengumbar banyak janji namun sulit melihat gambaran kenyataannya.
Hal itu memperlihatkan kepada bangsa Indonesia bahwa bangsa Belanda (Eropa) sulitlah dipercaya karena hanya mengumbar janji. Namun, terlihat juga betapa bangsa Indonesia sangatlah mudah diperalat yaitu rakyat masih saja banyak yang mempercayai janji-janji yang dibuat, yang dimungkinkan karena keadaan yang tidak juga membaik dan adanya keinginan bahwa janji yang diumbar akan menghasilkan sesuatu yang nyata. Dari semua keadaan tersebut, rakyat ditanami suatu pikiran bahwa mereka terpenjara dalam lingkaran setan tak berujung dan mereka tidak dapat bebas lagi dari dalamnya. Keraguan rakyat tersebutlah yang mendorong sulitnya mereka terbebas dari keadaan yang ada.
Hidup terlihat sangatlah tidak adil bagi kaum rakyat biasa tersebut. Merekalah yang menanam dan memanen hasil-hasil ekspor tersebut namun bukannya menikmati keuntungan dari apa yang mereka lakukan, mereka malah mendapatkan penderitaan dan keuntungan yang didapat diambil oleh kaum penjajah. Meskipun tidak adil dan mereka hidup dengan sangat menderita, mereka mau tidak mau harus tetap mengikuti hal-hal yang sudah berlaku dan hanya bisa pasrah agar tetap dapat melangsungkan hidup mereka. Yang terasa berlebihan yaitu anak-anak kecil diharuskan untuk bekerja, padahal mereka seharusnya memiliki hak untuk menikmati masa-masa indah sebagai anak-anak, bukanlah merupakan kewajiban mereka untuk bekerja, kewajiban untuk bekerja sudah selayaknyalah berada pada pundak orang tua mereka.
Di zaman tersebut, gelar tertinggi (terutama untuk wanita) yaitu gelar ‘Raden Ayu’. Gelar tersebut bisa didapat dengan menjadi istri utama dari seorang bupati. Seorang bupati bisa menikahi sebanyak mungkin wanita yang ia inginkan, namun hanya seorang dari merekalah yang bisa diangkat menjadi istri utama. Istri utama akan tinggal di rumah utama dan istri lain tinggal di rumah lain meskipun masih berada dalam satu kompleks.
Hal tersebut menunjukkan bahwa kaum wanita pada zaman tersebut dianggap tidaklah lebih tinggi daripada kaum pria, terjadi diskriminasi terhadap perempuan dan kaum wanita pun tidak mampu melakukan hal apapun selain pasrah karena hal tersebut sudah mendarah daging dalam kehidupan mereka. Kaum wanita dianggap sebagai barang yang bisa dipilih, dinikahi, dan diperlakukan secara sewenang-wenang oleh seorang pria. Poligami tersebut menjadi contoh atas poligami yang terjadi sekarang, serta memperjelas ketidak adilan terhadap kaum wanita yang terjadi sejak dulu hingga sekarang, yang jelaslah merendahkan martabat kaum wanita. Terlebih lagi, ketika kaum pria membandingkan derajat wanita yang satu dengan wanita yang lainnya, hal tersebut dapat dipastikan sangat menyinggung martabat seorang wanita.
Anak-anak dari tiap istri akan dibawa ke rumah utama. Dan anak-anak tersebut tidak akan memanggil ibu kandungnya dengan sebutan ‘ibu’ namun sebutan lain (‘yuk’) karena dianggap bahwa ibu lain selain istri utama memiliki pangkat lebih rendah daripada anak itu sendiri.
Terdapat stratifikasi, bahkan dalam kaum wanita itu sendiri. Mereka yang berpangkat lebih tinggi bisa menikmati hidup lebih layak daripada mereka yang berpangkat lebih rendah. Yang menyakitkan adalah bila mereka yang berpangkat lebih rendah dipisahkan dari anak mereka dan bahkan tidak diijinkan untuk dipanggil dengan sebutan ‘ibu’ oleh anak yang mereka lahirkan sendiri dan memanggil dengan sebutan ‘anak’ kepada anak kandung mereka sendiri. Apalagi ketika mengingat bahwa anak mereka tersebut bahkan dianggap memiliki pangkat yang lebih tinggi dari pada ibu mereka sendiri. Seorang ibu tidaklah dianggap seorang ibu lagi ketika sang ibu bukanlah ‘Raden Ayu’.
Anak yang sudah dapat berjalan akan menjalani upacara tedak siten. Upacara tersebut dilakukan untuk memperingati seorang anak yang mulai mampu berjalan di tanah Jawa untuk pertama kalinya.
Upacara tedak siten tersebut menunjukkan bahwa masyarakat Jawa masih mementingkan tradisi yang diwariskan turun temurun dari generasi yang satu ke generasi yang lainnya. Mereka menjaga tradisi yang ada dengan baik agar tradisi tersebut tidaklah hilang dimakan waktu. Selain itu, memperlihatkan bagaimana mereka ingin mengingatkan kepada masyarakat setempat bahwa anak mereka ‘ada’ dan sudah mampu berjalan, yang menandakan bahwa hal itu adalah langkah pertama mereka menuju sesuatu yang lebih berarti lagi nantinya.
Sekolah menggunakan sistem sekolah orang Belanda (Eropa) yang sudah menggunakan meja. Seorang bupati akan memanggil guru ke rumah agar anaknya bisa belajar dan mendapatkan pendidikan yang layak. Ketika sedang belajar, seorang murid menggunakan sabak (terbuat dari batu) sebagai tempat menulis. Bila seseorang ingin menempuh sekolah lebih lanjut lagi (terutama ke Belanda), seseorang tersebut haruslah menguasai beberapa bahasa selain bahasa Belanda (bahasa yang dianggap sebagai bahasa pengetahuan di Indonesia saat itu), misalnya bahasa Perancis.
Mempelajari banyak bahasa merupakan hal yang baik karena itu berarti bahwa pendidikan telah diberikan secara matang dan pada kemudian hari akan berguna bagi mereka, sekalipun hanya didapatkan oleh kalangan atas. Penguasaan banyak bahasa oleh seseorang memungkinkan mereka untuk mendapatkan pengetahuan yang lebih luas (baik dalam bidang pengetahuan maupun kebudayaan) sehingga bisa memperoleh cara pandang yang lebih luas serta terbuka dan diharapkan bahwa mereka akan membawa pengetahuan tersebut untuk kebaikan bangsanya sendiri. Dengan diadaptasinya pendidikan dengan sistem bangsa Belanda, pendidikan bukan lagi hanya tertuju pada pembelajaran agama seperti yang terjadi pada masa sebelumnya (misalnya pesantren).
Buku-buku yang ada merupakan buatan orang-orang Belanda, sangatlah terbatas dan tidak boleh dibaca sembarangan.
Itu merupakan hal yang tidak adil karena buku yang ada hanya dibuat oleh orang Belanda. Namun, hal itu mendorong kaum pribumi yang bisa mendapatkan pendidikan secara layak untuk menguasai bahasa Belanda dan berjuang lebih keras untuk mendapatkan pendidikan yang lebih dalam dan memanfaatkan kesempatan yang mereka miliki dengan lebih baik lagi.
Bagi masyarakat setempat, kaum pria yang menikah lagi merupakan hal yang biasa. Kaum pria golongan atas, diajarkan cara mengeluarkan pendapat mereka di depan orang lain atau publik dan memiliki hak untuk memilih suatu hal.
Merupakan hal yang tidak adil terhadap kaum lawan jenisnya. Anggapan kaum pria lebih tinggi daripada kaum wanita sudah tertanam sejak dulu, sehingga mendorong masyarakat untuk berpendapat, bahkan hingga saat ini, bahwa pria lebih unggul daripada wanita dan mendorong kaum pria untuk memandang rendah terhadap kaum wanita yang ada.
Hal tersebut bertolak belakang dengan kehidupan kaum wanita. Kaum wanita tidaklah mempunyai pilihan dan hanya akan mendapatkan apa yang diperbolehkan untuk dirinya. Ketika seorang wanita sudah mengalami menstruasi, berarti mereka telah diperbolehkan untuk menikah dan ketika seorang wanita sudah menikah, hal tersebut dianggap mengurangi beban orang tuanya. Kaum wanita tidak memiliki banyak kesempatan seperti layaknya kaum pria, bisa dikatakan bahwa kaum wanita hanya bisa menangisi suatu hal.
Bila seorang anak perempuan dinikahkan, mereka memang akan mengurangi beban keluarga, namun, hal tersebut tidaklah adil bagi anak perempuan yang dinikahkan tersebut. Pada dasarnya, setiap manusia memiliki keinginan untuk menentukan (memilih) suatu hal berdasarkan apa yang diinginkan oleh diri sendiri dan bila hal tersebut direbut (ditentukan) oleh orang lain, pastilah terasa berat untuk menjalaninya, sekalipun hal itu sudah merupakan tradisi dari generasi yang satu ke generasi yang lainnya. Kesempatan yang tidak diberikan kepada kaum wanita mendorong kaum wanita untuk hanya bersikap pasrah terhadap apapun yang terjadi pada dirinya, padahal pasrah dan hanya menangis bukanlah cara untuk menyelesaikan masalah yang ada. Tradisi tersebut membuat kaum wanita bersikap pasif, yang bahkan masih bisa terlihat hingga masa ini.
Terdapat tradisi pingitan. Tradisi tersebut mengharuskan seorang anak perempuan yang sudah siap dinikahkan (sudah menstruasi) tinggal di dalam suatu ruangan dan hanya diperbolehkan untuk menemui kerabat dekatnya. Kemudian, dia akan tinggal disana hingga orang tuanya mendatangkan calon suami untuknya. Anak perempuan tersebut pada akhirnya akan menikahi orang yang dibawa oleh orang tuanya tersebut.
Tradisi ini merupakan tradisi yang bisa dikatakan konyol karena bertujuan agar tidak mengenal pria lain dan tidak adil (apalagi bila dipadankan dengan pria yang berumur jauh diatas anak perempuan yang dipingit). Perempuan tidak diberikan kesempatan untuk memilih, bahkan memilih untuk dirinya sendiri. Wanita dianggap tidak mampu dan diperlakukan sesuai dengan kehendak yang berada diatasnya (orang tuanya), padahal mereka bahkan belum memberikan kesempatan bagi anak perempuan tersebut untuk melakukan hal yang diinginkannya.
Rakyat yang banyak tertekan dan terbelakang tersebut serta situasi pada saat itu meragukan bahwa bisa bebas dari tekanan-tekanan yang ada. Sedangkan orang Belanda, mengumbar banyak janji namun sulit melihat gambaran kenyataannya.
Hal itu memperlihatkan kepada bangsa Indonesia bahwa bangsa Belanda (Eropa) sulitlah dipercaya karena hanya mengumbar janji. Namun, terlihat juga betapa bangsa Indonesia sangatlah mudah diperalat yaitu rakyat masih saja banyak yang mempercayai janji-janji yang dibuat, yang dimungkinkan karena keadaan yang tidak juga membaik dan adanya keinginan bahwa janji yang diumbar akan menghasilkan sesuatu yang nyata. Dari semua keadaan tersebut, rakyat ditanami suatu pikiran bahwa mereka terpenjara dalam lingkaran setan tak berujung dan mereka tidak dapat bebas lagi dari dalamnya. Keraguan rakyat tersebutlah yang mendorong sulitnya mereka terbebas dari keadaan yang ada.
0 comment:
Posting Komentar