Usai nyimak bab terdahulu, kita jadi tahu, ada kalanya Nabi dan para shahabat ketemu ama lawan-jenis dalam waktu lama dan secara berulang. Kayak pacaran aja, yach.
Ah… Entah mirip pacaran entah enggak, kita disaranin Abu Syuqqah untuk tidak sembarangan bertemu lawan-jenis secara berulang atau dalam waktu lama. Kalo nggak jelas juntrungnya, nggak usah deh. Tapi, kalo jelas juntrungnya… ya oke dong.
‘Jelas juntrungnya’ itu… gini nih.… Kalo kita mo ketemu lawan-jenis secara berulang dan dalam waktu lama, kita ikuti arah yang ditunjukkan Abu Syuqqah, yaitu “untuk bekerja-sama dan bertukar pikiran atau hal-hal lain yang betul-betul bermanfaat. Hal semacam itu tidak mengapa dilakukan sambil mawas diri, dengan catatan [bahwa pertemuan itu] betul-betul penting. Sebab, pertemuan yang serius biasanya menyibukkan aktivitas akal dan hati, sehingga membantu terpeliharanya akhlak yang baik.” (KW2: 128)
Serius itu bukan berarti tegang terus, tiada santai sama sekali, loh. Kalo di dalam perbauran itu terdapat pujian, sanjungan, obrolan ringan, atau pun canda polos yang dapat mengakrabkan hubungan dan menyegarkan suasana… ya oke juga dong. Hal2 ‘ringan’ yang tampaknya sepele ini disetujui Abu Syuqqah, asalkan “tidak bertentangan dengan keseriusan” pertemuan itu. (KW2: 107)
Seriusnya… ya kayak tulisan yang lagi kau simak ini. Biar sering pake gaya bicara gaul, kurang peduli tata bahasa, kita tetep serius.
Dari Anas bin Malik r.a., dia berkata bahwa Rasulullah saw. menemui Ummu Haram binti Milhan. Lantas dia menjamu makan Rasulullah saw.. Ketika itu, Ummu Haram merupakan istri Ubadah bin Shamit. Rasulullah saw. berkunjung ke rumah wanita tersebut. Lantas wanita tersebut menjamu makan Rasulullah saw. dan menyisir rambut beliau. …. (HR Bukhari dan Muslim)
Wow! Akrab bangeeet. Sampe ada sentuhan antara tangan dan kepala. Kayak ama sodara kandung aja.
Eh, jangan2, Ummu Sulaim dan Ummu Haram itu muhrim Rasulullah. Benarkah? Ayo kita periksa.
Ad-Dimyati menyatakan dengan tegas: “Perempuan-perempuan yang pernah menyusui Nabi saw. sudah diketahui semua,” sedangkan nama Ummu Haram dan Ummu Sulaim tidak terdapat di dalamnya. (Fathul Bari, jilid 13, hlm. 321)
Dengan bukti tersebut, yakinlah kita, hubungan akrab dengan lawan-jenis itu sunnah Nabi. Namun, sebagian di antara kita mungkin belum mantap bila hendak meniru kedekatan fisik kayak yang tergambar pada dua hadits di atas. “Tidakkah itu merupakan pengkhususan bagi Nabi karena beliau terpelihara dari kesalahan (ma’shum) dan takkan hanyut oleh gejolak nafsu syahwat?”
Keakraban hubungan Nabi dengan Ummu Sulaim dan Ummu Haram itu bukanlah pengkhususan bagi beliau. Dasarnya, antara lain:
Dari Abu Musa [al-Asy'ari] r.a. dia berkata: “Nabi saw. mengutusku kepada suatu kaum di Yaman. … Kemudian aku menemui seorang wanita dari kaumku sendiri [yaitu seorang iparku] untuk meminta bantuannya menyisir rambut kepalaku dan sekaligus membersihkannya.” (HR Bukhari dan Muslim)
Tuuuh… Rambut kepala Abu Musa pun disisir oleh lawan-jenis non-muhrim sebagaimana Rasulullah. Jadi, dapat kita pahami, keakraban hubungan itu dibolehkan bagi kita juga, tidak khusus bagi Nabi saja.
Syaratnya, sebelumnya harus sudah ada suatu keakraban batiniah berupa ‘rasa sekeluarga’ antara kau dan si lawan-jenis. Maksudnya, setelah melalui hubungan persahabatan yang lama, kau dan dia sudah seperti saudara kandung satu sama lain. Abu Syuqqah yakin, rasa sekeluarga ini “dapat meredam dorongan hawa nafsu” (KW2: 321). Dengan begitu, selamatlah kehormatan kita dari ancaman kerusakan lantaran perzinaan.
Tapi, awas! Jangan salah-paham, ya. Simak baik2! Ungkapan ‘seperti saudara kandung’ itu sengaja kami garis bawahi. Dengan garis bawah itu kami harapkan, fatwa Abu Syuqqah tersebut tidak disalahgunakan oleh muda-mudi Islam yang pacaran.
Sering terjadi ‘kan, baru pacaran aja udah kayak pasangan suami-istri. Tak jarang, si cewek dianggap atau diperlakukan ‘seperti istri’, sedangkan si cowok dianggap atau diperlakukan ‘seperti suami’. Acapkali mereka tidak ‘seperti saudara kandung’ satu sama lain. Pada saat begitu, fatwa Abu Syuqqah mengenai bolehnya ‘kedekatan fisik’ (dengan amat leluasa sampe pake sentuhan segala) tentu tidak berlaku.
Islam tidak mengingkari cinta yang indah. Bahkan, agama kita ini meminta kita menjaga, merawat, dan melindunginya. “Dijaga dari semua kehinaan dan apa saja yang mengotorinya, hingga diikat dengan ikatan perkawinan.” (KW5: 76)
Kita diharapkan mempersiapkan diri. Kedua belah pihak dianjurkan bersiap-siap “menempuh kehidupan [rumah tangga] di kala suka dan duka, lapang dan sempit.” (KW5: 75) Kita bisa saling tukar pikiran dan saling bantu “untuk mempersiapkan rumah tangga yang bahagia” (KW5: 77).
Untuk itu, cara yang paling efektif adalah memelihara hubungan cinta yang mendalam dengan si dia dan menjalani pengalaman kebersamaan dengannya selama masa persiapan tersebut. Namun, nggak sembarangan, loh. Bukan asal mendalam atau pun asal lama. Tapi, yang memungkinkan kedua pihak untuk saling mengenal dan saling mewujudkan “unsur-unsur yang dapat menegakkan cinta ini dan menumbuh-kembangkannya.” (KW5: 75)
Sementara itu, agar cinta kita bener2 terjaga, kita kudu mewaspadai ‘cinta palsu’. Kita harus sadar, ketertarikan yang menggebu-gebu terhadap penampilan lahiriah yang tampak memukau bukanlah cinta sejati, melainkan gelombang “birahi yang besar” (KW5: 79). Gelombang besar ini justru akan menodai cinta kita. Makanya, hati2 ya!
Mungkin sebagian pembaca kurang setuju. “Kenapa hanya perkecil kesempatan berduaan? Kenapa nggak sekalian melarangnya sama sekali? Bukannya berduaan itu terlarang karena pihak ketiganya adalah setan?”
Emang sih, ada beberapa hadits yang secara harfiah nunjukin terlarangnya berduaan. Namun, terdapat hadits-hadits shahih lain “mengenai pertemuan seorang wanita dengan seorang atau beberapa orang laki-laki” di samping “mengenai pertemuan sejumlah kaum wanita dengan satu atau beberapa orang laki-laki.” (KW2: 207)
Ada seorang perempuan Anshar mendatangi Nabi saw. Lalu beliau berduaan dengannya dan bersabda, “Demi Allah! Sungguh kalian [orang-orang Anshar] adalah orang-orang yang paling aku cintai.” (HR Bukhari dan Muslim)
Berdasarkan pemahaman Imam Bukhari dan Hafizh Ibnu Hajar terhadap hadits ini, kami simpulkan, “Boleh berduaan bila terawasi.” (Wahai Penghujat Pacaran Islami, hlm. 65)
Maksudnya, kita boleh berduaan bila berada dalam keadaan yang manakala terlihat tanda-tanda zina, yang ‘kecil’ sekalipun, akan ada orang lain yang menaruh perhatian dan cenderung mencegah perbuatan tercela ini.
here
Ah… Entah mirip pacaran entah enggak, kita disaranin Abu Syuqqah untuk tidak sembarangan bertemu lawan-jenis secara berulang atau dalam waktu lama. Kalo nggak jelas juntrungnya, nggak usah deh. Tapi, kalo jelas juntrungnya… ya oke dong.
‘Jelas juntrungnya’ itu… gini nih.… Kalo kita mo ketemu lawan-jenis secara berulang dan dalam waktu lama, kita ikuti arah yang ditunjukkan Abu Syuqqah, yaitu “untuk bekerja-sama dan bertukar pikiran atau hal-hal lain yang betul-betul bermanfaat. Hal semacam itu tidak mengapa dilakukan sambil mawas diri, dengan catatan [bahwa pertemuan itu] betul-betul penting. Sebab, pertemuan yang serius biasanya menyibukkan aktivitas akal dan hati, sehingga membantu terpeliharanya akhlak yang baik.” (KW2: 128)
Serius itu bukan berarti tegang terus, tiada santai sama sekali, loh. Kalo di dalam perbauran itu terdapat pujian, sanjungan, obrolan ringan, atau pun canda polos yang dapat mengakrabkan hubungan dan menyegarkan suasana… ya oke juga dong. Hal2 ‘ringan’ yang tampaknya sepele ini disetujui Abu Syuqqah, asalkan “tidak bertentangan dengan keseriusan” pertemuan itu. (KW2: 107)
Seriusnya… ya kayak tulisan yang lagi kau simak ini. Biar sering pake gaya bicara gaul, kurang peduli tata bahasa, kita tetep serius.
Akrab Lahiriah dan Batiniah
Dari Anas r.a. dikatakan bahwa Ummu Sulaim menggelar tikar [dari kulit] untuk Nabi saw., kemudian beliau tidur [siang] di atasnya. Anas berkata: “Ketika Nabi saw. tidur, Ummu Sulaim mengambil keringat dan rambut beliau, lalu mengumpulkannya dalam suatu bejana, kemudian menghimpunkannya ke dalam wewangian ….” (HR Bukhari dan Muslim)Dari Anas bin Malik r.a., dia berkata bahwa Rasulullah saw. menemui Ummu Haram binti Milhan. Lantas dia menjamu makan Rasulullah saw.. Ketika itu, Ummu Haram merupakan istri Ubadah bin Shamit. Rasulullah saw. berkunjung ke rumah wanita tersebut. Lantas wanita tersebut menjamu makan Rasulullah saw. dan menyisir rambut beliau. …. (HR Bukhari dan Muslim)
Wow! Akrab bangeeet. Sampe ada sentuhan antara tangan dan kepala. Kayak ama sodara kandung aja.
Eh, jangan2, Ummu Sulaim dan Ummu Haram itu muhrim Rasulullah. Benarkah? Ayo kita periksa.
Ad-Dimyati menyatakan dengan tegas: “Perempuan-perempuan yang pernah menyusui Nabi saw. sudah diketahui semua,” sedangkan nama Ummu Haram dan Ummu Sulaim tidak terdapat di dalamnya. (Fathul Bari, jilid 13, hlm. 321)
Dengan bukti tersebut, yakinlah kita, hubungan akrab dengan lawan-jenis itu sunnah Nabi. Namun, sebagian di antara kita mungkin belum mantap bila hendak meniru kedekatan fisik kayak yang tergambar pada dua hadits di atas. “Tidakkah itu merupakan pengkhususan bagi Nabi karena beliau terpelihara dari kesalahan (ma’shum) dan takkan hanyut oleh gejolak nafsu syahwat?”
Keakraban hubungan Nabi dengan Ummu Sulaim dan Ummu Haram itu bukanlah pengkhususan bagi beliau. Dasarnya, antara lain:
Dari Abu Musa [al-Asy'ari] r.a. dia berkata: “Nabi saw. mengutusku kepada suatu kaum di Yaman. … Kemudian aku menemui seorang wanita dari kaumku sendiri [yaitu seorang iparku] untuk meminta bantuannya menyisir rambut kepalaku dan sekaligus membersihkannya.” (HR Bukhari dan Muslim)
Tuuuh… Rambut kepala Abu Musa pun disisir oleh lawan-jenis non-muhrim sebagaimana Rasulullah. Jadi, dapat kita pahami, keakraban hubungan itu dibolehkan bagi kita juga, tidak khusus bagi Nabi saja.
Syaratnya, sebelumnya harus sudah ada suatu keakraban batiniah berupa ‘rasa sekeluarga’ antara kau dan si lawan-jenis. Maksudnya, setelah melalui hubungan persahabatan yang lama, kau dan dia sudah seperti saudara kandung satu sama lain. Abu Syuqqah yakin, rasa sekeluarga ini “dapat meredam dorongan hawa nafsu” (KW2: 321). Dengan begitu, selamatlah kehormatan kita dari ancaman kerusakan lantaran perzinaan.
Tapi, awas! Jangan salah-paham, ya. Simak baik2! Ungkapan ‘seperti saudara kandung’ itu sengaja kami garis bawahi. Dengan garis bawah itu kami harapkan, fatwa Abu Syuqqah tersebut tidak disalahgunakan oleh muda-mudi Islam yang pacaran.
Sering terjadi ‘kan, baru pacaran aja udah kayak pasangan suami-istri. Tak jarang, si cewek dianggap atau diperlakukan ‘seperti istri’, sedangkan si cowok dianggap atau diperlakukan ‘seperti suami’. Acapkali mereka tidak ‘seperti saudara kandung’ satu sama lain. Pada saat begitu, fatwa Abu Syuqqah mengenai bolehnya ‘kedekatan fisik’ (dengan amat leluasa sampe pake sentuhan segala) tentu tidak berlaku.
Kala Cinta Bersemi di Hati
Berdekatannya muda-mudi tanpa tirai pemisah, apalagi secara berulang dan dalam waktu lama, bisa mengakibatkan munculnya kecenderungan untuk “merasa dekat.” (KW3: 77) Rasa dekat ini tidak selalu rasa ‘seperti saudara kandung’. Bahkan, lebih sering terjadi, muncullah rasa ‘seperti belahan jiwa’ atau ‘seperti bakal calon teman sehidup-semati’. “Mereka akan saling menarik lawan jenis.” (KW3: 78) Dengan kata lain, bersemilah cinta yang terasa indah di hati mereka masing2.Islam tidak mengingkari cinta yang indah. Bahkan, agama kita ini meminta kita menjaga, merawat, dan melindunginya. “Dijaga dari semua kehinaan dan apa saja yang mengotorinya, hingga diikat dengan ikatan perkawinan.” (KW5: 76)
Kita diharapkan mempersiapkan diri. Kedua belah pihak dianjurkan bersiap-siap “menempuh kehidupan [rumah tangga] di kala suka dan duka, lapang dan sempit.” (KW5: 75) Kita bisa saling tukar pikiran dan saling bantu “untuk mempersiapkan rumah tangga yang bahagia” (KW5: 77).
Untuk itu, cara yang paling efektif adalah memelihara hubungan cinta yang mendalam dengan si dia dan menjalani pengalaman kebersamaan dengannya selama masa persiapan tersebut. Namun, nggak sembarangan, loh. Bukan asal mendalam atau pun asal lama. Tapi, yang memungkinkan kedua pihak untuk saling mengenal dan saling mewujudkan “unsur-unsur yang dapat menegakkan cinta ini dan menumbuh-kembangkannya.” (KW5: 75)
Sementara itu, agar cinta kita bener2 terjaga, kita kudu mewaspadai ‘cinta palsu’. Kita harus sadar, ketertarikan yang menggebu-gebu terhadap penampilan lahiriah yang tampak memukau bukanlah cinta sejati, melainkan gelombang “birahi yang besar” (KW5: 79). Gelombang besar ini justru akan menodai cinta kita. Makanya, hati2 ya!
Ketika Terawasi, Nabi Pun Berduaan
Untuk menjamin agar kita selamat dari besarnya gelombang birahi, Abu Syuqqah ngasih saran, jiwa kita sebaiknya dilatih semenjak dini, yakni sejak memasuki masa puber. Maksudnya, sejak masa ABG (anak baru gede), remaja hendaknya dibiasakan menahan diri, menaklukkan gejolak birahi, dan melakukan perbauran secara “bersih”. Caranya, perkecil kesempatan berduaan di satu sisi, dan perketat pengawasan di sisi lain. (KW2: 106) Setuju, nggak?Mungkin sebagian pembaca kurang setuju. “Kenapa hanya perkecil kesempatan berduaan? Kenapa nggak sekalian melarangnya sama sekali? Bukannya berduaan itu terlarang karena pihak ketiganya adalah setan?”
Emang sih, ada beberapa hadits yang secara harfiah nunjukin terlarangnya berduaan. Namun, terdapat hadits-hadits shahih lain “mengenai pertemuan seorang wanita dengan seorang atau beberapa orang laki-laki” di samping “mengenai pertemuan sejumlah kaum wanita dengan satu atau beberapa orang laki-laki.” (KW2: 207)
Ada seorang perempuan Anshar mendatangi Nabi saw. Lalu beliau berduaan dengannya dan bersabda, “Demi Allah! Sungguh kalian [orang-orang Anshar] adalah orang-orang yang paling aku cintai.” (HR Bukhari dan Muslim)
Berdasarkan pemahaman Imam Bukhari dan Hafizh Ibnu Hajar terhadap hadits ini, kami simpulkan, “Boleh berduaan bila terawasi.” (Wahai Penghujat Pacaran Islami, hlm. 65)
Maksudnya, kita boleh berduaan bila berada dalam keadaan yang manakala terlihat tanda-tanda zina, yang ‘kecil’ sekalipun, akan ada orang lain yang menaruh perhatian dan cenderung mencegah perbuatan tercela ini.
here
0 comment:
Posting Komentar