Kuremas
secarik kertas kusam ditangan kananku dengan mata nanar dan langkah tak
menjejak. Sebuah puisi cinta terukir disana. Lebih tepatnya penghapusan pahit
dengan manis. Kertas itu setahun lebih tua dari anak tunggalku yang mati 40
hari yang lalu. ”Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya Di Bibirku Dengan
Bibirmu” kalimat itu berderet dengan angkuh di deret paling atas lembar itu
sebagai judul dan juga bertindak sebagai ringkasan puisi ini. Istriku yang
membuatnya untukku 9 tahun yang lalu.
Setapak
demi setapak ku berjalan dalam remang duka dan kesunyian. ”Maukah Kau
Menghapus Bekas Bibirnya Di Bibirku Dengan Bibirmu” deret kata itu
berseliweran dikepalaku. Kubayangkan bibirku. Kuraba bibirku perlahan.
Kubayangkan bibir orang terakhir mengecup bibirku. Ku terbawa perasaanku saat
itu. Aku terhempas pada lembah kenangan. Membuang sampah sejarah memang tidak
mudah. Sejarah memang untuk dikenang tapi aku ingin pulang dan membuang
kenangan. Aku pernah mendengar tentang lubang hitam. Aku ingin pergi kesana
dan membuang semua kenanganku kedalamnya.
Perlahan
aku duduk terdiam. Sama perlahanya dengan jatuhnya satu persatu butir air
dari mataku. Aku tak sadar. Semua terjadi diluar kendali. Kadang emosi
merasuki tanpa permisi hingga tak sadar ia telah mengambil alih kendali atas
bahagia, haru bahkan kesedihan yang membuatku kebingungan dan tak sadar.
Apa-apaan
ini. Tak sepatutnya aku memikirkan bibir. Semua orang punya bibir. Aku juga
punya bibirku sendiri. Tapi aku tak bisa menghapus bekas bibirnya dibibirku
dengan bibirku sendiri. Semua menjadi semakin rumit. Apa rasa cuma ada dan
dirasa oleh bibir? Tidak, tidak mungkin cuma bibir yang mengambil kendali
rasa.
Energi
perlahan datang dari libur panjang. Aku berlari. Langit menyerap kelebihan
energiku dengan gelegar guruh lalu menangis menatapku yang dengan kegilaan
dan kebingunganku dengan otak masih berbentuk bibir. Sesaat kakiku kaku. Aku
terjatuh. Lumpur menyambut sekujur tubuhku. Aku ingin menangis tapi syarafku
mengisyaratkan aku tertawa dan itulah yang aku lakukan, tertawa. ”Maukah Kau
Menghapus Bekas Bibirnya Di Bibirku Dengan Bibirmu” kalimat itu hadir dan
tawaku terhenti seiring langit menyeka air matanya untukku. Otakku
bekerja,kurasakan itu. Ya, jawaban dari semua kegilaanku adalah bibir. Bibir
yang dengan suka rela mengecup bibirku dengan semua rasa yang ada di alam.
Bukan bibir yang mempunyai penyaring buatan. Yang hanya bisa menghisap rasa
manis sedangkan rasa yang lain disingkirkan, diendapkan dan ditinggalkan
sebagai sisa pembakaran nafsu. Yang sengaja dibuang hingga menjadi racun
pahit memori yang getirnya tak dapat terhapus hingga kedalam jiwa.
Aku
tertawa sejadi-jadinya. Kegilaanku membuncah. Aku berdiri, berlari, melompat
kesana-kemari. Mencari bibir. Dengan kesadaran penuh kuciumi satu persatu
bibir yang aku temui. Tak peduli laki-laki atau perempuan, tua atau muda.
Yang kutahu, aku cuma mencari bibir. Cuma bibir. Bibir yang dapat menyerap
semua rasa yang ada di alam. Tak kutemukan. Yang kudapat, rasa pedas dan
anyir darah yang keluar deras dari bibirku. Ini menambah getir yang berjelaga
dijiwaku. Apakah kau, darah, yang dengan lancang menampakan diri mencoba
menghapus bekas bibirnya dibibirku dengan bibirmu. Sayang, kau tak punya
harapan karena kau tidak punya bibir. Mana ada bibir darah. Kalau bibir sumur
aku pernah dengar.
Kegilaan
dan anyir darah membuka kalbuku. Mengingatkanku pada bibir terakhir yang bisa
ku kecup malam ini. Dirumahku. Kuseret kakiku yang kembali ditinggal energi
berlibur panjang. Mataku berbinar menyusuri jalan-jalan bau debu dan malam
tanpa angin apalagi bintang hanya ada bulan yang sinarnya berpendar dibalik
awan hitam.
Kucium
bibir terakhirku sekehendaknya, sepuasnya, selama dan sedalam yang kumau.
Sampai aku tak merasakan apa-apa. Bibirku kelu. Ia telah menyerapnya.
Menyerap semua rasa yang ada di alam. “Sayang, aku kira ada bibir yang lebih
bermakna dari bibirmu. Tapi aku salah. Bibirmu jauh lebih bermakna dari bibir
semua orang di luar sana. Aku tak akan pernah ragu lagi. Aku janji. Aku tak
kan pernah mencari bibir untuk menghapus bekas bibirmu di bibirku. Sampai aku
terbujur kaku, seperti kau saat ini. Dihadapanku. Dan bibirmu yang sedang
kukecup berada dibawah bibirku saat ini”, tetesan air mata mengiringiku
berkata-kata pada istriku.
Kuseka
air mata terakhirku malam ini. Kuciumi kembali bibir itu. Kuterlelap dalam
alunan rasa alam yang telah hilang. Dan aku tak pernah terbangun.
inspired
by: puisi karya hamsad rangkuti
0 comment:
Posting Komentar